General Motors dan Sulitnya Keluar dari India

0
860
India

(Vibizmedia – Kolom) India kerap dipandang sebagai pasar emas bagi perusahaan multinasional, dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa dan pertumbuhan kelas menengah yang terus meningkat. Namun, di balik peluang besar itu, terdapat kenyataan yang jauh lebih kompleks. Seperti dilaporkan The Wall Street Journal, kisah General Motors menunjukkan bahwa bukan hanya memasuki pasar India yang penuh tantangan, tetapi meninggalkannya justru bisa lebih sulit. Hambatan birokrasi, sengketa hukum, hingga resistensi sosial memperlihatkan sisi gelap dari iklim usaha yang membuat banyak investor asing berpikir dua kali.

General Motors (GM) memasuki India pada dekade 1990-an dengan ambisi besar untuk memanfaatkan pertumbuhan pasar otomotif. Namun, merek tersebut tak pernah benar-benar mendapatkan pijakan kuat. Persaingan sengit dari Suzuki—melalui Maruti Suzuki—serta Hyundai membuat GM sulit bersaing. Penjualan yang stagnan akhirnya membuat perusahaan memutuskan untuk menghentikan operasional penjualannya pada 2017. Keputusan tersebut tampak sederhana di atas kertas, tetapi dalam praktiknya menjadi perjalanan panjang yang berliku. Menurut Reuters, GM masih berurusan dengan sengketa perburuhan, masalah kompensasi dengan mitra dealer, dan perizinan pemerintah daerah yang berbelit.

Masalah ketenagakerjaan menjadi salah satu rintangan paling signifikan. Serikat pekerja di India memiliki kekuatan besar dan tidak segan melakukan protes berkepanjangan untuk mempertahankan posisi mereka. Di pabrik GM di Maharashtra, karyawan menolak rencana penutupan, bahkan hingga bertahun-tahun setelah pengumuman resmi. Financial Times mencatat bahwa ketentuan hukum ketenagakerjaan India yang ketat membuat proses pemutusan hubungan kerja menjadi rumit, sehingga perusahaan asing sering kali harus menghadapi biaya tambahan yang besar serta keterlambatan eksekusi.

Selain itu, jalur hukum India dikenal lambat dan penuh ketidakpastian. Sengketa komersial bisa memakan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, sebelum mencapai penyelesaian. GM terjebak dalam litigasi panjang dengan mitra dealer yang merasa kompensasi mereka tidak memadai. Bloomberg melaporkan bahwa kasus ini menjadi ilustrasi nyata bagaimana proses keluar dari pasar India dapat tersendat akibat sistem hukum yang tidak efisien.

Ford Motor menjadi contoh lain yang mengikuti jejak serupa. Pada 2021, Ford mengumumkan hengkang dari pasar India setelah mencatat kerugian miliaran dolar. Sama seperti GM, Ford menghadapi kesulitan menemukan pembeli untuk pabriknya dan harus berhadapan dengan serikat pekerja yang menentang rencana tersebut. CNBC menyebutkan bahwa pengalaman Ford semakin mempertegas citra India sebagai pasar yang penuh risiko, tidak hanya untuk masuk, tetapi juga untuk keluar.

Pemerintah India melalui program Make in India di bawah Perdana Menteri Narendra Modi berusaha keras menarik investasi asing. Insentif fiskal ditawarkan untuk menjadikan India pusat produksi global. Namun, tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan negara bagian, serta birokrasi yang rumit, kerap meniadakan manfaat insentif tersebut. The Economist menilai bahwa walaupun India berhasil memperbaiki peringkat dalam Ease of Doing Business untuk memulai usaha, aspek kemudahan menutup bisnis justru sangat tertinggal.

