(Vibizmedia – Kolom) Sebuah ironi besar tengah mengguncang dunia elit konsultan manajemen. Perusahaan yang selama puluhan tahun membantu klien beradaptasi dengan disrupsi kini berhadapan langsung dengan ancaman disrupsi terbesar abad ini: kecerdasan buatan. Dalam laporan eksklusif dari The Wall Street Journal, terungkap bahwa para pemimpin di McKinsey & Company—firma konsultan manajemen terbesar dan paling berpengaruh di dunia—mengakui bahwa kehadiran AI bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan sebuah pertaruhan eksistensial.
Pertanyaan mendasarnya sederhana tapi brutal: jika kecerdasan buatan dapat membaca laporan pasar, menganalisis data keuangan, menyusun strategi, bahkan membuat presentasi PowerPoint canggih hanya dalam hitungan detik, untuk apa perusahaan membayar jutaan dolar kepada konsultan manusia?
Selama beberapa dekade, model bisnis McKinsey dibangun di atas keahlian menyaring informasi kompleks dan menyulapnya menjadi rekomendasi strategis. Namun kini, sebagian besar tugas-tugas itu bisa dilakukan oleh AI generatif seperti ChatGPT, Claude, dan Gemini. The Wall Street Journal melaporkan bahwa di dalam lingkaran internal McKinsey, perdebatan tentang bagaimana perusahaan bisa bertahan di era AI mencapai titik krusial. “Ini bukan sekadar efisiensi,” kata salah satu direktur senior McKinsey yang tidak disebutkan namanya. “Ini soal bertahan hidup.”
Sejak 2023, McKinsey telah menginvestasikan ratusan juta dolar dalam membangun QuantumBlack Horizon, sebuah platform berbasis AI internal yang dirancang untuk mendukung, atau bahkan menggantikan, bagian dari proses konsultasi tradisional. Dengan platform ini, seorang konsultan muda yang baru bergabung bisa mendapatkan jawaban berkualitas tinggi setara partner dalam waktu satu malam. Tapi justru efisiensi luar biasa ini yang kini membuat perusahaan waspada terhadap implikasinya sendiri.
Dalam penjelasan WSJ, McKinsey melihat ancaman di dua sisi. Pertama, AI bisa menggerus nilai dari layanan konsultasi yang selama ini dianggap premium. Jika klien bisa mendapatkan rekomendasi strategis dari AI seharga ribuan dolar per tahun, mengapa harus membayar jutaan dolar kepada konsultan? Kedua, AI juga memangkas jalur karier internal di McKinsey. Para business analyst dan engagement manager yang biasanya bekerja selama bertahun-tahun untuk naik ke jenjang partner, kini melihat sebagian besar pekerjaan mereka diotomatisasi oleh QuantumBlack Horizon.
Satu ilustrasi yang mencolok, menurut WSJ, terjadi pada musim gugur 2024. Seorang analis diminta mengembangkan strategi masuk pasar untuk perusahaan teknologi Asia yang ingin berekspansi ke Amerika Selatan. Dalam kondisi normal, tim McKinsey akan menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk riset, wawancara pakar, dan membuat presentasi kepada klien. Namun dengan bantuan AI internal, analis tersebut menyelesaikan 80% pekerjaannya dalam 48 jam. Platform AI milik McKinsey telah memindai ribuan laporan, membuat analisis SWOT, hingga menyusun slide dengan grafik interaktif.
Partner senior pun dibuat takjub sekaligus khawatir. Kecepatan dan akurasi seperti ini mengangkat satu dilema, jika satu orang bisa menyelesaikan pekerjaan tim hanya dengan bantuan AI, berapa banyak staf yang masih dibutuhkan?
Namun tantangan terbesar bukan berasal dari dalam, melainkan dari luar. Perusahaan-perusahaan seperti OpenAI dan Anthropic, yang sebelumnya bukan pemain di industri konsultan, kini mulai menawarkan solusi bisnis berbasis AI langsung ke klien korporat. Microsoft, yang bermitra erat dengan OpenAI, mulai menyediakan layanan AI enterprise kepada klien Fortune 500—layanan yang mencakup analisis kompetitif, perencanaan skenario, dan proyeksi pasar. Apa yang dulunya eksklusif bagi firma-firma konsultan papan atas kini menjadi komoditas teknologi.
