(Vibizmedia-Kolom) Industri hilir di Asia Tenggara baru-baru ini mengalami pertumbuhan dan ekspansi yang pesat. Sebagian besar industri ini terkonsentrasi di Indonesia, dengan kehadiran yang lebih kecil namun signifikan di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Data McKinsey menyatakan sejak tahun 2021, harga komoditas logam dasar seperti nikel dan tembaga mengalami kenaikan sebesar 80 hingga 120 persen.
Sebagai responnya, Indonesia dan negara-negara lain berinvestasi pada industri hilir pengolahan untuk memperoleh peningkatan nilai lintas sektor dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri.
Meskipun upaya untuk mendorong pertumbuhan ini terbukti efektif, para pelaku industri hilir di Asia Tenggara dapat melangkah lebih jauh dengan mengejar peluang (Digital and Analytic) DnA.
Asia Tenggara adalah produsen utama logam dasar, termasuk nikel dan tembaga, namun industri pengolahan hilir masih tertinggal. Berinvestasi dalam (Digital and Analytic) DnA dapat meningkatkan produktivitas.
Dengan menerapkan praktik yang mendukung DnA, pabrik pemrosesan dapat menangkap nilai data di seluruh rantai nilai, mengoptimalkan operasinya, dan selanjutnya mencapai hasil yang lebih baik.
Kondisi pasar saat ini merupakan momen penting bagi industri hilir di Asia Tenggara untuk membangun pabrik di masa depan. Untuk mencapai hal tersebut, para pemimpin di industri hilir dapat fokus pada penerapan “tiga transformasi” dalam fungsi bisnis, organisasi, dan teknologi, yang semuanya diarahkan untuk memanfaatkan potensi DnA yang sebenarnya.
Gambaran industri: Pengolahan hilir di Indonesia
Dampak pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina telah berdampak pada berbagai komoditas, mulai dari minyak mentah hingga nikel, tembaga, batu bara, dan minyak sawit.
Misalnya, pada bulan Maret 2022, harga aluminium hampir dua kali lipat dari rata-rata tahun 2020, mencapai rekor tertinggi sebesar $3,496.1Demikian pula, harga tembaga naik dua kali lipat, mencapai puncaknya pada sekitar $4,90 per pon pada Maret 2022.
Rantai pasokan komoditas terpaksa bereaksi terhadap gejolak ini dan kemudian mulai memperketatnya, karena perusahaan-perusahaan mengantisipasi kenaikan lebih lanjut dalam biaya serta risiko terkait transportasi dan pengiriman.
Di Asia Tenggara, dimana banyak bahan mentah diproduksi, para pemimpin industri telah mengidentifikasi peluang untuk mendapatkan lebih banyak nilai dari barang setengah jadi atau barang jadi. Hal ini telah mendorong berkembangnya industri pengolahan, khususnya di Indonesia, yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar di kawasan ini.
Di masa lalu, industri pertambangan dan mineral di Indonesia berfokus pada mengekspor bijih mentah secara langsung dibandingkan berpartisipasi dalam rantai nilai produksi lainnya. Namun industri ini telah bertransformasi dan berkembang seiring dengan upaya pemerintah yang aktif dan berkelanjutan untuk mengembangkan industri hilir.
Kebijakan industri baru ini telah diterapkan bahkan sebelum pandemi COVID-19 melanda; misalnya, pada tahun 2019, pemerintah Indonesia secara terbuka mengumumkan kebijakan yang mendorong investasi pada fasilitas pengolahan bijih nikel.
Kebijakan-kebijakan tersebut telah mengarah pada fokus baru pada pengolahan komoditas menjadi produk siap pakai, yang telah meningkatkan perekonomian dan memungkinkan negara tersebut menghasilkan produk-produk berkualitas lebih tinggi yang dapat digunakan langsung dalam manufaktur.
Rencana lebih lanjut juga sedang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pemrosesan di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2022, terdapat dorongan yang signifikan terhadap pengolahan bauksit—bahan mentah yang digunakan dalam produksi aluminium—dan pengolahan konsentrat tembaga serta pengolahan timah diperkirakan akan meningkat mulai tahun 2023 dan seterusnya.
Fokus baru pada industri hilir mempunyai dampak yang sangat besar terhadap pasar komoditas, mengingat Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, produsen timah terbesar kedua, produsen batu bara terbesar ketiga, dan produsen batubara terbesar keempat di dunia. bauksit, dan salah satu produsen tembaga dan emas terbesar.
