Ledakan Sepeda Listrik dan Skuter Membentuk Ulang Lanskap Perkotaan

Penggunaan e-bike dan skuter listrik di Indonesia sering kali masih dianggap hiburan atau rekreasi ketimbang sarana transportasi serius. Padahal, survei McKinsey menunjukkan bahwa di luar negeri, moda ini sudah menggantikan perjalanan mobil pribadi. Untuk mencapai tahap itu di Indonesia, dibutuhkan edukasi keselamatan berkendara, kampanye berbagi ruang dengan pengguna jalan lain, dan kebiasaan mematuhi aturan lalu lintas.

0
188
ebike

(Vibizmedia – Kolom) Ledakan popularitas sepeda listrik (e-bike) dan skuter listrik telah mengubah wajah transportasi perkotaan di berbagai belahan dunia, membawa peluang sekaligus tantangan besar bagi kota-kota yang berupaya menata kembali ruang jalan demi keselamatan dan efisiensi mobilitas. Fenomena ini, yang sebelumnya hanya menjadi tren niche di kalangan pecinta teknologi dan ramah lingkungan, kini berkembang menjadi arus utama, mendorong pergeseran pola perjalanan harian jutaan orang.

Berdasarkan laporan The Wall Street Journal, lonjakan ini tidak hanya terlihat di kota-kota maju seperti New York, London, dan Paris, tetapi juga di pusat-pusat urban di Asia Tenggara, termasuk Jakarta, Bangkok, dan Ho Chi Minh City. Kota-kota tersebut menyaksikan arus baru kendaraan roda dua bertenaga listrik yang membanjiri jalanan, sering kali bercampur dengan lalu lintas kendaraan bermotor konvensional, pesepeda manual, pejalan kaki, dan transportasi umum.

Menurut studi terbaru yang dikutip Bloomberg, jumlah perjalanan menggunakan sepeda dan skuter listrik di Amerika Serikat meningkat hampir 60% dalam lima tahun terakhir. Di Eropa, beberapa kota bahkan mencatat tingkat penggunaan yang lebih tinggi, didorong oleh insentif pajak, subsidi pembelian, dan kebijakan pembatasan kendaraan berbahan bakar fosil.

Namun, perkembangan ini tidak datang tanpa konsekuensi. Reuters menyoroti meningkatnya laporan kecelakaan yang melibatkan e-bike dan skuter listrik, terutama di area pusat kota yang padat. Kombinasi kecepatan yang relatif tinggi, jalur sempit, dan kurangnya regulasi teknis membuat potensi benturan dengan pejalan kaki dan kendaraan lain semakin besar. Data dari European Transport Safety Council menunjukkan bahwa insiden fatal dan cedera serius yang melibatkan kendaraan roda dua listrik meningkat rata-rata 20% per tahun sejak 2019.

Bagi pihak berwenang, ini menciptakan dilema ganda. Di satu sisi, mereka ingin mendorong peralihan ke moda transportasi yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi kemacetan. Di sisi lain, mereka harus memastikan keselamatan publik dan mengatur interaksi antara berbagai jenis pengguna jalan. Beberapa kota mengambil langkah cepat. Paris, misalnya, memberlakukan larangan kecepatan tinggi bagi skuter listrik di area tertentu dan mewajibkan parkir di zona khusus. Sementara itu, New York meluncurkan kampanye edukasi keselamatan dan memperluas jaringan jalur sepeda yang terpisah dari kendaraan bermotor.

Di Asia, penyesuaian kebijakan berjalan dengan tempo yang bervariasi. Singapura dikenal tegas dengan regulasi, bahkan melarang e-scooter beroperasi di trotoar sejak 2019 setelah serangkaian insiden. Sebaliknya, Bangkok dan Jakarta masih berupaya menemukan formula terbaik untuk mengintegrasikan moda ini ke dalam infrastruktur transportasi yang ada. Tantangan tambahan di kota-kota berkembang adalah keterbatasan ruang publik dan minimnya jalur sepeda terproteksi.

Bagi perusahaan penyedia layanan sharing, seperti Lime, Bird, atau GrabWheels, fenomena ini adalah peluang emas sekaligus medan uji inovasi. Financial Times melaporkan bahwa para pemain besar terus bereksperimen dengan model bisnis, dari tarif dinamis hingga integrasi pembayaran digital dan kolaborasi dengan sistem transportasi publik. Namun, profitabilitas jangka panjang tetap menjadi pertanyaan besar, terutama di tengah biaya perawatan armada, risiko vandalisme, dan fluktuasi permintaan musiman.

Dari perspektif manajemen kota, ledakan kendaraan roda dua listrik juga membuka wacana baru soal desain ulang infrastruktur. Pakar perencanaan urban yang dikutip Harvard Business Review menekankan perlunya “ruang jalan multimoda” yang memisahkan jalur berdasarkan kecepatan dan jenis kendaraan, bukan sekadar menambah jalur sepeda tradisional. Konsep ini bertujuan meminimalkan konflik antar pengguna jalan, sekaligus memaksimalkan efisiensi arus lalu lintas.

Selain itu, muncul pula isu tentang tanggung jawab hukum dan asuransi. Banyak negara belum memiliki regulasi jelas mengenai status hukum e-bike dan skuter listrik, termasuk batas kecepatan, kewajiban helm, dan persyaratan usia pengendara. Akibatnya, ketika terjadi kecelakaan, proses klaim dan pertanggungjawaban sering kali rumit dan memakan waktu. Perusahaan asuransi mulai melirik produk khusus untuk segmen ini, namun premi dan cakupannya masih sangat bervariasi.

