(Vibizmedia – Jakarta) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menekankan pentingnya transparansi, disiplin administratif, serta konsistensi strategi bagi industri tekstil nasional, khususnya sektor hulu yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI).
Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), tingkat kepatuhan pelaporan industri anggota APSyFI masih rendah. Dari total 20 perusahaan anggota, hanya 15 yang menyampaikan laporan, sementara 5 lainnya tidak melaksanakan kewajiban tersebut.
“Masih ada perusahaan besar anggota APSyFI yang sama sekali tidak melaporkan kinerjanya. Padahal, kewajiban ini merupakan bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Jika abai, maka klaim asosiasi sebagai garda depan tekstil nasional menjadi kontradiktif,” ujar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, di Jakarta, Sabtu (23/8).
Febri juga mengungkap adanya anomali pada kinerja industri. Di saat asosiasi meminta pemerintah memperketat impor, justru tercatat lonjakan impor benang dan kain oleh anggotanya sendiri. Volume impor meningkat drastis lebih dari 239% dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram (2024) menjadi 47,88 juta kilogram (2025).
“Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API Umum untuk melakukan impor besar-besaran. Di satu sisi mereka menuntut proteksi, namun di sisi lain aktif mengimpor. Ini jelas berlawanan dengan semangat kemandirian industri,” tegas Febri.
Padahal, pemerintah selama ini sudah memberikan berbagai instrumen perlindungan, seperti Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) Polyester Staple Fiber (PSF) yang berlaku hingga 2027, BMAD Spin Drawn Yarn (SDY) hingga 2025, Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) Benang sintetis hingga 2026, serta BMTP Kain sampai 2027.
“Industri anggota APSyFI sebenarnya telah menikmati keuntungan ganda, yakni proteksi tarif dan fasilitas impor. Sayangnya, belum terlihat investasi baru maupun modernisasi teknologi,” jelasnya.
Kemenperin menegaskan, setiap kebijakan impor maupun perlindungan industri dibuat berdasarkan prinsip keadilan, dengan menjaga keseimbangan antara hulu, intermediate, dan hilir. Apalagi, jika rekomendasi BMAD 45% diterapkan, risiko yang muncul adalah pemutusan hubungan kerja hingga 40 ribu pekerja di sektor hilir, sementara dampak di hulu relatif lebih kecil dan masih bisa dimitigasi melalui peningkatan serapan lokal.
Sektor tekstil sendiri pada kuartal I–II 2025 tercatat masih tumbuh di atas 4%. “Di tengah capaian positif ini, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan kepatuhan, bukan narasi yang menyesatkan publik,” pungkas Febri.









