AI Benar-Benar Datang untuk Mengambil Pekerjaan

AI benar-benar datang untuk mengambil pekerjaan—tidak dengan kekerasan, tetapi dengan rasionalitas bisnis yang dingin. Ia menggoda dengan efisiensi, menjanjikan inovasi, dan memaksa manusia untuk meninjau ulang makna produktivitas.

0
291
Artificial Intelligence AI pekerjaan
Ilustrasi Artificial Intelligence. FOTO: FREEPIK

(Vibizmedia-Kolom) Pertanyaan yang dulu terasa seperti candaan kini menjadi kenyataan yang menegangkan, apakah kecerdasan buatan benar-benar akan mengambil alih pekerjaan manusia? Selama bertahun-tahun, masyarakat percaya bahwa otomatisasi hanya akan menggantikan pekerjaan manual, sedangkan posisi bergengsi seperti pengembang perangkat lunak, analis data, atau pekerja kantoran profesional akan tetap aman. Namun pekan ini, setelah serangkaian pemutusan hubungan kerja besar-besaran di sejumlah perusahaan raksasa Amerika Serikat, rasa aman itu tampak menguap.

Selama dua dekade terakhir, bekerja di sektor Big Tech—raksasa teknologi seperti Google, Amazon, Meta, atau Microsoft—dianggap sebagai puncak kestabilan karier. Di era 2010-an, ketika perekonomian digital berkembang pesat, ungkapan “just learn to code, bro” (belajarlah coding saja, kawan) menjadi semacam lelucon sarkastik yang diarahkan kepada para pencari kerja yang kesulitan. Pesannya sederhana, kalau mau sukses, jadilah programmer. Tapi kini, ironi itu terasa pahit. Justru para programmer dan insinyur perangkat lunak yang mulai terpinggirkan oleh kecerdasan buatan yang mereka bantu ciptakan.

Gelombang PHK dan Narasi yang Dihaluskan

Dalam laporan kinerja kuartal ketiganya, CEO Amazon, Andy Jassy, mengumumkan bahwa perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan sekitar 14.000 karyawan. Jassy mencoba menenangkan publik dan para analis dengan mengatakan bahwa langkah itu “tidak benar-benar didorong oleh faktor keuangan, dan bahkan belum sepenuhnya karena AI—setidaknya untuk saat ini.” Ia menegaskan, alasan utama PHK adalah untuk menjaga organisasi tetap ramping, datar, dan gesit dalam menghadapi perubahan teknologi yang cepat.

Namun banyak pengamat menilai pernyataan itu sebagai cara halus untuk menghindari kontroversi. Bloomberg melaporkan bahwa sejumlah divisi Amazon yang paling terdampak adalah unit yang berfokus pada pengembangan perangkat lunak internal dan layanan pendukung. Artinya, mereka yang berada di pusat kemampuan digital perusahaan justru menjadi korban pertama dari efisiensi berbasis AI.

Dalam konteks ini, kalimat Jassy tentang pentingnya menjadi organisasi yang “lean, flat, dan fast” memiliki makna tersirat. Ketika perusahaan dapat mengganti sebagian tenaga manusia dengan sistem otomatis yang belajar sendiri, “lean” berarti memangkas tenaga kerja, “flat” berarti mengurangi lapisan manajerial, dan “fast” berarti mempercepat proses bisnis tanpa bergantung pada ritme manusia.

Ketika Efisiensi Menjadi Alasan Moral Baru

Dalam beberapa tahun terakhir, narasi efisiensi menjadi semacam dogma baru di dunia korporasi. The Wall Street Journal menulis bahwa setelah pandemi, banyak perusahaan besar menganggap momentum digitalisasi sebagai pembenaran untuk merombak struktur organisasi mereka. AI, yang awalnya diadopsi untuk mempercepat tugas administratif atau analitik, kini mulai menyusup ke proses inti—mulai dari desain produk hingga layanan pelanggan.

McKinsey & Company memperkirakan bahwa hingga 2030, sekitar 30 persen pekerjaan di negara maju berpotensi digantikan oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan. Angka itu bukan sekadar statistik; ia mencerminkan transformasi sosial besar-besaran. Jika dulu ancaman otomatisasi menimpa buruh pabrik atau operator logistik, kini bayangan itu menyentuh pekerja kantoran berpenghasilan tinggi.

Para eksekutif mungkin tidak ingin secara terbuka mengakui bahwa AI mendorong PHK, sebab hal itu dapat menciptakan kegelisahan sosial dan tekanan politik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan tren yang tidak bisa dihindari, setiap kali model AI generatif seperti ChatGPT atau Claude mampu menulis kode, menyiapkan laporan keuangan, atau mendesain user interface dalam hitungan menit, logika bisnis akan segera mengkalkulasi: mengapa membayar manusia untuk hal yang bisa dikerjakan mesin?

