(Vibizmedia – Kolom) Ketika konsumen memesan makanan lewat aplikasi, semakin besar kemungkinan pesanan mereka diantarkan oleh mesin, bukan manusia. Tren ini muncul dari kebutuhan efisiensi, tekanan biaya, dan dorongan teknologi yang membuat perusahaan-perusahaan layanan makanan berinovasi untuk memangkas waktu tunggu, meningkatkan akurasi, dan mengurangi ketergantungan pada pekerja manusia—yang selama bertahun-tahun menjadi tulang punggung logistik kuliner urban.
Laporan The Wall Street Journal mengungkap bahwa perusahaan-perusahaan seperti Uber Eats, DoorDash, dan Grubhub semakin giat berinvestasi dalam teknologi pengantaran otonom. Kendaraan kecil beroda enam yang bergerak di trotoar dan robot berkamera yang mampu membuka gerbang apartemen menjadi pemandangan umum di kota-kota seperti Los Angeles, Miami, dan Dallas. Robot-robot ini tidak hanya mengurangi kebutuhan akan pengantar manusia, tetapi juga berfungsi sebagai ujung tombak dalam upaya perusahaan memperluas margin keuntungan di tengah tekanan biaya operasional yang terus meningkat.
Startup seperti Serve Robotics dan Starship Technologies menjadi pemain penting dalam revolusi ini. Serve, misalnya, bermitra dengan Uber Eats untuk menyediakan layanan pengantaran robot di kampus dan kawasan padat pemukiman. Dengan menggunakan peta digital dan kecerdasan buatan, robot Serve dapat menavigasi lingkungan kota secara mandiri. Kecepatannya masih kalah dibanding kurir motor atau mobil, namun biayanya lebih rendah, konsisten, dan tidak terganggu oleh cuaca atau kelelahan manusia.
Teknologi ini juga mendapat dukungan dari restoran cepat saji dan jaringan makanan besar. CNBC melaporkan bahwa Chick-fil-A, Domino’s, dan bahkan Walmart telah bereksperimen dengan kendaraan otonom untuk pengantaran jarak pendek. Di pasar yang kompetitif seperti makanan siap saji, selisih waktu pengantaran beberapa menit saja bisa membuat perbedaan besar terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas merek. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan ini melihat otomasi bukan sekadar efisiensi, tetapi juga sebagai strategi mempertahankan relevansi dan daya saing.
Namun, revolusi robotik ini tidak terjadi tanpa hambatan. Di beberapa kota, kehadiran robot pengantar menimbulkan kontroversi. Warga lokal mengeluhkan keberadaan mesin yang menghalangi trotoar, tidak responsif terhadap pejalan kaki, atau terjebak dalam lalu lintas. Pemerintah kota seperti San Francisco bahkan sempat membatasi jumlah robot pengantar di jalan umum. Isu privasi, keselamatan, dan aksesibilitas juga menjadi bahan perdebatan, terutama ketika robot-robot ini dipasang kamera dan sensor yang merekam lingkungan secara terus-menerus.
Dari sisi tenaga kerja, otomatisasi ini menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya lapangan kerja bagi kurir dan sopir lepas. Meskipun perusahaan menyatakan bahwa robot hanya digunakan dalam area tertentu dan tidak sepenuhnya menggantikan manusia, tren jangka panjangnya jelas menunjukkan bahwa teknologi diarahkan untuk mengambil alih segmen-segmen penting dalam rantai distribusi makanan. Serikat pekerja dan aktivis hak-hak buruh mulai menyerukan regulasi yang adil dan jaminan transisi bagi pekerja yang terdampak.
Di sisi lain, laporan Bloomberg menekankan bahwa robot tidak selalu lebih murah dalam jangka pendek. Biaya per unit robot bisa mencapai puluhan ribu dolar, dan masih diperlukan operator jarak jauh untuk mengawasi robot di lapangan. Namun, dengan meningkatnya skala produksi dan penyempurnaan AI, biaya ini diperkirakan akan menurun. Bahkan beberapa perusahaan sedang mengembangkan sistem fleet management berbasis cloud yang memungkinkan satu operator mengawasi puluhan robot sekaligus.