Bagi pengguna, daya tarik utama e-bike dan skuter listrik terletak pada kemudahan penggunaan, biaya yang relatif rendah dibandingkan kendaraan bermotor, serta fleksibilitas rute yang tidak selalu bisa dicapai dengan transportasi umum. Survei yang dilakukan McKinsey & Company menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna memilih moda ini untuk perjalanan jarak pendek atau menengah, biasanya antara 2 hingga 8 kilometer. Menariknya, survei juga menemukan bahwa 35% pengguna mengganti perjalanan mobil pribadi dengan e-bike atau skuter listrik, sehingga berpotensi mengurangi emisi karbon secara signifikan.

Meski demikian, para ahli memperingatkan bahwa transisi ini harus diiringi dengan perubahan perilaku pengguna. Edukasi tentang keselamatan, kesadaran berbagi ruang, dan kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas menjadi faktor penentu keberhasilan adopsi moda transportasi ini. Tanpa itu, risiko konflik sosial di jalanan dapat meningkat, terutama di kota-kota dengan tingkat kemacetan tinggi.

Ke depan, tantangan terbesar bagi kota-kota global adalah menyeimbangkan kecepatan adopsi teknologi dengan kapasitas adaptasi infrastruktur dan regulasi. Para pengambil kebijakan perlu berpikir strategis, bukan hanya menanggapi masalah yang muncul, tetapi juga merancang sistem yang proaktif dalam mengakomodasi perubahan.

Dengan tren pertumbuhan yang diperkirakan akan terus berlanjut, e-bike dan skuter listrik kemungkinan akan menjadi bagian permanen dari ekosistem mobilitas perkotaan. Namun, seperti halnya inovasi lain dalam sejarah transportasi, keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh kemampuan semua pihak—pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat—untuk bekerja sama menciptakan lingkungan jalan yang aman, efisien, dan inklusif.

Kalau kita tarik ke konteks Indonesia, terutama kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, tren sepeda listrik dan skuter listrik memang mulai terlihat jelas, walaupun skalanya masih jauh di bawah kota-kota seperti Paris atau New York.

Di Jakarta, fenomena ini pertama kali mencuat lewat layanan berbagi skuter listrik seperti GrabWheels sekitar 2019–2020, yang kemudian memicu minat masyarakat, terutama kalangan muda, untuk mencoba moda transportasi alternatif jarak dekat. Namun, setelah beberapa insiden keselamatan dan penyesuaian kebijakan, operasinya sempat dibatasi sebelum kembali dengan format dan regulasi yang lebih ketat.

Di kota-kota besar Indonesia, masalah utama justru bukan hanya regulasi, tetapi juga infrastruktur. Jalur sepeda yang ada umumnya masih terputus-putus dan belum seluruhnya terproteksi. Akibatnya, pengguna e-bike atau skuter listrik kerap berbagi jalan dengan kendaraan bermotor, yang meningkatkan risiko kecelakaan. Di Surabaya, misalnya, meskipun pemerintah kota sudah membangun beberapa jalur sepeda, keberlanjutannya belum konsisten di seluruh ruas jalan strategis.

Berbeda dengan Singapura yang langsung melarang skuter listrik di trotoar, pemerintah kota di Indonesia masih mencari pendekatan yang lebih moderat. Jakarta pernah menerbitkan aturan khusus pembatasan area penggunaan skuter listrik di ruang publik tertentu, namun untuk e-bike pribadi hampir tidak ada pembatasan teknis, misalnya batas kecepatan atau kewajiban helm. Ini menciptakan “grey area” hukum, terutama terkait tanggung jawab saat terjadi kecelakaan.

Dari sisi manajemen kota, moda ini sebenarnya punya potensi besar untuk menjadi first-mile dan last-mile solution yang menghubungkan masyarakat ke transportasi umum seperti MRT, LRT, dan BRT. Jakarta memiliki peluang besar di sini, apalagi jika jalur sepeda diintegrasikan dengan stasiun transportasi publik. Surabaya juga mulai melirik potensi ini dengan memperluas fasilitas ramah pesepeda di dekat halte dan terminal.

Penggunaan e-bike dan skuter listrik di Indonesia sering kali masih dianggap hiburan atau rekreasi ketimbang sarana transportasi serius. Padahal, survei McKinsey menunjukkan bahwa di luar negeri, moda ini sudah menggantikan perjalanan mobil pribadi. Untuk mencapai tahap itu di Indonesia, dibutuhkan edukasi keselamatan berkendara, kampanye berbagi ruang dengan pengguna jalan lain, dan kebiasaan mematuhi aturan lalu lintas.

Kalau tren global bertahan, Indonesia bisa mengikuti jejak negara-negara yang berhasil mengintegrasikan moda ini ke sistem mobilitas perkotaan. Kuncinya ada di kombinasi kebijakan proaktif, desain infrastruktur yang aman, kemitraan dengan sektor swasta (penyedia layanan sharing), dan perubahan perilaku pengguna. Di Jakarta dan Surabaya, peluangnya besar mengingat adanya proyek transportasi publik skala besar yang sedang berkembang.