Ketika Angka Menjadi Manusia

Angka-angka ini tidak lahir di ruang sunyi. Mereka lahir dari sawah yang basah oleh hujan malam di Kediri, dari pasar tradisional di Medan yang mulai riuh sebelum matahari terbit, dari kapal di pelabuhan Belawan yang menurunkan karung-karung beras dengan tali tambang yang aus. Statistik hanyalah cara modern manusia memberi nama pada ritme hidupnya. Ia mencoba menata kekacauan realitas menjadi pola yang bisa dipahami, meskipun yang tersembunyi di baliknya sering lebih rumit daripada grafik berwarna di laporan resmi.

0
52
jagung angka
Ilustrasi petani merayakan panen jagung dengan mengibarkan bendera Merah Putih dalam rangka HUT ke-80 Kemerdekaan RI. (Foto: Istimewa)

(Vibizmedia-Kolom) Di setiap awal bulan, saat pagi baru saja menembus jendela kaca kantor pemerintahan di Jakarta, sekelompok analis BPS menatap deretan angka di layar komputer mereka. Angka-angka itu bergerak pelan, seperti denyut nadi negeri yang sedang belajar berdamai dengan perubahan. Di halaman depan laporan Data Sosial Ekonomi September 2025, tertulis jelas, inflasi 2,65 persen, nilai tukar petani 124,36, ekspor naik, impor turun. Semua tampak sederhana. Namun di balik sederet persentase itu, ada kehidupan yang tidak tertulis — kehidupan manusia yang bernapas di antara data.

Angka-angka ini tidak lahir di ruang sunyi. Mereka lahir dari sawah yang basah oleh hujan malam di Kediri, dari pasar tradisional di Medan yang mulai riuh sebelum matahari terbit, dari kapal di pelabuhan Belawan yang menurunkan karung-karung beras dengan tali tambang yang aus. Statistik hanyalah cara modern manusia memberi nama pada ritme hidupnya. Ia mencoba menata kekacauan realitas menjadi pola yang bisa dipahami, meskipun yang tersembunyi di baliknya sering lebih rumit daripada grafik berwarna di laporan resmi.

Ketika BPS menulis bahwa inflasi tertinggi terjadi di Sumatera Utara sebesar 5,32 persen, seorang pedagang di Pasar Petisah mungkin sedang mengeluh kecil karena harga cabai merah meroket hampir 68 persen dibanding tahun lalu. “Angkanya memang naik,” katanya pada pembeli yang menawar dengan senyum memelas, “tapi rasanya panasnya tidak berubah.” Di sisi lain, di Papua yang inflasinya hanya 0,99 persen, seorang nelayan menatap laut yang tenang. Harga ikan memang stabil, tapi bensin untuk perahunya naik, dan itu tidak pernah masuk dalam angka kebahagiaan.

Inflasi adalah kata yang terlalu akademis untuk mereka yang hidup dari hari ke hari. Bagi ibu rumah tangga di Bekasi, inflasi berarti menakar ulang uang belanja di dompet kainnya. Bagi pekerja pabrik di Karawang, inflasi adalah bisik cemas tentang apakah gajinya masih cukup sampai akhir bulan. Dan bagi petani di Ngawi, inflasi bisa berarti sedikit harapan, karena harga gabah yang ia jual mulai bergerak naik meski pelan.

BPS menulis dengan rapi bahwa Nilai Tukar Petani meningkat menjadi 124,36. Kenaikan 0,63 persen itu terlihat kecil, tetapi bagi banyak orang di desa, itu berarti bibit baru, sewa traktor yang bisa dibayar, dan mungkin—dengan sedikit keberuntungan—uang saku untuk anak sekolah. Di laporan itu disebutkan subsektor tanaman perkebunan rakyat naik paling tinggi, 1,57 persen. Maka di suatu pagi, seorang petani kelapa di Sulawesi tersenyum saat tengkulak datang menawarkan harga sedikit lebih baik. “Angka itu ternyata sampai juga ke sini,” katanya dalam hati, tanpa tahu bahwa angka yang ia maksud akan menjadi bahan presentasi di rapat ekonomi nasional minggu depan.

Namun, tidak semua kisah di balik data bernada cerah. Harga beras di penggilingan turun 0,72 persen, tetapi di pasar harga tetap tinggi, Rp15.375 per kilogram. Bagi warga kota besar, mungkin itu cuma penyesuaian kecil. Tapi bagi buruh harian, kenaikan sekian ratus rupiah per kilogram berarti dilema: beli beras lebih sedikit atau kurangi lauk. Angka yang tampak tenang di laporan sebenarnya menyembunyikan gejolak yang hidup di dapur keluarga Indonesia.

