Kesejahteraan Rakyat Bukan Sekadar Angka Statistik

0
57
Kesejahteraan Makan bergizi gratis
Makan bergizi gratis. FOTO: BIRO PERS SETPRES

(Vibizmedia – Kolom) Setiap tahun negara berbicara melalui angka. Angka-angka itu rapi, terstruktur, dan tampak objektif. Dalam laporan kesejahteraan rakyat terbaru, kondisi sosial Indonesia diringkas ke dalam puluhan indikator yang mencakup pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, hingga isu gender dan anak. Namun di balik semua itu, pertanyaan mendasarnya tetap sama: sejauh mana angka-angka tersebut benar-benar mencerminkan kehidupan yang dijalani rakyat sehari-hari.

Persoalan pangan, sebagai fondasi paling dasar kesejahteraan, memberi gambaran yang gamblang. Pada 2025, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan nasional tercatat sebesar 7,89 persen. Artinya, hampir delapan dari setiap seratus penduduk Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan energi minimalnya. Angka ini memang lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya dan sering dibaca sebagai sinyal perbaikan. Namun bagi jutaan orang yang berada di dalam persentase itu, kesejahteraan bukan soal tren, melainkan soal bertahan hidup dari satu waktu makan ke waktu makan berikutnya.

Di balik angka nasional tersebut, ketimpangan tetap nyata. Rumah tangga pada 40 persen kelompok berpendapatan terbawah menghadapi risiko kerawanan pangan yang jauh lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan pangan bukan hanya soal ketersediaan pasokan, tetapi soal daya beli dan stabilitas pendapatan. Ketika inflasi pangan meningkat, kelompok inilah yang paling dulu merasakan dampaknya, meski grafik nasional tampak terkendali.

Gambaran serupa muncul dalam sektor kesehatan. Dari sisi akses, capaian Indonesia terlihat impresif. Sebanyak 97,35 persen perempuan pernah kawin usia 15–49 tahun melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan, dan 93,95 persen persalinan berlangsung di fasilitas kesehatan. Secara statistik, ini adalah lompatan besar dalam layanan kesehatan ibu dan anak. Namun pada saat yang sama, unmet need pelayanan kesehatan justru berada di angka 5,32 persen.

Angka unmet need ini berarti jutaan penduduk membutuhkan layanan kesehatan tetapi tidak mendapatkannya. Bukan karena sistem tidak ada, melainkan karena aksesnya tidak sepenuhnya terjangkau. Jarak fasilitas, antrean panjang, biaya tambahan, dan keterbatasan layanan membuat kesejahteraan kesehatan terasa timpang. Di sinilah paradoks muncul: sistem kesehatan berkembang, tetapi sebagian warga tetap tertinggal di pinggirannya.

Tekanan ekonomi akibat kesehatan juga tercermin dalam pengeluaran rumah tangga. Sekitar 1,55 persen penduduk mengalami pengeluaran kesehatan katastropik, yakni ketika biaya kesehatan melebihi 10 persen total pengeluaran rumah tangga. Bahkan 0,26 persen penduduk menghabiskan lebih dari 25 persen pengeluarannya untuk biaya kesehatan. Angka ini mungkin terlihat kecil secara persentase, tetapi bagi keluarga yang mengalaminya, satu episode sakit bisa mengubah seluruh arah kesejahteraan ekonomi mereka.

Pendidikan, yang sering dianggap jalan utama menuju kesejahteraan jangka panjang, juga menunjukkan dinamika serupa. Tingkat penyelesaian pendidikan menengah atas secara nasional telah melampaui 90 persen. Capaian ini sering dirayakan sebagai bukti bahwa akses pendidikan semakin luas. Namun ketika data diurai berdasarkan wilayah dan tingkat kesejahteraan rumah tangga, kesenjangan tetap terlihat jelas.

Anak-anak dari rumah tangga miskin dan wilayah perdesaan memiliki tingkat penyelesaian pendidikan yang lebih rendah dibanding mereka yang berasal dari keluarga mampu dan tinggal di perkotaan. Bagi kelompok ini, kesejahteraan pendidikan bukan sekadar tentang bersekolah, tetapi tentang kemampuan bertahan di sekolah tanpa harus bekerja lebih dini atau menanggung beban ekonomi keluarga.

Dimensi perumahan dan lingkungan hidup juga memberi sinyal penting. Akses terhadap hunian layak, air minum, dan sanitasi terus mengalami perbaikan secara nasional. Namun ketimpangan spasial masih kuat. Wilayah perdesaan dan kawasan tertentu di luar pusat pertumbuhan ekonomi masih tertinggal dalam kualitas hunian dan layanan dasar. Kesejahteraan, dalam konteks ini, sangat dipengaruhi oleh lokasi tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan.

Isu gender dan anak memperlihatkan sisi kesejahteraan yang sering tersembunyi di balik rata-rata nasional. Proporsi perempuan usia 20–24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun tercatat sebesar 5,90 persen. Angka ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan kerap dianggap sebagai kemajuan. Namun tetap saja, ribuan perempuan muda kehilangan kesempatan pendidikan dan kemandirian ekonomi sejak usia sangat dini.

Hal yang sama berlaku pada kepemilikan akta kelahiran. Cakupan nasional terus meningkat, tetapi masih terdapat anak-anak yang belum tercatat secara resmi, terutama dari kelompok miskin dan wilayah terpencil. Tanpa akta kelahiran, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial menjadi tidak pasti. Kesejahteraan pun rapuh bahkan sebelum kehidupan benar-benar dimulai.

Kolom ini tidak dimaksudkan untuk menafikan pentingnya angka. Justru sebaliknya, angka-angka tersebut sangat penting untuk membaca arah kebijakan dan skala persoalan. Namun angka seharusnya menjadi awal percakapan, bukan akhir. Di balik 7,89 persen ketidakcukupan pangan, 5,32 persen unmet need kesehatan, atau 1,55 persen pengeluaran kesehatan katastropik, terdapat manusia dengan cerita hidup yang tidak pernah sepenuhnya tertangkap oleh tabel dan grafik.

Kesejahteraan rakyat bukanlah kondisi statis yang selesai dihitung dalam satu laporan. Ia adalah proses yang hidup, dinamis, dan sarat ketimpangan. Selama masih ada jutaan orang yang hidup dalam kerentanan di balik angka-angka yang tampak membaik, pekerjaan kesejahteraan belum selesai. Angka boleh memberi gambaran, tetapi kehidupan nyata selalu menuntut lebih dari sekadar statistik.