Ada pula dimensi sosial-politik yang tidak kalah penting. Perusahaan asing yang keluar dari India kerap dicap sebagai pihak yang meninggalkan tanggung jawab terhadap pekerja dan komunitas lokal. Hal ini membuat perusahaan harus menyiapkan strategi komunikasi dan kompensasi yang lebih kompleks. Dalam kasus GM, protes buruh bukan hanya terjadi di tingkat pabrik, tetapi juga melibatkan opini publik yang memperlambat proses keluar.

Meski demikian, bukan berarti semua perusahaan gagal di India. Suzuki berhasil merajai pasar otomotif melalui kemitraan dengan Maruti, yang memahami selera konsumen lokal dan struktur pasar domestik. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa adaptasi dengan konteks lokal menjadi kunci. Perusahaan asing yang mencoba mengekspor model global tanpa penyesuaian sering kali menemui kegagalan.

Namun, tantangan tidak hanya terjadi di sektor otomotif. Di sektor ritel, Carrefour pernah mencoba masuk ke India pada 2010 dengan membuka toko grosir. Tapi hanya empat tahun kemudian, perusahaan asal Prancis itu memutuskan hengkang karena menghadapi kesulitan regulasi dan keterbatasan dalam mengoperasikan toko ritel konsumen akibat aturan kepemilikan asing. Carrefour menutup semua tokonya pada 2014 setelah gagal menemukan jalan keluar yang menguntungkan. Menurut Financial Times, Carrefour terjebak di antara regulasi yang membatasi kepemilikan penuh asing dan persaingan ketat dari raksasa lokal seperti Reliance dan Future Group.

Di industri farmasi, Daiichi Sankyo asal Jepang mengalami pengalaman pahit ketika mengakuisisi mayoritas saham Ranbaxy Laboratories pada 2008. Alih-alih menjadi pijakan kuat di pasar farmasi generik India, Daiichi harus menghadapi masalah hukum terkait pelanggaran kualitas obat, serta sengketa panjang dengan pemilik lama Ranbaxy. Pada 2015, Daiichi akhirnya menjual sahamnya dengan kerugian besar. Reuters menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahwa berinvestasi di sektor yang diatur ketat seperti farmasi di India bisa berubah menjadi beban besar jika tidak hati-hati.

Bahkan di sektor ritel modern, Walmart yang berhasil bertahan pun melalui jalan berliku. Akuisisi besar Flipkart pada 2018 memang memperkuat posisinya, tetapi perjalanan tersebut penuh dengan hambatan regulasi terkait kepemilikan asing, aturan diskon, hingga larangan eksklusivitas produk. Walmart tidak mundur, tetapi biaya adaptasi yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun perusahaan memilih bertahan, jalan yang dilalui tidak pernah mulus.

Bagi investor global, pelajaran dari GM dan perusahaan lintas industri lainnya jelas: strategi keluar harus dipikirkan sejak awal masuk. Perjanjian dengan mitra lokal, pengelolaan aset, hingga klausul kontrak dengan karyawan sebaiknya mencakup skenario jika operasi harus ditutup. Selain itu, membangun hubungan erat dengan regulator dan pemerintah daerah sangat penting untuk mengurangi hambatan ketika menghadapi restrukturisasi.

Persaingan regional juga memperjelas dilema India. Negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia menawarkan pasar dengan birokrasi yang relatif lebih sederhana dan sistem hukum yang lebih efisien, meski ukurannya lebih kecil. Perusahaan global kini menimbang risiko reputasi dan biaya tersembunyi ketika memilih lokasi investasi, bukan hanya potensi pasar.

Pengalaman GM akhirnya menjadi simbol paradoks India. Negara ini menawarkan peluang pertumbuhan yang luar biasa, tetapi juga menyimpan risiko struktural yang mahal. Selama pemerintah belum mampu mereformasi sistem hukum, regulasi ketenagakerjaan, dan birokrasi, kisah seperti GM, Ford, Carrefour, dan Daiichi Sankyo kemungkinan besar akan terus terulang. Seperti ditulis The Wall Street Journal, India memang sulit dimasuki, tetapi keluar darinya bisa jauh lebih sulit lagi.