Ketergantungan COMAC Terhadap Amerika dan Eropa

Permasalahan utama yang dihadapi COMAC adalah keterbatasan teknologi dalam negeri dan ketergantungan terhadap komponen asing.

0
328
comac

(Vibizmedia – Kolom) Dalam beberapa tahun terakhir, Commercial Aircraft Corporation of China atau COMAC menjadi simbol utama dari upaya Tiongkok untuk menciptakan alternatif dari duopoli global Airbus dan Boeing. Perusahaan ini memperkenalkan jet penumpang narrow-body C919 yang diposisikan sebagai pesaing langsung Boeing 737 dan Airbus A320, dua model yang mendominasi rute-rute penerbangan domestik dan regional di seluruh dunia. Namun menurut laporan The Wall Street Journal, Bloomberg, dan Financial Times, perkembangan produksi dan adopsi C919 menunjukkan perjalanan yang masih panjang dan penuh hambatan.

Meskipun C919 telah berhasil mendapatkan sertifikasi dari otoritas penerbangan sipil Tiongkok dan telah memulai penerbangan komersial dengan China Eastern Airlines, kapasitas produksi COMAC masih terbatas. Hingga awal 2025, hanya beberapa unit yang dikirimkan, dan itu pun hanya kepada satu maskapai. Padahal, kebutuhan domestik akan pesawat baru sangat besar, mengingat pertumbuhan penumpang udara dan ekspansi agresif maskapai-maskapai Tiongkok pasca pandemi.

Permasalahan utama yang dihadapi COMAC adalah keterbatasan teknologi dalam negeri dan ketergantungan terhadap komponen asing. Berdasarkan analisis yang diterbitkan oleh Bloomberg, sekitar dua pertiga dari sistem penting dalam pesawat C919 berasal dari produsen luar negeri, termasuk mesin jet yang dibuat oleh CFM International—perusahaan patungan antara GE Aviation (AS) dan Safran (Prancis). Selain mesin, sistem avionik, kendali penerbangan, navigasi, dan sistem hidrolik juga berasal dari pemasok asal Amerika Serikat dan Eropa.

Hal ini membuat upaya kemandirian menjadi relatif terbatas secara teknis. Meskipun kerangka dan desain pesawat dibuat di dalam negeri, komponen vital yang menentukan performa dan keamanan penerbangan masih harus diimpor. Di sektor dirgantara, integrasi teknologi sangat kompleks dan memerlukan waktu puluhan tahun untuk membangun kepercayaan, baik dari maskapai maupun otoritas keselamatan penerbangan internasional.

Sebagai perbandingan, Boeing dan Airbus telah mengembangkan rantai pasok dan jaringan purna jual yang sangat luas dan mapan selama beberapa dekade. Mereka memiliki layanan pemeliharaan global, pusat pelatihan pilot, sistem pembaruan perangkat lunak, serta kemampuan untuk mendukung armada ribuan pesawat secara simultan. Hal ini menciptakan ekosistem yang membuat maskapai merasa nyaman berinvestasi dalam armada mereka.

Sementara itu, COMAC masih belum memiliki rekam jejak tersebut. C919, yang baru memasuki tahap awal operasional, harus membuktikan diri dari sisi efisiensi bahan bakar, ketahanan komponen, keandalan operasional, dan kemudahan pemeliharaan. Tanpa bukti tersebut, sangat sulit bagi maskapai untuk melakukan transisi skala besar dari pesawat buatan Barat ke produk dalam negeri.

Keterbatasan produksi juga menjadi masalah. Dalam laporan Reuters, COMAC menyatakan ambisinya untuk memproduksi hingga 150 unit C919 per tahun pada dekade mendatang. Namun pencapaian itu hanya mungkin jika rantai pasok dalam negeri bisa ditingkatkan secara signifikan. Tidak hanya dari sisi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas, presisi, dan sertifikasi internasional. Jika pemasok lokal belum mampu memenuhi standar tinggi tersebut, maka skala produksi akan tertahan.

Kondisi ini juga menciptakan dilema bisnis. Jika permintaan tinggi tapi produksi tidak dapat mengikuti, maka backlog akan menumpuk dan kepuasan pelanggan akan turun. Sebaliknya, jika kapasitas diperbesar terlalu cepat tanpa kepastian pasokan komponen dan dukungan teknis, maka risiko cacat produk atau kegagalan operasional akan meningkat. Oleh karena itu, ekspansi COMAC harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh perhitungan.

