(Vibizmedia-Kolom) Tahun 2025 telah menjadi era emas bagi kecerdasan buatan generatif. Teknologi yang dulu hanya terdengar dalam film fiksi ilmiah kini telah merambah hampir semua aspek kehidupan sehari-hari—dari menulis email, menyusun laporan bisnis, membuat gambar digital, hingga membantu menulis kode. Namun, meskipun adopsinya semakin meluas, masih banyak orang merasa canggung atau bahkan takut untuk mulai menggunakan AI, khususnya chatbot seperti ChatGPT, Claude, atau Gemini. Rasa intimidasi itu bukan tanpa alasan. Teknologi ini terasa seperti “kotak hitam” yang cerdas tapi misterius, dan banyak orang merasa mereka “terlambat” atau tidak cukup paham untuk ikut terlibat. Tapi justru sekarang adalah saat yang tepat untuk mulai.
Kuncinya adalah menyadari bahwa generative AI bukan alat untuk para insinyur saja. Teknologi ini dirancang untuk manusia biasa, termasuk mereka yang tidak punya latar belakang teknis. Sebagaimana smartphone yang dulu terasa rumit namun kini menjadi barang wajib harian, AI juga sedang menuju tahap adopsi massal. Jika Anda bisa mengetik pesan di WhatsApp, Anda juga bisa menggunakan AI.
Langkah pertama adalah memilih platform. Chatbot berbasis teks seperti ChatGPT dari OpenAI, Claude dari Anthropic, Gemini dari Google, dan Copilot dari Microsoft sudah tersedia secara luas dan sering kali gratis untuk versi dasarnya. Anda tidak perlu menginstal perangkat lunak tambahan—cukup membuka situs web atau aplikasi dan mengetik pertanyaan. Sebagian besar AI ini dilatih untuk memahami bahasa manusia dengan gaya percakapan alami. Jadi, tidak perlu perintah rumit atau istilah teknis—cukup tulis seperti Anda berbicara kepada teman: “Bantu saya menulis email untuk klien,” atau “Apa ide makan malam sederhana untuk 4 orang?”
Kedua, pilih skenario yang relevan dengan hidup Anda. AI tidak harus langsung digunakan untuk hal yang kompleks. Anda bisa mulai dari tugas-tugas sederhana: merangkum artikel, mengoreksi tulisan, mencari inspirasi desain, membuat CV, atau bahkan membuat daftar belanja mingguan. Semakin sering Anda menggunakan AI untuk aktivitas sehari-hari, semakin alami interaksinya. Menurut survei terbaru oleh Pew Research Center, sebagian besar pengguna yang awalnya merasa skeptis berubah menjadi pengguna aktif setelah mereka mencoba AI untuk urusan praktis pribadi.
Banyak pemula juga khawatir soal akurasi dan keamanan data. Kekhawatiran ini valid dan penting. AI, meskipun pintar, tidak selalu benar. Anda harus selalu memverifikasi informasi penting, apalagi untuk keputusan finansial, medis, atau hukum. Selain itu, hindari memasukkan informasi sensitif ke chatbot publik. Perusahaan seperti OpenAI, Google, dan Microsoft menyediakan dokumentasi privasi dan keamanan data yang bisa Anda pelajari sebelum menggunakan layanan mereka secara aktif. Beberapa platform juga menyediakan mode “tanpa penyimpanan riwayat” untuk melindungi privasi Anda.
Yang menarik, AI bukan hanya untuk bekerja atau belajar. Banyak pengguna sekarang mengandalkan AI untuk kegiatan kreatif: menulis puisi, membuat cerita anak, mengedit foto, menyusun lirik lagu, atau bahkan membuat video animasi. Bagi mereka yang merasa tidak memiliki latar seni, AI membuka jalan untuk berkreasi tanpa hambatan teknis. Platform seperti Midjourney, DALL·E, Runway, dan Sora memungkinkan siapa pun menciptakan visual sinematik atau desain profesional hanya dengan instruksi teks.
Jika Anda ingin lebih terstruktur dalam belajar, sudah banyak tutorial gratis dan kursus daring dari lembaga seperti Coursera, edX, dan Khan Academy yang menawarkan pelatihan menggunakan AI. Bahkan YouTube penuh dengan panduan praktis dari pengguna lain. Komunitas AI di Reddit, Discord, dan forum lokal juga aktif berbagi tips dan menjawab pertanyaan pemula.
Dalam dunia kerja, kemampuan memanfaatkan AI kini dianggap sebagai keahlian dasar. Bukan hanya untuk programmer atau analis data, tetapi juga untuk penulis, desainer, guru, manajer, bahkan petani dan nelayan. McKinsey Global Institute melaporkan bahwa penggunaan AI generatif dapat meningkatkan produktivitas pekerjaan hingga 40% di berbagai sektor. Banyak perusahaan mulai mencari karyawan yang tahu cara bekerja berdampingan dengan AI, bukan menggantikannya.
Di Indonesia, adopsi AI generatif masih berada dalam tahap awal namun menunjukkan tren pertumbuhan yang cepat, terutama di kalangan profesional muda, pelaku UMKM, dan sektor pendidikan. Meskipun belum sebesar di Amerika Serikat, penggunaan chatbot seperti ChatGPT, Google Gemini, dan Copilot mulai meluas, terutama setelah pemerintah, startup lokal, dan media digital memperkenalkan manfaat AI ke khalayak luas.
Beberapa universitas dan sekolah kejuruan di Indonesia telah mulai mengenalkan AI dalam kurikulum, meskipun sebagian besar masih dalam bentuk pengenalan konsep dan eksperimen terbatas. Di sisi lain, pekerja kreatif dan pelaku bisnis mulai memanfaatkan AI untuk membantu membuat konten, menyusun strategi pemasaran, atau bahkan merancang produk. Misalnya, banyak content creator Indonesia kini menggunakan AI untuk membuat caption, skrip video, atau ilustrasi promosi.
Namun, hambatan utama tetap pada kurangnya literasi digital dan infrastruktur yang belum merata. Banyak masyarakat di luar kota besar belum familiar dengan cara kerja AI, apalagi menggunakannya secara aktif. Di sinilah peran komunitas digital, pelatihan daring, dan media sosial menjadi penting untuk mengedukasi masyarakat. Sejumlah inisiatif komunitas seperti Diskusi AI, AI Talks Indonesia, dan pelatihan AI dari startup teknologi lokal mencoba menjembatani kesenjangan ini dengan membuka akses pelatihan gratis atau berbiaya murah.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kominfo juga sudah mulai menyusun kebijakan untuk pengembangan AI, termasuk etika penggunaannya. Rencana Strategis Nasional AI yang diluncurkan pada 2020 memuat lima sektor prioritas: layanan publik, pendidikan, kesehatan, reformasi birokrasi, dan ketahanan pangan. Namun, pelaksanaannya masih bertahap dan menghadapi tantangan regulasi, pendanaan, serta kesiapan sumber daya manusia.
Yang jelas, masyarakat Indonesia tidak perlu merasa tertinggal. Teknologi AI generatif, terutama chatbot, bisa digunakan siapa saja tanpa keahlian teknis khusus. Banyak platform sudah mendukung antarmuka dalam Bahasa Indonesia, dan semakin hari komunitas pengguna AI di Indonesia tumbuh pesat. Bahkan, pelajar dan guru di daerah pun mulai bereksperimen dengan chatbot untuk mencari inspirasi pelajaran atau membuat soal otomatis.
Maka dari itu, cara terbaik untuk memulai adalah dengan mencoba. Tak perlu khawatir terlihat bodoh—AI tidak menilai. Cobalah bertanya, eksplorasi, dan ulangi. Perlakukan AI seperti asisten pribadi yang sabar, bukan mesin misterius. Teknologi ini bukan ancaman jika kita belajar menggunakannya sebagai alat bantu. Seperti halnya kalkulator, komputer, atau internet, AI adalah perpanjangan dari kemampuan manusia.
Tak perlu menguasai semuanya sekaligus. Mulailah dari satu langkah sederhana: buka chatbot dan katakan, “Saya pemula. Tolong bantu saya memulai.” AI akan menjawab. Dan dari sana, kemungkinan menjadi tak terbatas.