(Vibizmedia – Kolom) Indonesia telah mengalami pasang surut bisnis properti. Tahun 1996, bisnis properti Indonesia mengalami booming namun diwarnai dengan perbankan yang terlalu ekspansif dan praktek mark up proyek. Tahun 1998, Indonesia mengalami krisis yang membuat pasar properti terkena dampak paling parah. Tahun 2003, pasar properti terus naik sejak krisis tahun 1998. Tahun 2008, siklus pasar alamiah cenderung melambat sampai krisis dunia tahun 2008 akibat tingginya harga minyak dan subprime mortgage. Tahun 2019, harga properti yang terlalu tinggi disertai dengan isu politik membuat pasar properti tertahan lama untuk mencari keseimbangan pasar baru. Tahun 2020, Pandemi Covid-19 membuat pasar properti belum bangkit.
Property Business Cycle
Tahun 2011-2013 adalah the best moment of property. Pertumbuhan ekonomi tinggi (6.8%), GDP Indonesia menembus > USD 3000 / tahun dan nilai tukar Rupiah stabil di Rp 9.000-Rp 10.000. Tahun 2014 – 2018 Slow Down Moment Pertumbuhan ekonomi turun ke 4.8% di 2015, dimana Rupiah melemah dari Rp 11.000 ke Rp 14.000 yang menyebabkan Pengetatan kredit properti (rasio LTV yang tinggi).
Berdasarkan data historis, siklus properti membaik setelah krisis : krisis 1998, krisis 1999, krisis 2008. Tren pasar properti akan meningkat dalam 5 tahun setelah krisis. Hal tersebut menjadi optimisme bahwa kebangkitan properti akan segera terjadi pasca pandemi.
Di masa pandemi tahun 2020, muncul beragam kebijakan dan kemudahan, seperti: pelonggaran kredit properti, pengurangan pajak PPh22 & PPnBM, dorongan dari sektor infrastruktur, PPN 0%, pelonggaran LTV, program FLPP, promo menarik dari pengembang, beragam pilihan cara bayar dari perbankan. Pandemi menyebabkan kebutuhan end user untuk tempat tinggal yang aman dan nyaman meningkat.
Setelah keluarnya Undang-Undang cipta kerja dan berbagai aturan pelaksanaannya, iklim investasi di bidang properti kembali menggeliat karena hambatan-hambatan yang ada selama ini telah diatasi oleh pemerintah. Misalnya pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Dalam PP ini salah satu isinya adalah Satuan Rumah Susun boleh dimiliki oleh investor asing. Perpanjangan sekaligus juga bisa diberikan bila Satuan Rumah Susun diatas HPL. Dalam aturan ini juga sudah disiapkan aturan check and balance oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR) bila sertifikat layak fungsi (SLF) tidak keluar, SLF selama ini menjadi kendala bagi perusahaan properti yang membangun Satuan Rumah Susun. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021. Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. PP ini mengatur agar jangan terjadi perdagangan lisensi, bila lisensi diperdagangkan dapat dibatalkan oleh pemerintah. Pengesahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sekarang ini memiliki batasan waktu. Apabila tidak disahkan oleh kepala daerah dalam batasan waktu yang ditetapkan, dapat disahkan oleh Menteri ATR. Dikeluarkan juga PP 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah menjadi dasar pembentukan Bank Tanah, juga sudah dikeluarkan. Pemerintah memiliki Bank Tanah untuk mengatur ekonomi yang berkeadilan. Diharapkan melalui PP ini lebih menjamin kepastian hukum kepemilikan tanah.
Dengan turunnya sejumlah Peraturan Pemerintah ini maka hambatan-hambatan regulasi yang menghalangi investasi selama ini sudah bisa teratasi. Namun tentunya masih belum sempurna, masih ada yang perlu diperbaiki, salah satu hal yang masih perlu diselesaikan adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang disingkat dengan BPHTB juga telah menjadi hambatan khususnya dalam ease of doing business . Bank Dunia mengatakan BPHTB yang dikenakan kepada investor di Indonesia masih terlalu mahal, sebesar 8%, banyak pemerintah daerah telah menurunkannya, namun masih belum seragam di seluruh Indonesia.
