Jejak Data di Hortikultura Indonesia

0
542
Hortikultura

(Vibizmedia – Kolom) Di tengah riuhnya perubahan ekonomi global, sektor hortikultura Indonesia menorehkan kisah yang jarang dibicarakan, tetapi sesungguhnya menyimpan potensi besar. Laporan Statistik Perusahaan Hortikultura dan Usaha Hortikultura Lainnya 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik menyingkap lapisan realitas pertanian modern di negeri ini. Di balik angka-angka dan grafik yang tampak dingin, terdapat narasi sosial, ekonomi, dan teknologi yang saling terkait dalam membentuk wajah baru agribisnis nasional.

Selama periode 2021 hingga 2025, jumlah perusahaan hortikultura di Indonesia meningkat dari 221 menjadi 244 unit, atau naik sekitar 10,4 persen. Pertumbuhan ini memang tampak kecil jika dibandingkan dengan sektor manufaktur atau digital, tetapi di konteks pertanian, itu adalah loncatan penting. Kenaikan tersebut bukan hanya mencerminkan bertambahnya jumlah entitas bisnis, melainkan juga pergeseran paradigma dari pola tani tradisional menuju sistem yang lebih terstruktur dan berbasis hukum. Lebih dari 50 persen perusahaan hortikultura kini berbentuk Perseroan Terbatas (PT), sementara sekitar 43 persen berbentuk Commanditaire Vennootschap (CV). Angka itu menggambarkan dominasi sektor swasta dalam menggerakkan bisnis hortikultura nasional.

Konsentrasi geografisnya juga menarik. Dari total perusahaan, sekitar 70 persen berada di Pulau Jawa, dengan Jawa Barat memimpin 69 perusahaan, disusul Jawa Timur 52, dan Jawa Tengah 37. Dominasi ini menunjukkan bagaimana infrastruktur, logistik, serta akses pasar masih menjadi faktor penentu utama pertumbuhan industri pertanian. Di luar Jawa, usaha hortikultura masih terbatas: Sumatera hanya menyumbang 14 persen, sementara wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku–Papua bahkan kurang dari 3 persen. Ketimpangan spasial ini menandakan bahwa pembangunan hortikultura belum sepenuhnya merata, dan kebijakan desentralisasi pertanian masih menghadapi tantangan besar dalam hal investasi dan konektivitas.

Namun di balik angka dominasi Jawa, ada kabar baik lain yang muncul dari transformasi digital. Tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam sejarah statistik pertanian Indonesia. Survei VP-Horti dan VN-Horti, dua instrumen utama pengumpulan data hortikultura, beralih dari sistem manual berbasis kertas (PAPI) ke sistem digital menggunakan CAPI—Computer-Assisted Personal Interviewing. Pergeseran ini bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga simbol kepercayaan baru terhadap data. Informasi yang dulu tersebar di catatan lapangan kini masuk ke server BPS secara real time, dianalisis, dan divisualisasikan melalui dashboard nasional.

Dari sisi aktivitas bisnis, perusahaan hortikultura Indonesia masih didominasi oleh kegiatan budidaya, mencapai 63 persen dari total, sementara 21 persen fokus pada perbenihan, dan sisanya menggabungkan keduanya. Namun data BPS memperlihatkan tren menarik: sektor perbenihan mulai tumbuh signifikan terutama di komoditas tanaman tahunan seperti jeruk, alpukat, dan durian. Pergeseran ini menunjukkan bahwa perusahaan hortikultura tak lagi sekadar menanam dan menjual hasil panen, tetapi mulai menyiapkan rantai nilai dari hulu—dengan inovasi bibit unggul dan penguasaan teknologi pembiakan.

Pada sisi lain, komoditas yang paling banyak diusahakan adalah cabai rawit, dengan 34 perusahaan terdaftar. Cabai, yang selama ini menjadi ikon inflasi pangan nasional, ternyata juga menjadi cermin dinamika bisnis hortikultura. Setengah dari perusahaan cabai bergerak di bidang perbenihan, sisanya di budidaya. Di tangan ilmuwan muda seperti Laras di Malang, pengembangan varietas cabai tahan panas menjadi proyek strategis menghadapi perubahan iklim. Di sinilah terlihat bagaimana data statistik yang tampak sederhana—jumlah perusahaan per komoditas—menyembunyikan kisah inovasi dan ketahanan pangan yang lebih luas.

