Jepang Dipenuhi Wisatawan, Nagoya Justru Ingin Lebih Banyak

Nagoya mungkin belum masuk dalam daftar tujuan utama wisatawan dunia, tetapi potensinya semakin diperhitungkan. Dengan kombinasi sejarah, modernitas, dan suasana yang lebih santai dibandingkan destinasi besar lainnya, kota ini sedang membangun narasi baru tentang bagaimana pariwisata dapat berkembang tanpa kehilangan keseimbangan antara tradisi dan kemajuan. Jika kota-kota lain berjuang menghadapi kelelahan akibat overtourism, Nagoya justru menunjukkan cara lain untuk tumbuh—tenang, perlahan, dan berkarakter.

0
60
Nagoya

(Vibizmedia – Kolom) Di antara kota-kota besar di Jepang yang ramai dikunjungi wisatawan, Nagoya sering kali menjadi persinggahan yang terlewat. Kereta peluru yang melaju di jalur Golden Route dari Tokyo menuju Kyoto dan Osaka jarang menurunkan penumpangnya di kota industri ini. Sebagai pusat manufaktur dan rumah bagi raksasa otomotif Toyota, Nagoya memang tidak memiliki citra sepopuler kota lain di Jepang. Sebuah survei lama bahkan pernah menobatkannya sebagai kota paling membosankan, sebuah label yang masih melekat hingga kini.

Namun, pemandangan dan daya tarik Nagoya sebenarnya jauh lebih beragam daripada yang sering dibayangkan. Kota ini memiliki kastel megah yang dibangun kembali setelah Perang Dunia II, kuil penting yang menyimpan artefak suci, dan kawasan tradisional seperti Arimatsu, yang dikenal dengan seni tie-dye berusia lebih dari empat abad. Selain warisan sejarah, Nagoya juga menawarkan cita rasa kuliner yang khas dan pengalaman budaya yang mendalam bagi mereka yang ingin mengenal Jepang di luar jalur wisata utama.

Ketika pariwisata di Jepang melonjak ke rekor baru, tidak semua wilayah menikmati keuntungan yang sama. Fenomena overtourism—keramaian berlebih yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga—telah menjadi isu di destinasi populer seperti Kyoto dan Osaka. Jalan-jalan sempit dan kuil kuno yang dulu tenang kini sering dipadati pengunjung, memunculkan keluhan tentang sampah, kemacetan, dan kenaikan harga.

Berbeda dengan itu, Nagoya justru masih menantikan lebih banyak wisatawan. Masyarakat di kota ini dikenal memiliki karakter yang tenang dan rendah hati, sehingga promosi pariwisata tidak berkembang seagresif kota-kota tetangga. Pemerintah daerah pun berupaya memperkuat citra Nagoya sebagai kota yang nyaman, efisien, dan ramah bagi wisatawan yang mencari pengalaman berbeda dari hiruk-pikuk destinasi populer.

Menurut data Japan National Tourism Organization, sekitar 32 juta wisatawan mancanegara datang ke Jepang dalam sembilan bulan pertama tahun ini, meningkat 18 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa Jepang berpotensi melampaui rekor 37 juta kunjungan pada 2024, dengan nilai belanja wisatawan mencapai sekitar 8 triliun yen, setara 52 miliar dolar AS. Pemerintah Jepang menargetkan kedatangan 60 juta wisatawan pada 2030, menjadikan pariwisata sebagai penopang ekonomi yang melengkapi kekuatan industrinya.

Kebangkitan pariwisata ini menjadi fenomena global. Prancis, misalnya, tetap menjadi negara dengan jumlah wisatawan tertinggi pada 2024, mencapai 102 juta kunjungan dengan pengeluaran sekitar 77 miliar dolar AS, menurut data United Nations World Tourism Organization. Jepang berharap mampu menyaingi model kesuksesan tersebut, sekaligus mempertahankan identitas budayanya di tengah derasnya arus globalisasi wisata.

Meski demikian, lonjakan wisatawan juga memunculkan ketegangan sosial dan politik. Beberapa kelompok menyoroti dampak negatif pariwisata terhadap kehidupan lokal, mulai dari kebersihan lingkungan hingga ketertiban umum. Isu ini bahkan sempat menjadi bagian dari perdebatan politik nasional, menunjukkan betapa sensitifnya topik pariwisata dalam konteks sosial Jepang yang cenderung menjunjung keteraturan.