Selain tantangan teknis, COMAC juga menghadapi tantangan dari sisi pemasaran global. Untuk bisa menembus pasar internasional, sebuah pesawat harus mendapatkan sertifikasi dari badan regulasi seperti Federal Aviation Administration (FAA) di AS dan European Union Aviation Safety Agency (EASA) di Eropa. Hingga saat ini, C919 belum mendapatkan sertifikasi dari dua lembaga tersebut, sehingga ekspor ke luar Tiongkok masih sangat terbatas.

Tanpa sertifikasi global, produk COMAC hanya bisa digunakan di pasar domestik dan beberapa negara mitra strategis. Namun pasar domestik pun semakin kompleks. Meskipun pemerintah mendukung adopsi produk dalam negeri, maskapai tetap mempertimbangkan faktor bisnis, termasuk efisiensi bahan bakar, biaya operasional, dan ketersediaan suku cadang. Dalam jangka panjang, keputusan pembelian pesawat didorong oleh pertimbangan ekonomi, bukan hanya kebijakan.

Dalam konteks ini, Airbus melihat peluang untuk memperluas dominasinya di Tiongkok. Perusahaan Eropa ini terus memperluas operasi produksinya di Tianjin dan meningkatkan kapasitas perakitan pesawat A320. Bahkan dalam laporan Financial Times, disebutkan bahwa Airbus telah menerima lebih dari 300 pesanan dari maskapai-maskapai Tiongkok hanya dalam kurun satu tahun terakhir. Dengan kehadiran fisik di dalam negeri, Airbus juga mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan logistik dan regulasi lokal, memberikan keunggulan dibanding Boeing.

Boeing sendiri menghadapi tantangan besar di Tiongkok. Sejumlah laporan dari WSJ menyebut bahwa ratusan unit pesawat Boeing 737 MAX yang telah selesai diproduksi kini masih tertahan karena belum mendapat persetujuan pengiriman ke maskapai Tiongkok. Penundaan ini menciptakan beban inventaris dan keuangan bagi perusahaan serta membuka ruang bagi pesaing untuk masuk lebih dalam ke pasar.

Namun semua dinamika ini tetap belum menjamin kebangkitan pesawat buatan Tiongkok secara otomatis. Pengembangan pesawat jet komersial adalah proyek jangka panjang yang memerlukan konsistensi, transparansi, dan adaptasi teknologi yang sangat tinggi. Tidak hanya teknologi hardwarenya, tapi juga software penerbangan, integrasi sistem, hingga simulasi dan pelatihan pilot.

Selain itu, dari sisi keuangan, proyek seperti ini memerlukan pendanaan besar dan berkelanjutan. Riset dan pengembangan pesawat memerlukan miliaran dolar AS, dan pengembalian investasi baru bisa dicapai setelah siklus produksi mencapai skala tertentu. Dalam ekosistem Boeing dan Airbus, investasi dalam satu tipe pesawat bisa mencapai 15–20 tahun baru menembus titik impas. COMAC, yang masih dalam tahap awal, menghadapi jalan panjang serupa.

Dukungan pemerintah tetap menjadi faktor penentu dalam perjalanan COMAC. Namun dukungan itu harus disertai dengan pembenahan manajemen, rekrutmen talenta global, serta kemitraan teknologi yang berkelanjutan. Tanpa itu, sulit membayangkan C919 atau proyek-proyek berikutnya mampu menggantikan peran Boeing atau Airbus dalam waktu dekat.

Bagi maskapai domestik, strategi integrasi armada juga akan menentukan arah industri ke depan. Jika mereka terlalu cepat berpindah ke pesawat yang belum terbukti secara luas, maka risiko biaya perawatan dan efisiensi bisa meningkat.

Penting juga untuk melihat bahwa keberhasilan industri dirgantara nasional tidak hanya ditentukan oleh satu pabrikan. Diperlukan ekosistem yang kuat, termasuk universitas, pusat pengujian, badan sertifikasi, dan jaringan pemasok. Negara-negara seperti Brasil (dengan Embraer) dan Kanada (dengan Bombardier) telah membuktikan bahwa membangun industri pesawat bisa dilakukan, tapi hanya dengan fondasi teknologi dan manajemen yang sangat kuat. Untuk menembus pasar global, diperlukan kepercayaan dan rekam jejak yang belum bisa dibangun dalam waktu singkat.