Gelombang Investasi Migas Baru di Amerika Selatan

Amerika Selatan, yang dahulu hanya menjadi perhatian sekunder bagi investor migas global, kini berubah menjadi pusat pertumbuhan tercepat dalam produksi minyak dunia. Brazil, Guyana, Argentina, dan Suriname menjadi magnet baru karena kombinasi antara cadangan besar, biaya produksi rendah, kebijakan pemerintah yang pro-investor, dan stabilitas politik relatif yang mereka tawarkan.

0
571
migas

(Vibizmedia-Kolom) Dalam lanskap energi global yang penuh ketidakpastian dan transisi menuju energi bersih, perusahaan-perusahaan minyak justru mengalihkan fokus mereka ke Amerika Selatan. Kawasan ini, yang dahulu hanya menjadi perhatian sekunder bagi investor migas global, kini berubah menjadi pusat pertumbuhan tercepat dalam produksi minyak dunia. Brazil, Guyana, Argentina, dan Suriname menjadi magnet baru karena kombinasi antara cadangan besar, biaya produksi rendah, kebijakan pemerintah yang pro-investor, dan stabilitas politik relatif yang mereka tawarkan. Selama lima tahun ke depan, diperkirakan lebih dari 80 persen pertumbuhan produksi minyak global di luar OPEC akan berasal dari wilayah ini, menurut analisis The Wall Street Journal.

Perusahaan-perusahaan seperti ExxonMobil, Chevron, TotalEnergies, Shell, dan Petrobras kini memusatkan investasi miliaran dolar mereka ke ladang minyak lepas pantai dan cadangan shale di Amerika Selatan. Keputusan ini juga didorong oleh stagnasi produksi di beberapa wilayah utama seperti AS dan Timur Tengah, serta meningkatnya tekanan politik dan sosial terhadap eksplorasi minyak di negara-negara Barat. Amerika Selatan, yang masih menawarkan ruang luas untuk eksplorasi baru, menjadi pilihan yang masuk akal secara strategis dan ekonomi.

Di Brazil, ladang minyak laut dalam atau deepwater menjadi tulang punggung ekspansi produksi nasional. Petrobras, perusahaan migas milik negara Brazil, memimpin investasi besar-besaran di ladang pre-salt yang kaya akan minyak ringan dengan kadar sulfur rendah. Pre-salt adalah formasi geologis yang berada di bawah lapisan garam tebal, dan meskipun sulit diakses, teknologi pengeboran yang lebih canggih telah membuat eksplorasi semakin menguntungkan. Petrobras berencana menginvestasikan lebih dari US$111 miliar hingga 2029, sebagian besar untuk mengeksploitasi ladang-ladang seperti Búzios dan Mero di cekungan Santos. Brazil saat ini memproduksi sekitar 3,4 juta barel minyak per hari dan berambisi menembus angka 5 juta barel per hari dalam lima tahun mendatang.

Guyana, yang pada satu dekade lalu hampir tidak memiliki sejarah produksi migas, kini menjadi negara dengan pertumbuhan tercepat dalam industri minyak global. Konsorsium yang dipimpin oleh ExxonMobil menemukan cadangan besar di Blok Stabroek pada 2015, dan sejak itu produksi meningkat pesat hingga mencapai lebih dari 600 ribu barel per hari pada 2024. Reuters menyebutkan bahwa dengan rencana pengembangan tambahan dan komitmen investasi baru dari Exxon, produksi Guyana dapat melampaui 1,2 juta barel per hari sebelum 2027. Keistimewaan Guyana bukan hanya pada volume cadangannya—yang kini diperkirakan mencapai 11 miliar barel minyak—tetapi juga pada biaya produksinya yang sangat rendah, hanya sekitar US$25–35 per barel. Dengan sistem fiskal yang menarik dan stabilitas hukum yang relatif kuat, negara ini kini menjadi surga bagi para investor migas internasional.

Argentina tak mau ketinggalan dalam peta baru ini. Ladang Vaca Muerta di provinsi Neuquén adalah salah satu cadangan shale terbesar dunia di luar Amerika Serikat. Meskipun selama bertahun-tahun terhambat oleh kontrol harga dan ketidakstabilan makroekonomi, perubahan arah kebijakan yang diambil oleh Presiden Javier Milei sejak 2023 memberi napas baru bagi industri migas Argentina. Pemerintah mencabut pembatasan ekspor, menghapus regulasi harga domestik, dan memperkenalkan skema insentif investasi seperti Régimen de Incentivo a las Grandes Inversiones (RIGI). Kebijakan ini langsung berdampak: produksi Vaca Muerta melonjak hingga mencakup hampir 60 persen produksi minyak Argentina, atau sekitar 400 ribu barel per hari. Target jangka menengah pemerintah adalah mencapai lebih dari 1 juta barel per hari pada 2030, menjadikan Argentina salah satu produsen utama baru di belahan selatan.

