IHSG Menguat 0,17% ke 8.433,72, Perekomomian Indonesia Hadapi Kondisi Anomali

0
81
IHSG Menguat 0,17% ke 8.433,72, Perekomomian Indonesia Hadapi Kondisi Anomali

 

(Vibizmedia – Economy & Business) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak menguat pada awal perdagangan Selasa (18/11/2025). Pukul 09.06 WIB, IHSG menguat 15,29 poin atau 0,17% ke 8.433,72.

Berdasarkan pengamatan terdapat 207 saham naik, 191 saham turun dan 239 saham stagnan. Hanya lima indeks sektoral yang menguat, sedangkan enam indeks sektoral lainnya masuk zona merah.

Indeks sektoral dengan kenaikan terbesar adalah sektor properti yang naik 3,20%, sektor keuangan naik 0,28% dan sektor teknologi yang naik 0,20%.
Sedangkan indeks sektoral dengan pelemahan terdalam adalah sektor energi yang turun 1,07%, sektor barang baku turun 0,47% dan sektor transportasi yang turun 0,37%.

Total volume perdagangan saham di bursa pagi ini mencapai 2,48 miliar saham dengan total nilai Rp 1,17 triliun

Tiga emiten yang mengalami top gainers pagi ini adalah PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) yang mengalami kenaikan 2,58%. Diikuti oleh PT Chareon Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) yang naik 1,30% dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) yang mengalami kenaikan 1,24%.

Sedangkan tiga emiten yang mengalami top losers pagi ini adalah PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) yang mengalami penurunan indeks 5,71%. Diikuti oleh PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang mengalami penurunan 3,60% serta PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang turun 2,93%.

Menurut Analis Vibiz Research Center, dari dalam negeri, perekonomian Indonesia pada pertengahan November 2025 tengah menghadapi kondisi anomali. Yang menantang logika siklus bisnis konvensional. Di permukaan, indikator stabilitas makro terlihat solid dengan penurunan utang luar negeri dan likuiditas perbankan yang melimpah ruah.

Namun, jika ditelusuri hingga ke level mikro dan sektor riil, terdapat tekanan nyata berupa perlambatan konsumsi, keengganan korporasi untuk berekspansi. Serta langkah agresif pemerintah dalam memperketat kebijakan fiskal.

Hal ini dikenal dengan “Paradoks Likuiditas”. Artinya sistem keuangan nasional sedang kebanjiran uang, namun aliran dana tersebut tersumbat dan gagal memacu mesin pertumbuhan ekonomi secara optimal.

Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting