Langit Jadi Harapan Baru Internet Pedesaan

Di banyak komunitas pedesaan, tantangan konektivitas sudah berlangsung selama beberapa dekade. Di negara bagian seperti Texas, Alabama, dan Alaska, biaya untuk membangun infrastruktur broadband berbasis kabel bisa mencapai puluhan ribu dolar per rumah tangga karena jarak yang berjauhan dan medan yang sulit. Di sinilah teknologi satelit generasi baru menunjukkan keunggulannya - tidak membutuhkan jaringan fisik yang ekstensif, hanya parabola kecil dan langit terbuka - internet tersedia.

0
451
internet
Starlink (Foto: Wikipedia)

(Vibizmedia-kolom) Di era ketika kecanggihan teknologi terus melaju, masih ada jutaan penduduk di wilayah pedesaan Indonesia, Amerika Serikat dan seluruh dunia yang terperangkap dalam kegelapan digital. Koneksi internet yang lambat atau bahkan tidak ada sama sekali menjadi hambatan utama bagi pendidikan, layanan kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi lokal. Namun kini, solusi yang selama ini terasa seperti fiksi ilmiah mulai nyata, koneksi dari luar angkasa.

Sejumlah negara bagian di Amerika Serikat mulai menyubsidi layanan internet berbasis satelit sebagai jalan keluar dari keterbatasan infrastruktur kabel dan menara darat yang mahal dan sulit dibangun di daerah terpencil. Menurut laporan dari The Wall Street Journal, langkah ini telah menghidupkan harapan baru sekaligus membuka peluang bagi perusahaan seperti Starlink milik Elon Musk dan Project Kuiper dari Amazon, dua raksasa teknologi yang tengah berlomba membangun konstelasi satelit rendah orbit untuk menyelimuti dunia dengan internet berkecepatan tinggi.

Di banyak komunitas pedesaan, tantangan konektivitas sudah berlangsung selama beberapa dekade. Di negara bagian seperti Texas, Alabama, dan Alaska, biaya untuk membangun infrastruktur broadband berbasis kabel bisa mencapai puluhan ribu dolar per rumah tangga karena jarak yang berjauhan dan medan yang sulit. Di sinilah teknologi satelit generasi baru menunjukkan keunggulannya – tidak membutuhkan jaringan fisik yang ekstensif, hanya parabola kecil dan langit terbuka.

The Wall Street Journal melaporkan bahwa sejak 2023, sedikitnya sepuluh negara bagian telah mengalokasikan dana publik untuk membiayai langganan layanan internet satelit, dengan program-program subsidi yang menjangkau ribuan rumah tangga. Di Kentucky, misalnya, pemerintah negara bagian mengalokasikan lebih dari $100 juta untuk program konektivitas pedesaan, termasuk bantuan pembiayaan bagi pelanggan Starlink. Di Texas, para pejabat menyatakan bahwa mereka mempertimbangkan pendekatan campuran yang mencakup koneksi kabel dan satelit.

Ekonomi Indonesia
Program Desa Wisata PHR tingkatkan ekonomi masyarakat. (Foto: PHR)

Langkah ini tidak lepas dari meningkatnya tekanan politik dan sosial. Pandemi Covid-19 memperjelas kesenjangan digital antara wilayah urban dan rural, terutama saat anak-anak harus belajar dari rumah dan layanan medis bergeser ke telehealth. Di banyak desa, siswa harus duduk di luar restoran cepat saji untuk mengakses Wi-Fi, sementara lansia tidak bisa mengikuti janji temu daring dengan dokter. Keterasingan digital ini bukan hanya soal kenyamanan, melainkan menyangkut akses ke hak dasar.

Starlink, bagian dari SpaceX milik Elon Musk, menjadi pemain utama dalam babak baru konektivitas ini. Dengan ribuan satelit kecil yang mengorbit rendah di sekitar Bumi, Starlink mampu memberikan latensi rendah dan kecepatan yang memadai bahkan di daerah yang sangat terpencil. Menurut data dari Speedtest Intelligence yang dikutip oleh Bloomberg, rata-rata kecepatan unduh pengguna Starlink di AS mencapai 67 Mbps pada awal 2024—cukup untuk mendukung panggilan video, streaming, dan aktivitas daring lainnya.

Namun harga masih menjadi tantangan. Biaya awal perangkat keras Starlink mencapai sekitar $599, dengan langganan bulanan sebesar $120. Inilah sebabnya mengapa dukungan pemerintah sangat penting. Subsidi memungkinkan keluarga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan layanan yang sebelumnya berada di luar jangkauan mereka. Di beberapa negara bagian, seperti New Mexico, paket subsidi mencakup penggantian biaya pemasangan dan diskon langganan selama satu tahun pertama.

Amazon juga tidak tinggal diam. Project Kuiper, pesaing langsung Starlink, telah mengumumkan rencana untuk meluncurkan lebih dari 3.000 satelit dalam beberapa tahun ke depan. Menurut laporan Reuters, Amazon telah menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun fasilitas produksi dan pengujian di Washington dan Florida. Meskipun layanan Kuiper belum tersedia secara komersial, Amazon mengatakan bahwa mereka menargetkan wilayah underserved sebagai pasar utama dan akan melibatkan mitra lokal dalam distribusi perangkat keras.

