Membaca Jejak Padi dalam Data Nasional

0
70
Padi

(Vibizmedia – Kolom) Padi bukan sekadar tanaman pangan bagi Indonesia—ia adalah simbol kehidupan dan ketahanan sebuah bangsa. Dari Sabang hingga Merauke, setiap butir beras yang ditanak di dapur rumah tangga lahir dari ribuan hektar sawah yang ditanami, dirawat, dan dipanen oleh jutaan petani. Laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Analisis Produktivitas Padi di Indonesia 2024 (Hasil Survei Ubinan) menjadi cermin yang menampakkan denyut pertanian nasional, kumpulan angka yang dingin di atas kertas, tetapi sesungguhnya menuturkan kisah tentang kerja keras, ketimpangan, dan harapan di lapangan.

Produktivitas yang Stabil di Tengah Tantangan

Berdasarkan hasil Survei Ubinan 2024, produktivitas rata-rata padi sawah di Indonesia mencapai 53,99 kuintal per hektar di lahan irigasi—angka tertinggi di antara seluruh jenis lahan. Hasil ini menegaskan bahwa infrastruktur irigasi tetap menjadi faktor paling menentukan dalam keberhasilan produksi padi nasional. Namun di luar jaringan air yang stabil, produktivitas langsung menurun tajam.

Padi ladang, misalnya, yang ditanam di lahan kering tanpa sistem irigasi teknis, rata-rata hanya menghasilkan sekitar 41 kuintal per hektar. Perbedaan ini tidak semata karena varietas atau input pertanian, tetapi karena ketimpangan akses terhadap air, pupuk, dan pendampingan teknis. Dalam konteks kebijakan, angka ini menjadi pengingat bahwa ketahanan pangan tidak cukup hanya berbicara tentang produksi, tetapi juga pemerataan sarana produksi. Selama sebagian besar wilayah masih bergantung pada hujan dan irigasi tradisional, ketahanan pangan nasional akan terus rapuh terhadap perubahan iklim.

Tradisi yang Bertahan, Inovasi yang Lambat

Hasil survei menunjukkan bahwa 98,79 persen petani padi sawah masih menanam dengan sistem monokultur, yakni menanam padi di satu lahan tanpa diselingi tanaman lain. Praktik tanam campuran atau intercropping, yang secara teoritis dapat meningkatkan efisiensi dan ketahanan terhadap hama, masih jarang diterapkan.

Selain itu, hanya 21,74 persen petani yang telah menerapkan teknik jajar legowo, sistem tanam berjarak yang memungkinkan penyerapan sinar matahari dan sirkulasi udara lebih optimal. Meski teknik ini telah lama disosialisasikan pemerintah, adopsinya masih terbatas karena biaya transisi yang tinggi. Banyak petani kecil menganggap perubahan pola tanam membutuhkan tenaga, waktu, dan risiko tambahan. Tanpa insentif langsung, inovasi budidaya sering berhenti di tingkat percontohan.

Rendahnya tingkat adopsi teknologi mencerminkan kesenjangan antara kebijakan dan realitas di lapangan. Program peningkatan produktivitas hanya akan efektif bila dibarengi dengan dukungan ekonomi, akses alat, serta pendampingan berkelanjutan bagi petani kecil.

Antara Hibrida dan Inbrida

Data BPS menunjukkan 89,07 persen rumah tangga petani padi sawah menanam varietas inbrida, sementara hanya 10,93 persen yang menanam varietas hibrida. Secara teknis, padi hibrida mampu menghasilkan hasil panen lebih tinggi—52,25 kuintal per hektar dibanding 51,36 kuintal per hektar untuk inbrida. Namun, harga benih hibrida lebih mahal dan tidak bisa digunakan ulang untuk musim berikutnya, sehingga petani kecil lebih memilih varietas inbrida.

Selain itu, 87,43 persen petani padi sawah tidak menerima bantuan benih. Dari 12,57 persen yang menerima, mayoritas memperoleh dari pemerintah pusat (55,08 persen) dan pemerintah daerah (43,27 persen). Ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi benih masih penting, namun jangkauannya belum merata.

Kemandirian benih menjadi kunci dalam keberlanjutan pertanian. Tanpa sistem perbenihan lokal yang kuat, produktivitas akan sulit tumbuh secara organik. Pemerintah perlu memperkuat ekosistem benih daerah, memperluas laboratorium benih unggul, dan membina kemitraan dengan kelompok tani untuk menghasilkan varietas adaptif terhadap perubahan iklim.

Antara Subsidi Pupuk dan Efisiensi

Dalam survei ubinan 2024, 83,12 persen rumah tangga petani padi sawah mengaku menerima subsidi pupuk, dengan bentuk paling dominan berupa subsidi harga (80,99 persen). Penggunaan pupuk urea mencapai 229,97 kilogram per hektar untuk padi sawah dan 158,79 kilogram per hektar untuk padi ladang.

Namun, ketergantungan terhadap pupuk kimia membawa konsekuensi lingkungan jangka panjang. Penggunaan berlebih dapat mengganggu keseimbangan mikrobiologis tanah dan menurunkan kesuburan alami. Di sisi lain, setiap perubahan kebijakan subsidi langsung berdampak pada biaya produksi petani dan harga beras nasional.