Perilaku konsumen properti saat ini
Komposisi penduduk Indonesia yang berjumlah 270,2 juta jiwa terdiri dari beberapa golongan secara usia. Generasi Baby Boomer yaitu mereka yang berusia antara 56-74 tahun sekarang sekitar 11,56% dari jumlah penduduk Indonesia. Sekitar 21,88% dari penduduk Indonesia terdiri dari Gen X yang berusia antara 40-55 tahun, lalu 25,87% terdiri dari kelompok Milenial usia 24-39 tahun, 27,94% adalah Gen Z yaitu mereka dengan golongan usia 8-23 tahun. Dan terakhir 10,88% Post Gen Z berusia dibawah < 7 tahun.
Perilaku mereka berbeda-beda, Baby Boomer, berorientasi pada job security, komunikasi ideal adalah komunikasi tatap muka. Telepon atau e-mail bila diperlukan, membuat keputusan keuangan tatap muka, namun mulai bergeser ke online. Gen X Berorientasi pada work-life balance, berkomunikasi melalui pesan singkat atau e-mail, membuat keputusan keuangan online – tatap muka bila ada waktu. Millenial Berorientasi pada freedom dan flexibility, berkomunikasi secara pesan online (chat), membuat keputusan keuangan tatap muka. Gen-Z Berorientasi pada security dan stability, berkomunikasi secara online tatap muka (video call), keputusan keuangan sangat bergantung pada rekomendasi online.
Dari berbagai golongan generasi maka karakteristik millenial yang menjadi emerging market saat ini serta perubahan customer behavior post-pandemic menjadi tantangan dan peluang perusahaan properti untuk menyesuaikan produk serta strategi pemasarannya :
- Apartment & Landed House; Rumah tapak lebih diminati daripada apartemen. Adapun masa depan konstruksi rumah tapak adalah modular house.
- Office; Dikarenakan remote and flexible working, pasar serviced office dan co-working space diperkirakan akan menjadi alternatif. Kedepannya, hybrid office diperkirakan dapat menjadi alternatif lainnya.
- Hotel; Mayoritas wisatawan cenderung memilih akomodasi yang lebih luxury seperti hotel bintang 3 ke atas, villa atau resort yang dianggap lebih aman dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat
- Mall; Omnichannel strategy akan menjadi standar industri dan menjadi mainstream strategy pasca pandemi, seiring dengan masifnya konsumen yang berbelanja online dan naiknya tuntutan seamless digital experience.
Perubahan gaya hidup & arah tren properti masa depan
Perubahan behaviour masyarakat di era pandemi mempengaruhi sektor properti seperti konsep rumah tinggal, area komersial, perkantoran dan hospitality. menyesuaikan produk serta strategi pemasarannya.
Residential, rumah sehat; Rumah tinggal sekarang menjadi kegitan bekerja, sekolah dan beribadah, Sehingga rumah yang sehat menjadi perhatian konsumen. Komersial, touchless dan prokes; Penerapan fasilitas tanpa sentuh dan protokol kesehatan untuk kenyamanan dan keamanan pengunjung Mall. Hospitality, syaratnya adalah CSHE singkatan dari Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment (Ramah lingkungan). Terjadi perubahan perilaku yang mendasar dari wisatawan yang lebih mengedepankan faktor kebersihan, kesehatan, keselamatan serta keamanan.
Key driver kebangkitan properti
Pertama, adalah kebijakan pemerintah selama pandemi, interest rate menjadi 3,5%, LTV 100%, penghapusan PPN, program FLPP, harga rumah subsidi tidak naik, program 1 Juta Rumah. Kedua, pengembangan kawasan industri, timbulnya kebutuhan terhadap properti, baik dari bisnis inti di sektor industri dan bisnis pelengkap dari sektor pendukung. Ketiga, percepatan pembangunan infrastruktur, meningkatkan nilai lahan seperti hunian dan sektor pendukung pada wilayah yang tadinya dianggap antah- berantah. Keempat, pricing strategy memberikan harga spesial dan kemudahan cara bayar untuk konsumen. Kelima, co-creation value, remodelling product menyesuaikan desain dengan kebutuhan konsumen.
Apa yang menjadi dorongan untuk kebangkitan bisnis properti diupayakan pemerintah pada saat ini. Bisnis properti bersiap untuk bangkit melalui pengembangan baru dan bagaimana stock properti yang ada dilakukan remodelling sesuai kebutuhan konsumen.