(Vibizmedia-Kolom) Pernah nggak, kepikiran serunya kalau kita bisa tahu teknologi apa yang bakal booming nanti? Sayangnya, meramal masa depan itu bukan ilmu pasti. Tapi nggak apa-apa, karena setidaknya soal cara kita berinteraksi dengan teknologi, ada beberapa prediksi menarik yang bisa kita simak. Tahun ini, nama-nama besar di dunia teknologi diprediksi bakal makin serius dengan AI dan komputasi.
Di sisi lain, komunitas online yang lebih kecil dan akrab mungkin akan jadi tren baru. Oh, dan kalau kamu lagi mikir buat beli mobil baru, keputusan ini mungkin nggak akan semudah yang kamu kira. Itu baru permulaan! Di awal tahun, para pelaku industri, inovator baru, dan penggemar teknologi berkumpul di Las Vegas untuk Consumer Electronics Show (CES). Ini konferensi tahunan yang jadi barometer tren teknologi yang dianggap penting oleh berbagai perusahaan di tahun ini.
Jadi, mari kita bahas tren teknologi apa saja yang bakal mewarnai tahun 2025!
- Belajar hidup dengan dampak kebijakan teknologi
Tahun 2025 baru dimulai, tapi kita udah harus bersiap menghadapi dampak dari kebijakan teknologi yang diambil beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah isu tarif impor barang dari negara seperti Kanada, Meksiko, dan khususnya Tiongkok — negara yang memproduksi banyak barang elektronik konsumen. Akibatnya, harga smartphone, tablet, laptop, headphone, sampai konsol game tertentu bisa naik lumayan tinggi.
Belum selesai sampai di situ, Presiden terpilih Donald Trump juga sempat bilang ingin memotong kredit pajak federal untuk kendaraan listrik. Kalau itu terjadi, keputusan buat beli mobil ramah lingkungan bakal makin sulit. Ini nggak cuma bikin pusing konsumen, tapi juga para produsen mobil yang berharap insentif pajak ini tetap ada.
Lalu ada TikTok — dengan 170 juta pengguna di AS dan banyak kreator konten profesional — yang sudah dilarang pada 19 Januari lalu. Daftarnya masih panjang: aturan netralitas jaringan telah dibatalkan, drone populer yang digunakan untuk pembuatan film dan pertanian dapat dilarang, ketua Komisi Komunikasi Federal yang baru telah berjanji untuk melawan kartel “sensor” Big Tech, belum lagi kasus antimonopoli yang sedang berlangsung terhadap Google, Microsoft, Amazon, dan Meta. Saran kami? Bersiaplah.
- AI semakin berkembang di mana-mana. Pasti dunia sudah menduga hal ini.
Udah bisa ditebak, AI bakal jadi topik panas tahun ini. Para CEO teknologi besar lagi jor-joran investasi di AI percakapan, meskipun ada yang bilang teknologi ini terlalu dibesar-besarkan. Tapi satu hal yang pasti, AI bakal makin sering kita temui.
Uniknya, meski AI makin canggih, kita mungkin nggak akan sering mendengar orang ngomongin ini lagi. Menurut Mike Bechtel dari Deloitte, AI bakal jadi kayak listrik — ada di mana-mana, tapi dianggap biasa aja. Misalnya, AI di tempat kerja, ruang kelas, atau bahkan chatbot seperti Replika dan Character.ai bakal jadi bagian dari keseharian kita.
Dan meskipun gadget seperti pin AI Humane gagal, masih banyak perusahaan lain yang nggak mau menyerah. Mereka siap meluncurkan perangkat AI yang bisa dipakai sehari-hari. Jadi, siap-siap aja dunia makin terasa futuristik!