Sementara itu, Suriname, negara kecil di pesisir Atlantik, tengah meniru langkah Guyana. Penemuan cadangan minyak oleh TotalEnergies dan APA Corporation di blok lepas pantainya diperkirakan menyimpan potensi miliaran barel. Suriname telah menyusun kerangka fiskal yang kompetitif dan mulai mempersiapkan infrastruktur dasar seperti pelabuhan dan terminal ekspor. Diharapkan, produksi komersial pertama akan dimulai sekitar 2027, dengan potensi ekspor minyak mentah mencapai ratusan ribu barel per hari dalam satu dekade.

Peralihan fokus ini bukan tanpa alasan. Faktor pertama adalah geopolitik. Ketegangan yang meningkat di kawasan kaya minyak seperti Timur Tengah, Afrika Barat, dan Rusia membuat perusahaan migas mencari lokasi yang lebih aman dan dapat diprediksi. Brazil dan Guyana menawarkan stabilitas yang jauh lebih tinggi. Bahkan di Argentina, risiko politik kini lebih mudah dipetakan dibandingkan dengan volatilitas pasar energi Afrika atau kawasan bekas Uni Soviet.

Faktor kedua adalah biaya produksi dan efisiensi. Minyak dari ladang pre-salt Brazil dan formasi Stabroek di Guyana memiliki tingkat return on investment (ROI) yang sangat tinggi, terutama karena biaya eksplorasi dan produksinya jauh lebih rendah dibandingkan ladang-ladang marginal di Amerika Serikat atau Kanada. Selain itu, emisi karbon dari produksi di pre-salt Brazil juga relatif rendah, menjadikannya lebih mudah untuk dimasukkan dalam portofolio energi perusahaan yang ingin menjaga jejak karbon tetap terkendali. Beberapa analis yang dikutip oleh The Wall Street Journal bahkan menyatakan bahwa pre-salt Brazil adalah “sweet spot” dari transisi energi—menghasilkan minyak dengan intensitas karbon rendah dan keuntungan tinggi.

Faktor ketiga adalah dukungan pemerintah. Argentina dan Brazil telah menunjukkan keterbukaan yang besar terhadap investasi asing. Pemerintah Brazil terus mempertahankan kemitraan strategis dengan perusahaan asing dalam eksplorasi offshore, sementara Argentina, yang dahulu dikenal sangat tertutup, kini menjadi agresif dalam menarik investasi demi memperbaiki neraca perdagangannya. Pemerintah Guyana juga telah berhati-hati menjaga kepercayaan investor, meskipun terus menghadapi tekanan domestik untuk memperbesar porsi pendapatan nasional dari kekayaan alamnya.

Tidak hanya itu, infrastruktur yang memadai juga menjadi penentu. Brazil dan Argentina telah memiliki jaringan pipa, pelabuhan, dan fasilitas pemrosesan yang memungkinkan ekspansi cepat. Petrobras, misalnya, telah mengoperasikan beberapa FPSO (Floating Production Storage and Offloading) terbesar di dunia, yang memungkinkan produksi besar-besaran dari laut dalam tanpa perlu instalasi darat yang besar. Argentina sedang mempercepat pembangunan jalur pipa dari Vaca Muerta ke pelabuhan ekspor di pantai Atlantik untuk mempermudah ekspor ke Eropa dan Asia. Sementara itu, Guyana dan Suriname masih dalam tahap awal membangun fasilitas pendukung, namun mendapat dukungan teknis dan keuangan dari mitra-mitra internasional mereka.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Tantangan tetap ada, mulai dari risiko ekologi di laut dalam Brazil, potensi konflik perbatasan di Guyana, volatilitas nilai tukar dan inflasi di Argentina, hingga ketergantungan infrastruktur di Suriname pada modal asing. Selain itu, pertanyaan mendasar tentang keberlanjutan jangka panjang dari model energi berbasis fosil tetap membayangi. Meskipun wilayah ini menarik dalam konteks krisis pasokan energi global, dunia tetap bergerak menuju target emisi nol bersih, dan ladang-ladang baru ini perlu beroperasi dengan kehati-hatian tinggi terhadap tekanan regulasi internasional.

Di pasar global, kehadiran produksi baru dari Amerika Selatan memberi tekanan tersendiri bagi OPEC. Peningkatan output dari Brazil dan Guyana, misalnya, dapat mempersempit ruang OPEC untuk menaikkan harga, karena suplai non-OPEC yang kuat berarti pasar lebih terdiversifikasi. Menurut beberapa analis yang dikutip oleh Reuters, produksi dari Amerika Selatan berpotensi menjadi penyeimbang baru dalam dinamika harga minyak global, mirip dengan peran yang dimainkan shale oil dari AS dalam dekade sebelumnya.

Para pelaku pasar memandang lonjakan investasi ini sebagai fenomena yang akan membentuk ulang lanskap energi global setidaknya selama satu dekade ke depan. Para pembuat kebijakan di negara-negara penghasil tampaknya juga memahami bahwa ini adalah jendela waktu yang sempit. Dengan prospek energi terbarukan dan regulasi karbon yang semakin ketat, tidak banyak waktu tersisa sebelum investor global beralih secara permanen ke sektor non-fosil. Oleh karena itu, negara-negara seperti Brazil, Guyana, Argentina, dan Suriname berlomba-lomba menciptakan iklim yang mendukung untuk investasi jangka menengah dan ekspor cepat.