Sebelum pandemi, sektor ini telah menjadi salah satu mesin pertumbuhan utama ekonomi Jepang. Setelah sempat terhenti total akibat pembatasan perjalanan, pariwisata kini bangkit dengan cepat. Korea Selatan menjadi penyumbang terbesar wisatawan ke Jepang, diikuti oleh China, Taiwan, dan Amerika Serikat. Tokyo, Osaka, dan Kyoto mendominasi jumlah malam menginap wisatawan asing, sementara prefektur Aichi—tempat Nagoya berada—berada di posisi kesembilan dengan sekitar tiga juta malam kunjungan.

Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan besar dalam persebaran wisatawan di dalam negeri. Nagoya memiliki infrastruktur yang memadai, transportasi modern, dan posisi geografis strategis di tengah Jepang. Semua faktor ini seharusnya menjadikannya pintu ideal bagi wisatawan yang ingin menjelajahi wilayah tengah negara tersebut, termasuk Takayama, Shirakawa, dan daerah pegunungan Gifu yang indah.

Namun, citra kota industri masih melekat kuat. Sejarah panjang Nagoya sebagai pusat produksi dan teknologi membuat kehidupan malamnya tidak semeriah Tokyo atau Osaka. Banyak kawasan perumahan dan restoran di kota ini tutup lebih awal, sejalan dengan ritme hidup masyarakat yang disiplin dan efisien. Meskipun demikian, keaslian dan ketenangan inilah yang justru dapat menjadi nilai jual bagi wisatawan yang ingin melihat sisi Jepang yang lebih tenang dan autentik.

Upaya untuk menghidupkan sektor pariwisata terus dilakukan melalui berbagai program promosi budaya dan pameran industri kreatif. Pemerintah lokal berfokus pada konsep keseimbangan antara ekonomi dan keberlanjutan, dengan menghindari jebakan overtourism yang telah menimbulkan masalah di banyak destinasi lain. Strategi ini menempatkan Nagoya sebagai kota yang tidak berusaha meniru hiruk-pikuk Kyoto, melainkan menonjolkan keunggulannya sebagai kota modern yang bersahabat.

Tahun depan, Nagoya akan menjadi tuan rumah Asian Games, sebuah momentum penting yang diharapkan mampu memperkenalkan kota ini ke mata dunia. Acara tersebut bukan hanya kesempatan ekonomi, tetapi juga peluang untuk memperlihatkan karakter Nagoya yang efisien, ramah, dan berorientasi pada inovasi. Pemerintah berupaya memastikan bahwa peningkatan jumlah pengunjung tidak akan mengorbankan kenyamanan warga maupun kelestarian lingkungan.

Dibandingkan dengan kota wisata lain, Nagoya memiliki keunggulan geografis yang unik. Terletak di tengah jalur transportasi utama Jepang, kota ini mudah dijangkau dari berbagai arah. Dari sini, wisatawan dapat menjelajahi daerah pegunungan, desa tradisional, maupun kawasan pesisir tanpa harus menghadapi kepadatan yang ekstrem. Kota ini juga menjadi jantung teknologi dan pendidikan, tempat lahirnya berbagai inovasi industri yang menandai kebangkitan Jepang modern.

Pendekatan Nagoya terhadap pariwisata menunjukkan arah baru dalam strategi pembangunan kota Jepang. Bukan sekadar menarik sebanyak mungkin wisatawan, tetapi menciptakan pengalaman yang seimbang antara eksplorasi budaya dan kenyamanan lokal. Dengan pertumbuhan wisata global yang semakin cepat, keberhasilan semacam ini dapat menjadi contoh bagi kota lain yang ingin mengembangkan pariwisata tanpa kehilangan jati diri.

Nagoya mungkin belum masuk dalam daftar tujuan utama wisatawan dunia, tetapi potensinya semakin diperhitungkan. Dengan kombinasi sejarah, modernitas, dan suasana yang lebih santai dibandingkan destinasi besar lainnya, kota ini sedang membangun narasi baru tentang bagaimana pariwisata dapat berkembang tanpa kehilangan keseimbangan antara tradisi dan kemajuan. Jika kota-kota lain berjuang menghadapi kelelahan akibat overtourism, Nagoya justru menunjukkan cara lain untuk tumbuh—tenang, perlahan, dan berkarakter.