Indonesia Berebut Momentum Pusat Data Global

Indonesia tengah dipandang sebagai pasar strategis untuk investasi pusat data karena pertumbuhan ekonomi digital yang pesat, jumlah pengguna internet yang besar, serta letak geografis yang strategis di Asia Tenggara. Beberapa pemain global seperti Amazon Web Services, Microsoft, dan Google sudah menaruh minat pada ekspansi infrastruktur digital di Tanah Air.

0
599
Pusat Data Center
Ilustrasi data center

(Vibizmedia – Kolom) Industri pusat data sedang memasuki fase yang unik, proyek-proyek raksasa diumumkan setiap bulan, dengan janji kapasitas komputasi untuk menopang revolusi kecerdasan buatan. Namun, banyak di antaranya hanyalah rencana di atas kertas yang belum tentu terealisasi. Meski demikian, bayangan pusat data yang belum dibangun sudah cukup menimbulkan kecemasan di sektor ketenagalistrikan. Utilitas di Amerika Serikat kini dihantui oleh permintaan daya yang diprediksi melonjak tajam akibat pembangunan pusat data, padahal sebagian besar fasilitas itu mungkin tidak akan pernah ada. Fenomena ini menciptakan paradoks: jaringan listrik dituntut bersiap untuk beban yang belum tentu datang, sementara investasi yang diperlukan sangat besar dan berisiko.

Menurut laporan The Wall Street Journal, utilitas di berbagai negara bagian kini dipaksa merencanakan pasokan listrik tambahan karena perusahaan teknologi besar seperti Microsoft, Amazon, dan Google mengumumkan proyek pusat data dengan kebutuhan energi masif. Data center modern yang dirancang untuk komputasi AI generatif bisa menyedot ratusan megawatt listrik, setara dengan konsumsi satu kota kecil. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak proyek itu masih terganjal izin lingkungan, biaya infrastruktur, dan ketersediaan lahan. Meski belum pasti akan dibangun, utilitas tetap harus mempersiapkan kapasitas, karena jika rencana itu benar-benar terealisasi, mereka bisa kewalahan.

Tekanan terhadap jaringan listrik tidak hanya soal kapasitas, tetapi juga kecepatan. Pusat data biasanya ingin segera beroperasi begitu izin didapat, sedangkan utilitas membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun pembangkit baru atau memperluas transmisi. Akibatnya, perusahaan listrik menghadapi dilema: berinvestasi besar-besaran untuk permintaan yang belum tentu terjadi, atau menunggu dengan risiko tidak mampu memenuhi kebutuhan jika semua proyek terealisasi sekaligus. Hal ini mendorong diskusi tentang bagaimana AI menciptakan jenis ketidakpastian baru dalam perencanaan energi, berbeda dengan lonjakan permintaan dari sektor tradisional seperti manufaktur atau perumahan.

Beberapa analis menilai bahwa ketidakpastian ini bisa berujung pada inefisiensi besar. Jika utilitas terlalu agresif membangun infrastruktur baru, biaya bisa membengkak dan pada akhirnya ditanggung konsumen melalui tarif listrik yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika mereka terlalu hati-hati, investor di sektor pusat data bisa mengalihkan proyek ke lokasi lain atau bahkan negara lain dengan jaringan yang lebih siap. Dalam situasi ini, muncul dinamika global: negara yang mampu menawarkan kombinasi energi murah, bersih, dan tersedia dalam jumlah besar akan lebih menarik bagi pembangunan pusat data, yang pada gilirannya memperkuat posisi mereka dalam ekosistem AI dunia.

Menurut Bloomberg, fenomena ini juga menjadi peluang emas bagi utilitas. Walaupun berisiko, pusat data AI menjanjikan pendapatan jangka panjang karena kontrak listrik biasanya bernilai miliaran dolar dengan durasi puluhan tahun. Tidak mengherankan jika sejumlah perusahaan listrik mulai melobi regulator agar memberi izin percepatan investasi. Beberapa bahkan menjajaki penggunaan energi terbarukan skala besar untuk mengantisipasi kebutuhan pusat data yang semakin haus energi. Namun, proyek energi terbarukan juga menghadapi kendala serupa: waktu konstruksi yang panjang, infrastruktur transmisi terbatas, dan perlawanan dari masyarakat sekitar.

Di sisi lain, para kritikus memperingatkan bahwa membiarkan industri pusat data tumbuh tanpa kendali bisa memperburuk masalah iklim. Pusat data AI beroperasi 24 jam dan menghasilkan jejak karbon yang signifikan jika listriknya bersumber dari bahan bakar fosil. Organisasi lingkungan mendorong agar setiap pembangunan pusat data baru diwajibkan menggunakan energi terbarukan. Tetapi tekanan ini bisa menambah lapisan biaya dan memperlambat proyek, memperbesar ketidakpastian bagi utilitas.

Meski masih dipenuhi tanda tanya, arah tren jelas: permintaan listrik global sedang bergeser. Jika dulu sektor industri berat dan rumah tangga menjadi pendorong utama, kini AI dan pusat data mengambil alih panggung. Dunia listrik memasuki era di mana “proyek bayangan” – pusat data yang bahkan belum dibangun – sudah cukup untuk memengaruhi kebijakan energi dan strategi investasi. Bagi utilitas, ini bukan hanya soal memenuhi kebutuhan teknologi, tetapi juga tentang menavigasi risiko besar dalam era ketidakpastian energi digital.

Jika dikaitkan dengan Indonesia, tren global pusat data dan kebutuhan energi untuk AI berpotensi membawa peluang sekaligus tantangan besar. Di satu sisi, Indonesia tengah dipandang sebagai pasar strategis untuk investasi pusat data karena pertumbuhan ekonomi digital yang pesat, jumlah pengguna internet yang besar, serta letak geografis yang strategis di Asia Tenggara. Beberapa pemain global seperti Amazon Web Services, Microsoft, dan Google sudah menaruh minat pada ekspansi infrastruktur digital di Tanah Air. Namun, seperti yang terlihat di Amerika Serikat, tantangan utama ada pada kesiapan pasokan energi. PLN dan penyedia listrik swasta perlu menyeimbangkan antara memenuhi kebutuhan industri baru yang haus energi dengan komitmen terhadap transisi energi hijau.

Di sisi lain, jika Indonesia mampu menyiapkan ekosistem yang tepat—dari ketersediaan lahan, pasokan listrik yang stabil, hingga percepatan investasi energi terbarukan—maka peluangnya sangat besar. Pusat data bisa menjadi sektor strategis baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok digital global. Namun, jika tidak siap, Indonesia berisiko kehilangan momentum, di mana investor pusat data lebih memilih negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia yang sudah lebih matang infrastrukturnya. Dengan demikian, perencanaan energi untuk menghadapi “proyek bayangan” pusat data perlu mulai diperhitungkan sejak dini agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar pengguna AI, tetapi juga menjadi pusat pengembangannya.