Baca juga : Telkom dan IBM Perkuat Kemitraan Strategis untuk Pengembangan Teknologi AI di Indonesia
- Internet yang Semakin Terpecah-Pecah
Dalam beberapa tahun terakhir, kita sudah sering membahas fenomena ruang gema daring, dan pada tahun 2025, tren ini tampaknya akan semakin berkembang. Banyak orang kini lebih memilih untuk berpindah dari platform besar menuju komunitas online yang lebih kecil dan lebih terfokus. Sebagai contoh, Twitter (sekarang X) yang dulunya menjadi pusat informasi utama di internet, tempat orang dapat dengan cepat mengetahui berita terkini dan memberikan opini, kini telah berubah. Umpannya lebih banyak dipenuhi oleh retweet dari pemiliknya, Elon Musk, sementara sebagian penggunanya mulai beralih ke Bluesky, platform alternatif yang mirip dengan Twitter dan memiliki audiens yang lebih cenderung pada pemikiran progresif.
Namun, ruang daring yang lebih kecil dan lebih intim tidak selalu berdampak negatif. Hal ini sudah terbukti dengan komunitas-komunitas seperti Tumblr atau bahkan kelompok Neopets di tahun 2000-an yang memberikan rasa kebersamaan yang lebih kuat di kalangan penggunanya. Saat ini, banyak orang yang memilih untuk membangun server Discord untuk komunitas kecil mereka, bergabung dengan subreddit yang membahas minat atau buku tertentu, atau mendukung penulis favorit melalui platform seperti Substack. Meskipun demikian, penting untuk tetap memeriksa literasi media dan memverifikasi klaim yang kita temui, meskipun klaim tersebut berasal dari sumber yang sudah populer atau terpercaya.
- Selamat tinggal metaverse, halo komputasi spasial
Perusahaan-perusahaan besar teknologi nggak akan berhenti mencoba mewujudkan impian komputer wajah. Tapi, yang berubah adalah bagaimana pengalaman ini diharapkan oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut. Hype tentang metaverse — dunia virtual di mana kita semua akan memakai avatar dan berinteraksi di ruang digital bersama-sama — memang belum sepenuhnya hilang, tapi rasanya sudah jauh berkurang. Sebaliknya, kita bakal lebih sering mendengar tentang “komputasi spasial,” di mana dunia nyata dan teknologi digital yang kita gunakan untuk mendukung aktivitas sehari-hari jadi lebih terintegrasi.
“Kami melihat pergeseran pasar dari dunia virtual yang sekadar pelarian, menuju pengalaman realitas campuran,” ujar Mike Bechtel. Coba bayangkan memakai headset atau kacamata yang terlihat biasa saja, dan tiba-tiba aplikasi favorit atau petunjuk arah muncul di udara depan mata. Sekarang, bayangkan kita bisa berinteraksi langsung dengan elemen-elemen digital tersebut menggunakan tangan kita. Itulah inti dari komputasi spasial. Kalau kedengarannya familiar, memang seharusnya begitu: headset Vision Pro milik Apple yang diluncurkan pada 2024 mendorong konsep ini, meskipun mendapatkan banyak perhatian namun permintaan tetap rendah. Ini jadi bukti bahwa perusahaan teknologi harus segera menemukan cara untuk menciptakan komputer spasial yang lebih terjangkau dan cepat.
- Ketakutan tentang anak-anak dan teknologi mungkin akan mencapai puncaknya
Anggota parlemen di AS sudah mencoba, namun gagal, untuk meloloskan undang-undang yang melindungi anak-anak dari ancaman di dunia maya, seperti konten ekstremis dan fitur aplikasi yang dianggap adiktif. Dengan beberapa negara bagian di AS dan negara lain yang terus melangkah maju dalam perlindungan hukum terkait anak-anak dan teknologi — seperti Australia yang pada bulan November melarang media sosial untuk orang di bawah usia 16 tahun — tekanan semakin besar bagi anggota parlemen federal untuk menyelesaikan masalah ini. Banyak orang tua menganggap ini sebagai ancaman serius bagi anak-anak mereka. Sementara itu, para ahli masih belum sepakat apakah media sosial benar-benar berdampak negatif pada kesehatan mental anak-anak dan remaja. Meski begitu, pejabat kesehatan publik AS berpendapat bahwa perlu ada pembatasan dan peringatan pada aplikasi media sosial sambil menunggu bukti lebih lanjut tentang dampaknya.









