(Vibizmedia – Kolom) Dalam beberapa tahun terakhir, industri periklanan telah mengalami transformasi besar dengan semakin banyaknya penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam proses pembelian dan perencanaan iklan digital. Raksasa teknologi seperti Google dan Meta Platforms telah mengembangkan alat AI yang mampu mengotomatisasi hampir setiap langkah dalam kampanye digital. Namun, meskipun teknologi ini menjanjikan efisiensi yang lebih tinggi, para pemasar menghadapi dilema besar: apakah mereka siap menyerahkan kontrol penuh kepada algoritma?
Bagaimana AI Mengubah Industri Periklanan?
Teknologi AI dalam iklan bekerja dengan meminta pemasar menentukan parameter dasar kampanye mereka, seperti anggaran dan target penjualan. Setelah itu, algoritma akan mengambil alih keputusan mengenai di mana iklan akan ditampilkan, siapa yang akan menjadi target, dan dalam beberapa kasus, bagaimana tampilan akhir iklan tersebut. Dengan hanya menekan satu tombol, kampanye dapat berjalan secara otomatis tanpa intervensi manusia.
Banyak pengembang AI mengklaim bahwa alat ini mampu membuat kampanye lebih efisien. Google, Meta, Amazon, TikTok, dan Pinterest telah merilis alat serupa dalam setahun terakhir. Menurut para pendukungnya, AI dapat membantu menjangkau lebih banyak pelanggan dengan biaya yang lebih rendah. Ini menjadi keuntungan besar, terutama bagi bisnis kecil dan menengah yang tidak memiliki sumber daya untuk menjalankan kampanye iklan yang kompleks.
Namun, bagi banyak pemasar, kurangnya kendali menjadi kekhawatiran utama. Mereka sering kali tidak mengetahui bagaimana AI mengambil keputusan dalam mengalokasikan anggaran atau menentukan audiens yang ditargetkan. “Ini seperti kejahatan yang harus diterima,” ujar Nicole Fisch, Wakil Presiden Senior Pemasaran di Lalo, sebuah merek produk bayi yang menggunakan Google Performance Max. “AI memang mendorong penjualan, tetapi pertanyaannya: berapa harga yang harus dibayar untuk itu?”
Kurangnya Transparansi dan Kontrol
Bagi para pemasar, transparansi dalam kampanye iklan digital selalu menjadi prioritas. Namun, raksasa teknologi yang menguasai industri periklanan justru bergerak ke arah yang berlawanan dengan semakin menutup akses pemasar terhadap detail-detail spesifik kampanye mereka.
Sebagai contoh, Google Performance Max memungkinkan iklan berjalan di berbagai platform Google, sementara Meta Advantage+ hanya beroperasi dalam ekosistem Meta, seperti Facebook dan Instagram. Masalahnya, pemasar tidak selalu memiliki wawasan penuh mengenai di mana iklan mereka ditampilkan atau kepada siapa mereka ditargetkan.
Beberapa pemasar bahkan menyebut alat-alat ini sebagai “kotak hitam” karena keterbatasan dalam mengontrol berbagai aspek kampanye. Zach Thompson, Direktur Operasi Iklan di Arm Candy, mengatakan bahwa perusahaan awalnya mengalokasikan 45% anggaran iklan e-commerce klien mereka ke alat AI, tetapi akhirnya mengurangi penggunaannya karena meskipun AI meningkatkan rasio klik (click-through rate) dan menurunkan biaya per klik, penjualan tidak meningkat secara signifikan.
Selain itu, ada tantangan dalam memastikan bahwa iklan muncul di tempat yang sesuai. Beberapa pemasar khawatir bahwa iklan untuk produk-produk terbatas, seperti alkohol, mungkin muncul di lokasi yang tidak sesuai. Hal ini menjadi perhatian bagi perusahaan besar yang sangat berhati-hati dalam membangun citra merek mereka.
Dampak AI pada Strategi Periklanan Global
Transformasi digital yang didorong oleh AI tidak hanya terjadi di pasar Amerika Serikat, tetapi juga berdampak pada industri periklanan global. Di Eropa, kebijakan perlindungan data seperti GDPR menambah tantangan bagi AI dalam menyesuaikan iklan dengan target yang relevan. Sementara itu, di Asia, perusahaan teknologi seperti Alibaba dan Tencent telah mengembangkan alat AI mereka sendiri yang bersaing dengan raksasa Barat.
