Kesehatan, Angka, dan Kehadiran Negara

0
79
Kesehatan
Seorang anak memeriksakan mulut dan giginya merupakan bagian dari Program Cek Kesehatan Gratis di Sekolah. (Foto: Kemenkes)

(Vibizmedia-Kolom) Angka-angka kesehatan sering terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Persentase, rasio, dan grafik seolah hanya hidup di laporan resmi atau presentasi birokrasi. Namun ketika Profil Statistik Kesehatan 2025 mencatat bahwa lebih dari seperempat penduduk Indonesia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir, angka itu sebenarnya sedang berbicara tentang sesuatu yang sangat dekat: hari kerja yang terpotong, pendapatan yang hilang, dan rasa aman yang perlahan terkikis.

Indonesia hari ini bukan negara yang kekurangan fasilitas kesehatan seperti dua atau tiga dekade lalu. Puskesmas berdiri hampir di setiap kecamatan, rumah sakit bertambah, dan jaminan kesehatan menjangkau mayoritas penduduk. Sekitar 78 persen warga telah memiliki jaminan kesehatan, sebuah capaian yang patut diakui sebagai kemajuan besar. Tetapi pertanyaan yang lebih penting bukan lagi sekadar “berapa banyak yang terdaftar”, melainkan “sejauh mana sistem ini benar-benar bekerja bagi mereka yang sakit”.

Fakta bahwa sebagian besar penduduk masih memilih mengobati sendiri ketika mengalami keluhan kesehatan adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan. Ini bukan semata soal budaya atau kebiasaan lama. Ada lapisan psikologis dan ekonomi di sana. Bagi banyak orang, pergi ke fasilitas kesehatan masih identik dengan antre panjang, proses berbelit, atau kekhawatiran biaya tambahan yang tidak sepenuhnya ditanggung. Jaminan kesehatan, dalam praktiknya, belum sepenuhnya menghapus rasa ragu itu.

Di titik ini, kesehatan menjadi cermin ketimpangan sosial. Perempuan lebih sering melaporkan keluhan kesehatan dibandingkan laki-laki. Kelompok usia lanjut lebih rentan dibandingkan usia produktif. Mereka yang berpendidikan rendah dan tinggal di perdesaan menghadapi risiko lebih besar. Artinya, kesehatan bukan sekadar urusan medis, tetapi hasil dari pendidikan, lingkungan kerja, kondisi tempat tinggal, hingga akses informasi. Negara boleh membangun rumah sakit, tetapi tanpa perbaikan faktor-faktor dasar ini, beban kesehatan tidak akan pernah benar-benar turun.

Kesehatan anak memberi peringatan paling dini tentang arah masa depan. Meningkatnya angka rawat jalan dan rawat inap balita bisa dibaca sebagai keberhasilan deteksi dan akses layanan. Namun ia juga menyiratkan bahwa masalah mendasar—gizi, sanitasi, dan lingkungan—belum sepenuhnya teratasi. Ketika anak-anak di perkotaan lebih mudah mendapatkan layanan dibandingkan anak di perdesaan, ketimpangan itu sesungguhnya sedang diwariskan sejak usia sangat dini. Kita sering berbicara tentang bonus demografi, tetapi lupa bahwa bonus itu hanya datang jika generasi mudanya tumbuh sehat, bukan sekadar banyak.

Di sisi lain, kemajuan dalam imunisasi dan pemberian ASI eksklusif menunjukkan bahwa kebijakan kesehatan berbasis pencegahan bisa berhasil. Namun tantangan terbesar justru datang dari hal yang tidak bisa diselesaikan dengan anggaran semata: kepercayaan publik. Keraguan terhadap vaksin, misalnya, tidak selalu lahir dari ketidaktahuan, tetapi dari komunikasi yang gagal dan jarak emosional antara kebijakan dan masyarakat. Di sinilah negara perlu belajar bahwa kesehatan publik adalah soal dialog, bukan instruksi satu arah.

Kesehatan perempuan usia subur memperlihatkan wajah lain dari persoalan ini. Tingginya kepemilikan jaminan kesehatan di kelompok ini adalah kabar baik, tetapi masih tingginya keluhan kesehatan dan dominannya praktik mengobati sendiri menunjukkan adanya beban ganda. Perempuan sering menunda merawat diri demi keluarga, bekerja di sektor informal tanpa perlindungan memadai, dan hidup dalam lingkungan yang menuntut lebih banyak tetapi memberi lebih sedikit. Sistem kesehatan yang sensitif gender bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

Persalinan yang semakin banyak dilakukan di fasilitas kesehatan adalah salah satu keberhasilan paling nyata. Namun meningkatnya angka bayi dengan berat badan lahir rendah mengingatkan bahwa kualitas layanan tidak berhenti di ruang bersalin. Kesehatan ibu sebelum hamil, selama kehamilan, dan kondisi sosial ekonomi di sekitarnya sama pentingnya. Negara tidak bisa hanya hadir di ujung proses, lalu mengabaikan perjalanan panjang sebelumnya.

Yang sering luput dari perbincangan adalah soal biaya. Meski jaminan kesehatan meluas, hampir separuh pengeluaran kesehatan rumah tangga masih ditanggung langsung dari kantong sendiri. Ini berarti sakit tetap berpotensi menjadi guncangan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan. Selama sistem kesehatan masih terlalu berorientasi pada pengobatan dibandingkan pencegahan, biaya akan terus membengkak, dan jaminan kesehatan hanya menjadi penyangga, bukan solusi.

Kesehatan adalah ukuran paling jujur dari kehadiran negara. Ia terasa ketika layanan mudah diakses, ketika biaya tidak menakutkan, dan ketika warga merasa didengar. Indonesia 2025 telah melangkah jauh, tetapi belum sampai. Tantangannya kini bukan lagi membangun lebih banyak gedung, melainkan membangun kepercayaan, mengurangi ketimpangan, dan menggeser orientasi dari mengobati penyakit menjadi menjaga kesehatan.

Angka-angka statistik sudah memberi peringatan dan arah. Tinggal satu pertanyaan tersisa: apakah kita bersedia membacanya sebagai kompas kebijakan, atau hanya sebagai laporan tahunan yang segera dilupakan.