Komdigi: AI Harus Jadi Mitra Pembangunan, Bukan Ancaman bagi Kesejahteraan

0
64
Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Edwin Hidayat Abdullah menjadi narasumber pada kegiatan MediaConnect bertajuk Dari Cepat Jadi Cermat: Menyikapi AI di Meja Redaksi yang berlangsung di Cornerstone Auditorium, Paskal Hyper Square, Bandung, Kamis (27/11/2025). (Foto: Indonesia.go.id)

(Vibizmedia – Bandung) Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Edwin Hidayat Abdullah, menegaskan bahwa perkembangan kecerdasan buatan (AI) kini memasuki fase baru—di mana teknologi tersebut tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat bantu, tetapi telah menjadi mitra yang mampu membentuk cara berpikir, membuat prediksi, hingga mengambil keputusan yang kompleks.

Edwin menjelaskan bahwa tantangan yang muncul tidak lagi sebatas teknis, melainkan juga menyentuh ranah filosofis dan sosial. Ia mengingatkan bahwa tanpa nilai dan panduan yang tepat, AI berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan yang bias atau tidak etis.

Karena itu, ia menekankan pentingnya menempatkan pengetahuan dan akhlak sebagai fondasi utama dalam pengembangan maupun pemanfaatan teknologi. “Pemerintah memastikan pengembangan AI berlandaskan prinsip kemanusiaan, inklusivitas, dan persatuan bangsa, termasuk memastikan pemanfaatannya meningkatkan kesejahteraan, bukan menciptakan pengangguran,” ujarnya dalam acara MediaConnect bertajuk *“Dari Cepat Jadi Cermat: Menyikapi AI di Meja Redaksi”* yang berlangsung di Cornerstone Auditorium, Paskal Hyper Square, Bandung, Jawa Barat, Kamis (27/11/2025).

Edwin menegaskan bahwa AI harus dipahami sebagai persoalan sosial yang muncul akibat kemajuan teknologi, bukan sekadar isu komputasi.

Pada kesempatan yang sama, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Haryo Damardono, turut memberikan pandangan terkait perubahan ekosistem media. Ia menilai inovasi AI membawa peluang besar sekaligus risiko bagi dunia media dan pendidikan. Ia mencontohkan bagaimana AI dapat memangkas biaya penerjemahan lebih dari 90 persen, namun sekaligus menghilangkan sejumlah jenis pekerjaan.

Untuk menjaga integritas redaksi, Kompas menerapkan pedoman internal yang membatasi penggunaan AI hanya sebagai alat brainstorming, dengan tetap memastikan seluruh konten melewati pengawasan jurnalis manusia. Kompas juga menggunakan mekanisme deteksi untuk menolak naskah yang terlalu banyak dihasilkan oleh AI. “Jurnalisme sejati di era teknologi tetap membutuhkan pelatihan, dedikasi pada kebenaran, dan kerja lapangan agar tidak tersisih oleh konten generik buatan mesin,” ujar Haryo.

Sementara itu, Creative Advisor/AI Specialist Motulz Anto menyoroti perbedaan fundamental antara kecerdasan buatan generatif dan kreativitas manusia. AI, menurutnya, bekerja berdasarkan algoritma, statistik, dan penalaran biner sehingga cenderung menghasilkan keluaran yang rasional. Sebaliknya, kreativitas manusia lahir dari proses, pengalaman, emosi, dan etika—unsur yang tidak dapat direplikasi mesin.

Motulz menegaskan bahwa etika, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan inovasi merupakan benteng utama para profesional untuk tetap relevan dan unggul di tengah perkembangan AI.