Kemenperin Wajibkan Produsen BEV Penuhi TKDN Mulai 2026

0
116
Baterai kendaraan listrik
Baterai kendaraan listrik. FOTO: WIKIPEDIA

(Vibizmedia-Nasional) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan, produsen kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) yang telah menikmati insentif impor utuh atau completely built up (CBU), wajib memenuhi ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) setelah masa impor berakhir pada 31 Desember 2025.

Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin, Mahardi Tunggul Wicaksono, menjelaskan mulai 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027, produsen harus memproduksi mobil listrik di Indonesia dengan jumlah setara kuota impor CBU yang pernah diterima. Produksi tersebut wajib sesuai aturan TKDN yang berlaku.

“Dalam perjalanannya, perusahaan juga harus memperhatikan nilai TKDN. Dari 40 persen secara bertahap naik menjadi 60 persen pada 2027, dan 80 persen pada 2030,” ujar Tunggul dalam diskusi Polemik Insentif BEV Impor di Kantor Kemenperin, Jakarta.

Hingga penutupan pendaftaran Maret 2025, enam produsen telah mengikuti program insentif impor BEV, yakni BYD Auto Indonesia, Vinfast Automobile Indonesia, Geely Motor Indonesia, Era Industri Otomotif (Xpeng), National Assemblers (Aion, Citroen, Maxus, VW), serta Inchcape Indomobil Energi Baru (GWM Ora). Mereka berkomitmen menambah investasi sekitar Rp15 triliun dan kapasitas produksi hingga 305 ribu unit.

Kemenperin menekankan aturan ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 yang mewajibkan TKDN kendaraan listrik 40 persen pada 2022–2026, meningkat menjadi 60 persen pada 2027–2029, dan 80 persen mulai 2030. Skema produksi akan bergeser dari CKD (completely knocked down) hingga 2026, ke IKD (incompletely knocked down) pada 2027, dan manufaktur part by part mulai 2030.

Di sisi lain, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai insentif impor BEV memang sukses mendorong adopsi, namun menekan industri otomotif domestik. Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyebut utilisasi industri turun dari 73 persen menjadi 55 persen akibat pelemahan daya beli dan dominasi BEV impor. “Banyak perusahaan komponen mengeluh karena suplai berkurang. Sebagian bahkan sudah melakukan PHK,” katanya.

Peneliti LPEM UI, Riyanto, menambahkan bahwa insentif impor BEV hanya memberi efek ke sektor perdagangan dengan multiplier effect terbatas, sementara utilisasi produksi lokal tidak optimal. Ia menilai insentif impor tidak perlu diperpanjang agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pusat produksi BEV.

“Seharusnya insentif BEV CBU tidak diperpanjang. Kebijakan fiskal harus konsisten, adil, dan berbasis emisi serta TKDN. Kendaraan yang berdampak besar pada pengurangan emisi dan perekonomian layak mendapat insentif besar,” tegasnya.