Prioritas baru dalam mengembangkan industri pengolahan dalam negeri telah mendorong perusahaan-perusahaan Indonesia untuk mempertimbangkan kembali strategi rantai pasokan mereka. Industri smelter Indonesia misalnya, telah menggenjot produksinya berkat beberapa development program. Sebelum tahun 2014, Indonesia hanya memiliki dua smelter nikel. Angka ini melonjak menjadi 13 pada tahun 2020 dan diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi total 30 pada tahun 2023.
Peningkatan smelter nikel dan komoditas lainnya berarti Indonesia kini dapat melebur hingga 12,3 juta metrik ton nikel, 6,0 juta metrik ton aluminium, 3,2 juta metrik ton tembaga, dan 19,0 juta metrik ton baja per tahun.Jumlah perusahaan peleburan juga membludak, dengan 69 perusahaan yang saat ini beroperasi, dengan total nilai investasi sebesar $51,4 miliar.
Ketika Indonesia meningkatkan produksi logam dan mineral lainnya, para pemimpin industri di seluruh dunia telah menanggapinya dengan mengkaji peluang investasi untuk mendirikan pabrik pengolahan hilir di wilayah tersebut.
Misalnya, banyak negara yang memanfaatkan peluang peningkatan produksi nikel di Indonesia untuk membangun rantai nilai baterai kendaraan listrik (EV), yang mana nikel merupakan komponen utamanya—yang dapat menjadikan nikel sebagai sumber daya strategis dalam transisi energi.
Visi pabrik pengolahan masa depan
Meskipun pabrik-pabrik baru bermunculan di Indonesia dan wilayah lain di Asia Tenggara, industri pengolahan hilir di kawasan ini masih memiliki ruang yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi.
Salah satu sumber efisiensi yang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan di kawasan ini adalah teknologi (Digital and Analytic) DnA, yang dapat memberikan perbedaan besar dalam membangun pabrik pengolahan yang sukses di masa depan.
Di seluruh dunia, optimalisasi proses yang didukung teknologi telah menjadi inti peningkatan efisiensi bagi semua perusahaan terdepan dalam industri pertambangan.
Secara tradisional, perusahaan-perusahaan di industri pertambangan sangat bergantung pada pengalaman individu yang dikombinasikan dengan prinsip-prinsip pertama untuk mendorong produktivitas.
Namun, karena lonjakan dalam penciptaan data dan daya komputasi serta menurunnya biaya penyimpanan data dan Internet of Things (IoT), baru-baru ini terjadi perubahan paradigma di industri ini, yang menyebabkan operator melengkapi metode tradisional dengan teknologi yang lebih canggih. untuk membuat keputusan berdasarkan data.
Salah satu tantangan optimalisasi pabrik pengolahan adalah kompleksitasnya, dengan ribuan parameter operasi. Saat ini, keputusan biasanya dibuat oleh operator yang menggabungkan pengalaman individual mereka dengan sejumlah kecil data kontrol proses, yang dapat menghasilkan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda.
Kumpulan data yang lebih luas, AI yang canggih, dan prinsip-prinsip metalurgi dapat digabungkan dalam algoritme pengoptimalan eksklusif untuk memberikan saran kepada operator yang mencakup lebih banyak variabel dan data historis daripada yang dapat diproses oleh manusia.
DnA telah merevolusi pengoptimalan pabrik pemrosesan, memungkinkan pengguna menganalisis kumpulan data operasi yang jauh lebih besar—misalnya, selama beberapa tahun—dan menerima saran secara real-time, sehingga mendorong pengambilan keputusan berdasarkan data ke dalam operasi sehari-hari.
Seiring dengan berkembangnya industri pertambangan dan mineral di Asia Tenggara, operasi yang didukung DnA berpotensi memberikan perubahan langkah berikutnya dalam penciptaan nilai untuk pemrosesan hilir.
Kawasan ini kini berada pada momen penting untuk membangun ekosistem kemampuan bertenaga DNA yang dapat membantu industri melakukan lompatan besar dalam mendukung pabrik pengolahan generasi berikutnya. Namun cara penerapan DnA—jika memang diterapkan—akan membawa perbedaan di masa depan Asia Tenggara.