Selain Starlink dan Kuiper, sejumlah perusahaan lain juga mencoba peruntungan di sektor ini, meski dengan pendekatan berbeda. HughesNet dan Viasat, dua penyedia internet satelit generasi sebelumnya, masih menawarkan layanan di daerah pedesaan. Namun mereka menghadapi tantangan dalam hal kecepatan dan latensi karena menggunakan satelit geostasioner yang berada jauh lebih tinggi dari permukaan Bumi, menyebabkan penundaan data yang signifikan.

Meskipun begitu, tidak semua pihak menyambut baik pendekatan satelit ini. Sejumlah organisasi advokasi seperti Free Press dan Public Knowledge memperingatkan bahwa subsidi pemerintah seharusnya lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur tetap yang memberikan konektivitas jangka panjang dan andal. Mereka khawatir bahwa investasi besar dalam teknologi satelit bisa menjadi solusi sementara yang mengabaikan pembangunan jaringan fiber optik yang sebenarnya lebih tahan masa depan.

Namun argumen ini dibantah oleh pejabat lokal di wilayah terpencil yang merasa bahwa menunggu kabel fiber adalah mimpi yang tidak akan pernah terwujud. “Kita butuh solusi hari ini, bukan lima tahun lagi,” kata seorang anggota dewan kota kecil di Montana kepada CNBC. Ia menambahkan bahwa untuk wilayah dengan populasi di bawah 500 orang, tidak ada perusahaan penyedia kabel yang bersedia membangun infrastruktur tanpa subsidi miliaran dolar.

Aspek geopolitik juga ikut bermain. Konektivitas dari satelit dianggap sebagai bagian dari kedaulatan digital dan ketahanan nasional. Dalam beberapa kesempatan, Elon Musk menyebut bahwa konstelasi satelit bisa menjadi benteng komunikasi di tengah bencana alam atau konflik militer. Di Ukraina, misalnya, layanan Starlink telah menjadi tulang punggung komunikasi pasukan dan warga sipil sejak invasi Rusia, seperti dilaporkan oleh The Financial Times.

Selain Amerika Serikat, tren serupa mulai terlihat di negara lain. Kanada dan Australia, dua negara dengan bentang alam luas dan populasi yang tersebar, juga melirik teknologi serupa untuk menjembatani kesenjangan digital. Bahkan di Eropa, proyek konstelasi satelit semesta seperti IRIS² milik Uni Eropa mulai dikembangkan sebagai alternatif terhadap ketergantungan pada layanan asing, dengan tujuan jangka panjang untuk menghubungkan komunitas terpencil dan sekaligus memperkuat otonomi strategis digital.

Di sisi lain, beberapa komunitas lokal memandang langkah ini dengan harapan yang realistis. Mereka tidak berharap layanan satelit akan setara dengan kecepatan fiber di kota besar, tetapi cukup untuk membuka akses ke dunia digital. Seorang guru di pedalaman West Virginia mengatakan kepada NPR bahwa sejak sekolahnya mendapat akses Starlink, murid-muridnya bisa mengikuti kursus daring dan mengerjakan tugas tanpa harus mengandalkan ponsel orang tua.

Dampaknya pun mulai terasa dalam aspek ekonomi lokal. Petani kini bisa menggunakan sistem irigasi berbasis sensor yang dikendalikan dari jarak jauh. Pebisnis rumahan bisa menjual produk mereka secara daring. Klinik kecil bisa melakukan konsultasi medis tanpa harus merujuk pasien ke kota besar. Bahkan para pekerja lepas mulai muncul dari komunitas terpencil, menjual keahlian mereka ke pasar global.

Namun jalan masih panjang. Konstelasi satelit membutuhkan peluncuran terus-menerus untuk menjaga jangkauan dan keandalan. Masalah teknis seperti cuaca buruk dan gangguan sinyal tetap menjadi tantangan. Selain itu, meningkatnya jumlah satelit menimbulkan kekhawatiran akan polusi orbit dan risiko tabrakan di luar angkasa, yang telah menjadi perhatian badan antariksa seperti NASA dan European Space Agency.

Meski demikian, perubahan paradigma telah dimulai. Seperti yang disimpulkan oleh The Verge, revolusi konektivitas dari langit menunjukkan bahwa solusi bagi kesenjangan digital tidak harus selalu datang dari bawah tanah. Teknologi satelit, yang dulunya hanya digunakan untuk komunikasi militer dan cuaca, kini menjadi jalan pintas menuju inklusi digital.

Langkah negara-negara bagian AS yang memilih langit sebagai jawaban atas kesenjangan internet pedesaan bukanlah pelarian dari masalah, melainkan strategi realis di tengah keterbatasan fiskal dan geografis. Dengan terus berkembangnya teknologi, makin banyak komunitas yang bisa berharap bahwa koneksi yang layak bukan lagi kemewahan, melainkan hak dasar.

Dalam beberapa tahun ke depan, bisa jadi kita akan melihat dunia di mana konektivitas tidak lagi tergantung pada kode pos. Dan saat itu tiba, bintang-bintang bukan lagi sekadar titik cahaya di malam hari, melainkan jembatan digital yang menghubungkan desa dan kota, masa lalu dan masa depan.