Beberapa perusahaan multinasional mulai mengadaptasi AI dalam strategi pemasaran mereka di berbagai negara, tetapi harus menyesuaikan dengan regulasi dan preferensi lokal. Di beberapa pasar berkembang, misalnya, penggunaan AI masih terbatas karena kurangnya infrastruktur digital dan adopsi teknologi yang lebih lambat.
Sebaliknya, di negara-negara dengan tingkat penetrasi internet yang tinggi seperti Korea Selatan dan Jepang, AI telah menjadi bagian integral dari strategi pemasaran digital. Perusahaan di sana lebih terbuka terhadap otomatisasi, tetapi masih menginginkan tingkat transparansi yang lebih besar dibandingkan dengan apa yang ditawarkan oleh platform seperti Google dan Meta.
Masa Depan AI dalam Periklanan
Perdebatan tentang penggunaan AI dalam pembelian iklan mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam industri periklanan digital. Beberapa pemasar merasa kehilangan kendali atas strategi pemasaran mereka, sementara yang lain melihat AI sebagai solusi efisien yang tidak dapat dihindari.
Event Tickets Center, misalnya, menemukan bahwa kampanye dengan Google Performance Max menghasilkan lalu lintas yang lebih tinggi dibandingkan dengan iklan pencarian tradisional. “Selama menghasilkan penjualan yang menguntungkan, saya tidak terlalu peduli di mana iklan ini muncul dan bagaimana AI mengelolanya,” kata Ben Kruger, Chief Marketing Officer perusahaan tersebut.
Namun, tidak semua pemasar memiliki sikap yang sama. Beberapa klien Omnicom Media Group (OMD), salah satu perusahaan periklanan terbesar di dunia, telah sepenuhnya menghindari pembelian iklan berbasis AI karena kurangnya kontrol atas audiens dan platform tempat iklan ditampilkan.
Terlepas dari kekhawatiran ini, tren penggunaan AI dalam pembelian iklan tampaknya tidak akan melambat. Para analis memperkirakan bahwa pada tahun 2030, sekitar 80% dari pembelian media digital akan dikelola oleh agen pembelian AI. Hal ini menandakan bahwa para pemasar yang enggan mengadopsi teknologi ini mungkin tertinggal dari kompetitor mereka.
Salah satu alasan utama mengapa AI begitu menarik bagi perusahaan teknologi adalah kemampuannya untuk meningkatkan profitabilitas. AI memungkinkan mereka menjual lebih banyak iklan kepada bisnis kecil dan menengah yang tidak memiliki keahlian teknis untuk mengelola kampanye iklan mereka sendiri. Dengan memberikan solusi otomatis, perusahaan-perusahaan ini dapat memperluas jangkauan pasar mereka dan meningkatkan pendapatan.
Namun, pemasar tetap perlu berhati-hati dalam mengadopsi teknologi ini. Meskipun AI menawarkan efisiensi dan efektivitas, kurangnya transparansi masih menjadi isu utama. Perusahaan yang ingin mempertahankan kontrol atas strategi periklanan mereka mungkin perlu mencari keseimbangan antara penggunaan AI dan pengawasan manusia.
Selain itu, dampak jangka panjang dari dominasi AI dalam periklanan juga perlu dipertimbangkan. Jika AI menjadi terlalu dominan, pemasar mungkin kehilangan kreativitas dan inovasi dalam cara mereka berinteraksi dengan audiens mereka. Lebih jauh lagi, ketergantungan yang berlebihan pada algoritma dapat membuat industri periklanan semakin bergantung pada beberapa perusahaan teknologi besar yang mengendalikan ekosistem digital.
Apakah AI benar-benar menjadi solusi terbaik dalam periklanan masih menjadi perdebatan. Yang jelas, teknologi ini telah mengubah cara industri periklanan beroperasi, dan para pemasar harus segera menyesuaikan strategi mereka agar tetap relevan dalam ekosistem digital yang semakin kompleks. Dengan mempertimbangkan keseimbangan antara teknologi dan strategi manual, perusahaan dapat memastikan bahwa mereka tidak hanya mengandalkan AI tetapi juga tetap memiliki kendali atas merek dan pesan yang ingin mereka sampaikan kepada konsumen.