Sebaliknya, penggunaan pupuk organik masih sangat rendah, hanya 23,46 kilogram per hektar di sawah dan 72,35 kilogram per hektar di ladang. Fakta ini memperlihatkan bahwa transformasi menuju pertanian berkelanjutan masih menghadapi tantangan besar. Pengembangan pupuk hayati, pelatihan pengomposan, dan penggunaan limbah jerami sebagai bahan organik menjadi langkah kecil yang harus diperluas secara sistematis.

Hama, Iklim, dan Ketahanan Sistem Produksi

Lebih dari 77 persen petani padi sawah dan 69 persen petani padi ladang masih menggunakan pestisida kimia untuk mengendalikan hama. Ketergantungan tinggi terhadap bahan kimia menunjukkan bahwa pendekatan pengendalian hayati belum menjadi arus utama. Padahal, penggunaan pestisida yang berlebihan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan dan mengancam kesehatan tanah.

Selain hama, perubahan iklim menjadi faktor besar yang memengaruhi produktivitas. Petani di berbagai provinsi melaporkan ketidakteraturan musim hujan, kekeringan yang lebih panjang, serta banjir di musim tanam. Dalam laporan BPS, wilayah dengan pasokan air yang tidak memadai menunjukkan hasil panen lebih rendah dibanding daerah dengan irigasi lancar.

Adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi kebutuhan mendesak. Tidak cukup hanya memperluas lahan, melainkan harus membangun sistem yang lebih tangguh—mulai dari irigasi hemat air, pemanfaatan sensor tanah, hingga digitalisasi prakiraan cuaca berbasis satelit.

Kelompok Tani, Pilar Sosial yang Produktif

Keterlibatan dalam kelompok tani terbukti meningkatkan produktivitas. Menurut BPS, rumah tangga anggota kelompok tani mencatat hasil 51,55 kuintal per hektar, sedikit lebih tinggi dibanding 51,17 kuintal per hektar pada petani non-anggota. Selisih ini tampak kecil, tetapi pada skala nasional perbedaannya berarti signifikan.

Kelompok tani juga berperan penting dalam distribusi bantuan, pelatihan, dan penyuluhan. Pemerintah pusat menjadi penyumbang terbesar bantuan alat dan mesin pertanian, diikuti pemerintah daerah. Dalam konteks modernisasi pertanian, kelompok tani adalah infrastruktur sosial yang sama pentingnya dengan irigasi fisik. Mereka menjadi wadah solidaritas, inovasi, dan kebersamaan dalam menjaga ketahanan pangan di akar rumput.

Ketimpangan Regional dan Arah Kebijakan Baru

Peta produktivitas padi yang disajikan BPS memperlihatkan dominasi Pulau Jawa sebagai sentra utama produksi nasional, dengan hasil di atas rata-rata nasional. Namun provinsi-provinsi di luar Jawa, terutama di wilayah timur, masih menghadapi keterbatasan irigasi dan sarana produksi.

Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan strategis, apakah upaya swasembada harus terus bertumpu pada Jawa yang padat, atau perlu dialihkan dengan memperkuat potensi pertanian di luar Jawa? Investasi infrastruktur, teknologi lahan kering, dan pengembangan kawasan pangan berbasis wilayah menjadi pilihan yang tak terelakkan.

Dalam jangka panjang, kebijakan pangan nasional sebaiknya tidak hanya bertumpu pada padi. Diversifikasi pangan lokal—seperti sorgum, jagung, dan umbi-umbian—menjadi langkah strategis untuk mengurangi risiko dan meningkatkan ketahanan di era perubahan iklim.

Makna Angka dan Jalan ke Depan

Angka-angka yang tersaji dalam laporan Survei Ubinan 2024 bukan hanya data statistik, tetapi refleksi dari dinamika sosial dan ekonomi pedesaan. Setiap kuintal padi yang tercatat di data BPS adalah representasi dari kerja manusia, kebijakan publik, dan faktor alam yang saling memengaruhi.

Data tersebut memberi tiga pesan penting, pertama, ketersediaan air dan pupuk masih menjadi penentu utama produktivitas; kedua, akses terhadap teknologi dan inovasi pertanian belum merata; ketiga, adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi tantangan paling mendesak bagi pertanian nasional.

Kebijakan pangan ke depan harus mengintegrasikan aspek produksi, distribusi, dan keberlanjutan lingkungan. Produktivitas padi tidak bisa hanya diukur dari hasil per hektar, tetapi dari seberapa tangguh sistem pertanian mampu bertahan dalam ketidakpastian iklim dan pasar global.

Dari Sawah ke Strategi Bangsa

Data BPS bukan sekadar tabel angka, tetapi peta jalan bagi kebijakan pangan nasional. Ia menunjukkan di mana negara harus memperkuat fondasinya—dari irigasi hingga benih, dari pupuk hingga pelatihan petani muda.

Produktivitas padi yang stabil di atas 50 kuintal per hektar membuktikan fondasi pangan Indonesia cukup kuat, namun belum merata. Tantangan berikutnya adalah memastikan setiap petani, di setiap provinsi, memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan sejahtera.

Dalam setiap butir beras yang kita makan, tersimpan cerita panjang tentang kebijakan, ketahanan, dan kerja keras manusia. Laporan Survei Ubinan 2024 mengingatkan kita bahwa di balik setiap angka produktivitas padi, ada makna yang lebih besar—tentang kedaulatan pangan, masa depan pedesaan, dan cara bangsa ini berdiri di atas tanahnya sendiri.