Sementara itu, harga layanan konsultasi AI juga semakin murah. Menurut analisis Bloomberg Intelligence, klien korporat kini dapat mengakses alat strategi berbasis AI dengan biaya kurang dari 5% dari tarif konsultan tradisional. Ini memberi tekanan pada McKinsey untuk menjustifikasi markup mereka. “Kami bukan hanya menghadapi tekanan biaya,” ujar seorang partner McKinsey kepada WSJ. “Kami menghadapi pertanyaan fundamental tentang nilai tambah kami di era AI.”
Dalam menghadapi tekanan ini, McKinsey menerapkan tiga strategi utama. Pertama, memperkuat posisi sebagai trusted advisor—peran yang tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh AI. Konsultan McKinsey tetap dibekali kemampuan untuk membaca konteks sosial-politik, membangun relasi dengan eksekutif, dan menjadi coach dalam transformasi organisasi. “AI tidak bisa membujuk CEO yang keras kepala untuk mengubah strategi,” ujar satu konsultan dengan nada optimis.
Kedua, McKinsey mulai menggeser fokus dari analisis data ke implementasi. Klien saat ini tidak hanya ingin tahu apa yang harus dilakukan, tapi juga bagaimana mengeksekusinya. Dengan menanamkan tim konsultannya langsung di perusahaan klien dan mendampingi proses perubahan, McKinsey berharap bisa menawarkan nilai tambah yang tidak bisa diberikan oleh AI dalam bentuk algoritma.
Ketiga, McKinsey juga mencoba menciptakan model hybrid consulting, di mana manusia dan AI bekerja bersama secara kolaboratif. Dalam model ini, AI digunakan untuk menyusun draft awal, menganalisis data, atau menghasilkan ide strategi, sementara konsultan manusia memvalidasi dan menyesuaikannya dengan realitas bisnis. Ini adalah pendekatan yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas hingga lima kali lipat, sambil tetap mempertahankan sentuhan manusia yang dianggap penting.
Namun semua ini datang dengan konsekuensi struktural. Dalam jangka pendek, McKinsey diprediksi akan memangkas jumlah analis junior hingga 30% dalam dua tahun ke depan, menurut sumber internal yang dikutip oleh WSJ. Ini bukan karena krisis keuangan, tapi karena beban kerja mereka bisa digantikan AI.
Lebih jauh, struktur karier di McKinsey akan berubah drastis. Dulu, jalur menuju partner melibatkan bertahun-tahun riset manual, pengalaman proyek lintas industri, dan bimbingan senior. Kini, para rising star bisa menjadi konsultan “supercharged” dengan bantuan AI, melewatkan banyak tahapan. Tapi ini juga menimbulkan kekhawatiran soal kurangnya pengalaman manusiawi—intuisi, empati, dan kecerdasan sosial—yang tak bisa diajarkan oleh algoritma.
McKinsey bukan satu-satunya yang menghadapi dilema ini. Firma seperti Boston Consulting Group (BCG) dan Bain & Company juga tengah membangun platform AI internal, dengan pendekatan serupa. Namun McKinsey tetap menjadi barometer industri, dan langkah mereka akan menentukan arah ke mana dunia konsultasi bergerak.
Meskipun belum ada tanda-tanda bahwa McKinsey akan tergeser dari puncak, tekanan untuk bertransformasi kian nyata. Para alumni McKinsey yang kini memimpin perusahaan besar juga menuntut efisiensi dan ketepatan strategi yang hanya bisa didapatkan dari gabungan manusia dan mesin.
Satu hal yang pasti, dunia konsultan tak akan lagi sama. Jika dekade 1990-an ditandai oleh kebangkitan globalisasi dan dekade 2010-an oleh revolusi digital, maka dekade 2020-an adalah dekade AI mengguncang elit profesional. Dan jika perusahaan sekaliber McKinsey saja menyebutnya sebagai “ancaman eksistensial”, maka kita bisa membayangkan betapa besar gelombang perubahan ini.
AI mungkin belum bisa menggantikan keahlian politik, intuisi budaya, dan kecerdasan emosional para konsultan. Tapi dengan kecepatan dan kecanggihan yang terus meningkat, waktu McKinsey untuk beradaptasi semakin sempit. Transformasi bukan lagi pilihan—melainkan keniscayaan.