Dalam lembar berikutnya, laporan BPS menulis bahwa ekspor Indonesia mencapai 24,96 miliar dolar AS, naik 5,78 persen dari tahun sebelumnya. Terdengar megah, seperti simfoni ekonomi yang harmonis. Tapi bayangkanlah: di pelabuhan Dumai, ratusan truk membawa minyak sawit mentah, meninggalkan aroma tajam di udara. Pekerja bongkar muat berpeluh di bawah terik matahari, memindahkan drum ke kapal tujuan India atau Tiongkok. Di tengah hiruk-pikuk itu, tidak ada yang bicara tentang “kenaikan 5,78 persen”. Mereka hanya tahu bahwa setiap hari, dunia luar membutuhkan kerja mereka, dan negeri ini berjalan di atas pundak mereka.

Impor, sebaliknya, turun 6,56 persen. Di laporan, ini mungkin pertanda kemandirian. Namun di toko elektronik di Glodok, seorang pedagang mengeluh karena stok berkurang, sementara pelanggan menunda pembelian. Barang konsumsi turun hampir 3 persen; di kertas, itu efisiensi, tapi di lapangan, itu jeda panjang di antara dua transaksi. Ekonomi, pada akhirnya, bukan hanya tentang produksi dan konsumsi, tetapi tentang keyakinan — keyakinan bahwa besok masih akan ada yang datang membeli.

Sementara itu, di halaman pariwisata, BPS mencatat 1,51 juta wisatawan mancanegara datang ke Indonesia pada Agustus 2025, naik lebih dari 12 persen. Bandara Ngurah Rai kembali penuh, hotel di Labuan Bajo mulai terisi, dan Bali kembali berdenyut. Namun perjalanan wisatawan domestik justru menurun. Seorang pegawai muda di Jakarta berkata lirih, “Tahun ini aku tidak ke Yogyakarta, uangnya habis untuk kontrakan.” Maka di satu sisi negeri ini terbuka bagi dunia, tapi di sisi lain, warganya menutup pintu untuk berlibur di tanah sendiri.

Laporan itu juga mencatat bahwa produksi padi meningkat, 5,63 juta ton gabah kering giling pada Agustus 2025, naik hampir 10 persen dari tahun lalu. Kabar baik bagi ketahanan pangan nasional, kata para pejabat. Tapi bagi petani di Indramayu, yang hasil panennya meningkat tetapi harga jual stagnan, keberhasilan itu terasa seperti ilusi. “Negara mungkin lebih kaya, tapi aku tidak lebih sejahtera,” ujarnya sambil menatap lumbung yang penuh namun dompet yang tetap tipis.

Ada pula cerita jagung, yang produksinya justru turun 8,54 persen. Tidak ada tajuk utama untuk itu. Di dunia data, penurunan selalu diimbangi dengan kenaikan di tempat lain. Tapi bagi petani jagung di Gorontalo, penurunan itu berarti utang baru di koperasi desa. Statistik, seperti kehidupan, tak pernah sepenuhnya adil.

Dan di antara semua halaman itu, terselip satu data yang terasa berbeda, Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia 2025 mencapai 88,46 — “sangat memuaskan”. Angka ini tidak berkaitan dengan ekonomi, tapi lebih dengan rasa syukur. Mungkin karena pelayanan yang lebih baik, atau mungkin karena setiap tahun ada ribuan orang yang berhasil menunaikan perjalanan spiritual mereka, menabung bertahun-tahun dari hasil panen, gaji, dan usaha kecil. Angka itu adalah napas lega dari mereka yang pulang membawa kedamaian, bukan hanya kenangan.

Jika semua data BPS dibaca seperti novel, maka Indonesia adalah kisah panjang tentang upaya manusia memahami dirinya sendiri. Setiap persen inflasi, setiap juta ton beras, setiap miliar dolar ekspor adalah fragmen dari narasi besar tentang bertahan hidup, beradaptasi, dan berharap. Angka bukanlah lawan manusia; angka adalah cerminnya.

Di ruang kerja BPS yang sunyi, laporan itu disunting, disahkan, dan diterbitkan. Di luar sana, ribuan kehidupan terus berjalan: pasar buka lebih pagi, truk beras melaju di jalan tol, pesawat mendarat membawa turis, dan anak-anak sekolah belajar menghitung persentase tanpa tahu bahwa kelak, angka-angka itu akan menentukan arah hidup mereka.

Dan mungkin, di antara semua tabel itu, tersembunyi satu pesan yang paling manusiawi, bahwa ekonomi bukan sekadar hitungan untung dan rugi, melainkan kisah tentang bagaimana bangsa ini belajar menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan keadilan, antara pertumbuhan dan keberlanjutan, antara data dan rasa.