Perubahan ini juga mendorong model bisnis baru. Perusahaan seperti Nuro dan Kiwibot bekerja sama dengan pemilik restoran untuk membangun ekosistem layanan pengantaran tanpa pengemudi. Mereka tidak hanya menawarkan robot, tetapi juga sistem pemesanan, pelacakan real-time, dan integrasi pembayaran yang mulus. Beberapa investor melihat ini sebagai gelombang berikutnya dari transformasi digital sektor makanan, setara dengan transisi dari layanan konvensional ke pemesanan melalui aplikasi satu dekade lalu.
Tren ini juga meluas secara global. Di Korea Selatan dan Jepang, robot pengantar telah diujicoba untuk melayani pelanggan lansia atau di wilayah pedesaan yang kekurangan tenaga kerja. Di Eropa, beberapa kota di Jerman dan Inggris mulai membuka akses hukum bagi kendaraan robotik di jalur publik. Ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi ini tidak terbatas pada Silicon Valley saja, tetapi mencerminkan tantangan global yang dihadapi industri makanan dan logistik modern.
Di tengah sorotan terhadap keberlanjutan, robot pengantar juga dinilai lebih ramah lingkungan dibanding kendaraan bermotor konvensional. Mayoritas menggunakan tenaga listrik, memiliki jejak karbon rendah, dan menghasilkan polusi suara yang nyaris nol. Beberapa robot bahkan didesain dapat kembali ke stasiun pengisian daya secara mandiri setelah menyelesaikan tugas. Hal ini sejalan dengan tuntutan konsumen dan regulasi untuk mengurangi emisi karbon dalam sektor transportasi perkotaan.
Meski belum menggantikan seluruh ekosistem kurir manusia, kehadiran robot dalam pengantaran makanan sudah mulai mengubah lanskap industri ini secara mendasar. Pengguna layanan mulai merasa nyaman dengan kehadiran robot yang “menyapa” mereka saat membuka pintu, restoran mengandalkan teknologi ini untuk menghindari lonjakan biaya tenaga kerja, dan investor melihatnya sebagai frontier baru dalam dunia otomasi sehari-hari.
Dengan laju adopsi yang cepat, dukungan investor, serta dorongan efisiensi operasional, era pengantaran makanan oleh robot tampaknya bukan lagi sekadar eksperimen futuristik, melainkan realitas yang perlahan menggantikan peran manusia—satu pesanan makanan dalam kotak logam bergerak pada satu waktu.
Teknologi robot dalam layanan pengantaran makanan kini bukan lagi sebatas konsep futuristik, tetapi telah mulai diimplementasikan di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Eropa. Inovasi ini menjanjikan efisiensi, kecepatan, dan pengurangan biaya operasional, namun di sisi lain juga menggeser peran manusia sebagai tenaga kerja. Di Indonesia, tren ini masih dalam tahap awal, namun sejumlah pelaku industri sudah mulai mengeksplorasi kemungkinan dan manfaat yang ditawarkan oleh robot pengantar makanan.
Salah satu upaya paling awal dan nyata dalam memperkenalkan teknologi ini di Indonesia dilakukan oleh GoFood, layanan pengantaran makanan dari Gojek. Pada 2022, GoFood memperkenalkan uji coba sistem robotik di kawasan foodcourt Mall Kelapa Gading, Jakarta, bekerja sama dengan PUDU Robotics. Robot bernama BellaBot yang digunakan dalam uji coba tersebut bertugas mengambil makanan dari tenant dan mengantarkannya ke titik penjemputan, tempat para pengemudi GoFood menunggu untuk mengantarkan ke pelanggan. Robot ini dilengkapi dengan sistem navigasi otomatis, sensor penghindar tabrakan, serta kemampuan interaksi dasar dengan manusia melalui suara dan tampilan wajah digital.
Inisiatif ini bukan sekadar gimmick teknologi, melainkan bagian dari upaya untuk meningkatkan efisiensi layanan, mengurangi antrean, dan mempercepat waktu tunggu pesanan. Dalam operasional harian, robot tersebut membantu mempersingkat waktu yang dibutuhkan oleh pengemudi untuk mengambil pesanan dari berbagai tenant yang tersebar di dalam pusat perbelanjaan. Dengan demikian, proses pengantaran bisa menjadi lebih cepat dan jumlah order yang dapat ditangani oleh seorang pengemudi pun bertambah.