Selain cabai, tanaman hias juga mulai menduduki posisi penting dalam lanskap hortikultura. Sektor ini memang hanya mencakup sekitar 17 persen dari total perusahaan, tetapi menjadi salah satu yang paling cepat berkembang karena nilai tambah ekspornya. Banyak perusahaan seperti Savana Flora di Yogyakarta yang bergerak di bidang tanaman hias dan biofarmaka. Keberhasilan mereka tak lepas dari upaya memperoleh legalitas dan registrasi ekspor—sesuatu yang masih langka di sektor ini. Hingga 2025, hanya sekitar 17,6 persen perusahaan hortikultura yang sudah terdaftar resmi. Artinya, sebagian besar usaha hortikultura Indonesia masih berada di bawah radar hukum dan administratif, sehingga akses terhadap pembiayaan dan ekspor masih terbatas.

Bila memperhatikan aspek kemitraan, sekitar 28,7 persen perusahaan hortikultura telah menjalin kerja sama dengan petani kecil atau kelompok tani. Angka ini mungkin belum ideal, tetapi menunjukkan adanya kesadaran baru tentang pentingnya integrasi antara korporasi dan petani. Dalam konteks agribisnis modern, kemitraan adalah bentuk simbiosis yang menguntungkan: perusahaan memperoleh pasokan stabil dan standar kualitas, sementara petani mendapatkan jaminan pembelian serta akses teknologi. Namun sebagian besar, sekitar 71 persen, masih beroperasi secara independen tanpa pola kemitraan yang jelas. Kondisi ini menggambarkan potensi besar yang belum tergarap penuh.

Aspek lain yang menarik adalah struktur tenaga kerja. Data BPS menunjukkan bahwa sektor hortikultura masih menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan, terutama di Jawa dan Sumatera. Mayoritas pekerja adalah laki-laki, namun tren partisipasi perempuan terus meningkat, terutama di sektor tanaman hias dan perbenihan. Di sisi upah, perusahaan hortikultura menawarkan rata-rata kompensasi yang lebih baik dibandingkan usaha kecil perorangan, meskipun masih jauh di bawah sektor industri pengolahan. Dengan demikian, sektor ini memiliki potensi ganda: sebagai penggerak ekonomi pedesaan dan sekaligus ruang pemberdayaan perempuan.

Selain perusahaan berbadan hukum, laporan BPS juga mencatat keberadaan Usaha Hortikultura Lainnya (UTL)—unit usaha nonformal seperti kelompok tani, pesantren, lembaga pemasyarakatan, hingga kompleks TNI yang mengelola lahan bersama. Meski sering dipandang sebagai entitas pinggiran, UTL berperan penting dalam distribusi produksi lokal dan ketahanan pangan komunitas. Mereka menjadi jembatan antara ekonomi sosial dan ekonomi pasar.

Jika ditelusuri lebih dalam, keseluruhan data dalam publikasi BPS 2025 membentuk sebuah narasi besar: hortikultura Indonesia sedang bergerak ke arah industrialisasi yang lebih inklusif. Pergeseran dari PAPI ke CAPI menandai modernisasi birokrasi; dominasi PT dan CV menandai masuknya modal swasta; dan meningkatnya perbenihan menandai transformasi teknologi agrikultur. Namun di sisi lain, ketimpangan wilayah dan keterbatasan legalitas masih menjadi tantangan nyata.

Dengan demikian, masa depan hortikultura Indonesia bergantung pada dua hal: kemampuan memperluas basis perusahaan ke luar Jawa, dan kesediaan mengintegrasikan petani kecil ke dalam rantai nilai formal. Tanpa keduanya, pertumbuhan akan tetap terpusat, dan potensi ekonomi hijau ini tidak akan pernah sepenuhnya mekar.

Pada akhirnya, laporan statistik bukanlah sekadar buku tebal berisi tabel dan angka. Ia adalah peta sosial-ekonomi yang menuntun arah kebijakan. Di balik 244 perusahaan hortikultura itu ada ribuan petani, ratusan inovator, dan jutaan konsumen yang terhubung oleh benang tak kasat mata bernama data. Ketika petani Ramdhan memanen cabainya di Kuningan, ketika Nayla mengirim anggreknya ke Tokyo, dan ketika seorang petugas BPS menekan tombol “submit” di lapangan, semua itu menjadi satu cerita: bagaimana Indonesia belajar melihat pertaniannya bukan sebagai sektor tertinggal, melainkan sebagai ekosistem yang sedang tumbuh dengan akar kuat dan data yang semakin dalam.