Namun, berbeda dengan negara-negara maju yang sudah menguji coba robot pengantar makanan langsung ke pintu rumah di area publik seperti trotoar atau kompleks perumahan, Indonesia masih menghadapi berbagai kendala infrastruktur. Trotoar yang sempit, kondisi lalu lintas yang semrawut, serta minimnya peraturan yang mengatur operasional robot di ruang publik membuat teknologi ini belum dapat diterapkan secara luas di luar area privat seperti mall atau hotel.
Selain GoFood, sejumlah perusahaan lain seperti PUDU Robotics dan Keenon Robotics juga mulai memperkenalkan berbagai varian robot layanan, mulai dari pengantar makanan, pelayan restoran, hingga robot untuk kebutuhan hotel dan rumah sakit. Robot-robot ini umumnya digunakan di lingkungan indoor dengan rute dan medan yang relatif terkendali. Beberapa hotel bintang lima di Jakarta dan Bali sudah menggunakan robot untuk mengantarkan makanan ke kamar tamu atau membantu proses check-in. Harganya bervariasi, mulai dari Rp100 juta hingga lebih dari Rp300 juta tergantung pada fitur dan kapabilitasnya.
Respons pasar terhadap keberadaan robot ini cukup positif, terutama dari kalangan pelaku usaha yang melihat potensi penghematan biaya tenaga kerja dalam jangka panjang. Namun demikian, adopsi teknologi ini juga masih terbatas oleh kemampuan investasi pelaku usaha, kesiapan infrastruktur digital dan fisik, serta tantangan dalam integrasi dengan sistem layanan yang sudah ada. Robot tidak serta-merta menggantikan peran manusia, tetapi lebih pada mengisi celah operasional yang dianggap bisa ditingkatkan efisiensinya.
Sementara itu, masyarakat umum di Indonesia masih belum terlalu terpapar dengan konsep robot pengantar makanan dalam kehidupan sehari-hari. Belum banyak diskusi di media sosial atau pemberitaan lokal yang memperlihatkan pengalaman pengguna secara langsung dengan robot seperti di luar negeri. Artinya, adopsi massal teknologi ini masih jauh, dan mungkin membutuhkan waktu serta perubahan regulasi untuk dapat diintegrasikan lebih luas.
Fenomena ini menjadi menarik ketika dibandingkan dengan negara seperti Amerika Serikat, di mana perusahaan seperti Starship Technologies atau Serve Robotics sudah mengoperasikan robot delivery di beberapa kota besar. Di negara-negara tersebut, robot dilengkapi kamera, radar, serta AI navigasi yang canggih untuk melewati trotoar, lampu merah, dan bahkan interaksi dengan pejalan kaki. Teknologi tersebut belum sepenuhnya relevan diterapkan di Indonesia, mengingat kondisi trotoar yang tidak ramah pejalan kaki dan padatnya jalanan.
Meski demikian, perusahaan teknologi dan logistik di Indonesia mulai menyadari bahwa masa depan layanan pengantaran makanan akan sangat bergantung pada efisiensi dan otomatisasi. Dalam jangka menengah, bukan tidak mungkin Indonesia akan melihat perluasan penggunaan robot dalam ekosistem food delivery, dimulai dari pusat perbelanjaan besar, kawasan perkantoran, hingga akhirnya menjangkau area residensial.
Dengan perkembangan AI yang semakin cepat dan harga robotik yang semakin terjangkau, serta peningkatan kesadaran akan pentingnya efisiensi operasional, peran manusia dalam pengantaran makanan bisa jadi perlahan mulai tergeser oleh mesin. Namun di sisi lain, hal ini juga membuka peluang baru dalam bentuk pekerjaan yang mendukung ekosistem robotik—mulai dari teknisi, operator, hingga pengembang software navigasi.
Indonesia belum berada pada titik di mana robot pengantar makanan menggantikan sepenuhnya peran manusia, tetapi benih-benih perubahan itu sudah mulai terlihat. Di balik keterbatasan infrastruktur dan regulasi, ada peluang besar bagi transformasi layanan pengantaran makanan berbasis teknologi. Transformasi ini tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi kecepatan adopsi akan sangat bergantung pada dukungan kebijakan, kesiapan infrastruktur, dan kesiapan masyarakat dalam menerima kehadiran robot dalam kehidupan sehari-hari mereka.