Dari “Belajar Coding” ke “Diprogram Mesin”

Fenomena ini memutar balik paradigma lama. Dulu, belajar pemrograman dianggap tiket menuju masa depan yang aman. Kini, justru kemampuan coding menjadi salah satu yang paling terancam oleh otomatisasi. Reuters melaporkan bahwa sejumlah perusahaan perangkat lunak di Silicon Valley mulai mengandalkan model AI untuk membantu proses pengembangan aplikasi, dengan hasil yang cukup mengejutkan: produktivitas meningkat hingga 30 persen, sementara kebutuhan tenaga manusia menurun drastis.

Salah satu contoh datang dari startup besar di San Francisco yang menguji AI pair programmer seperti GitHub Copilot dan Claude Engineer. Dalam uji coba internal, satu insinyur yang didampingi AI mampu menyelesaikan tugas yang biasanya dikerjakan oleh dua hingga tiga orang. Hasilnya: kecepatan meningkat, biaya berkurang, dan manajemen mulai bertanya apakah tim sebesar itu masih diperlukan.

Ironisnya, AI yang kini digunakan untuk menulis kode diciptakan oleh komunitas programmer itu sendiri. Mereka yang dulu membangun model pembelajaran mesin dan menulis data pelatihan kini mendapati keterampilan mereka mulai terpinggirkan oleh produk yang mereka bantu bentuk. Dalam arti tertentu, AI telah menciptakan lingkaran logis yang sempurna, mesin yang dilatih oleh manusia untuk menggantikan pekerjaan manusia.

Efek Domino di Dunia Kerja Profesional

Namun ancaman AI tidak berhenti pada sektor teknologi. Gelombang efisiensi digital mulai menjalar ke dunia hukum, keuangan, pemasaran, bahkan jurnalisme. Financial Times melaporkan bahwa sejumlah firma hukum besar di Inggris dan AS mulai menggunakan sistem AI untuk meninjau kontrak, menyusun dokumen, atau memeriksa kepatuhan hukum. Proses yang biasanya memakan waktu berhari-hari kini dapat selesai dalam hitungan jam.

Di sektor keuangan, lembaga seperti JPMorgan dan Goldman Sachs mengembangkan algoritma yang menganalisis pasar dan menyusun rekomendasi investasi otomatis. Di bidang pemasaran, platform seperti Jasper dan Copy.ai menggantikan peran copywriter dalam membuat iklan digital. Dalam jurnalisme, sejumlah media seperti Insider dan CNET bahkan sempat menggunakan AI untuk menulis artikel berita singkat—walau belakangan mereka mundur setelah publik menyoroti kesalahan faktual.

Perubahan ini menimbulkan pertanyaan eksistensial bagi banyak pekerja berpendidikan tinggi, jika AI dapat meniru logika berpikir dan kreativitas manusia, di mana posisi manusia dalam rantai nilai ekonomi? Apakah pekerjaan masa depan akan berfokus pada pengawasan mesin, bukan pada penciptaan ide?

Tekanan Ekonomi dan Daya Tarik Efisiensi

Meski banyak eksekutif berhati-hati menyebut AI sebagai penyebab langsung PHK, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi ini menawarkan daya tarik ekonomi yang sulit ditolak. Dengan menggabungkan kecerdasan buatan, perusahaan dapat menekan biaya tenaga kerja, mengurangi kesalahan manusia, dan mempercepat pengambilan keputusan.

The Economist mencatat bahwa pada 2024, produktivitas perusahaan yang berinvestasi besar dalam AI meningkat rata-rata 15 persen dibanding yang tidak. Namun peningkatan itu tidak serta-merta menciptakan lapangan kerja baru. Sebaliknya, AI memungkinkan perusahaan menghasilkan lebih banyak output dengan tenaga kerja yang lebih sedikit. Dalam konteks ekonomi pasar bebas, ini menjadi strategi bertahan hidup yang rasional.

Selain itu, tekanan makroekonomi memperkuat alasan efisiensi. Banyak perusahaan menghadapi hambatan baru, tarif impor, kebijakan fiskal yang ketat, dan perubahan pola konsumsi pasca-pandemi. Dengan inflasi yang masih tinggi dan ketidakpastian geopolitik, setiap langkah penghematan menjadi berharga. AI, dalam hal ini, bukan sekadar alat, tetapi solusi strategis untuk mempertahankan margin keuntungan.

Sisi Gelap Produktivitas

Namun tidak semua pihak memandang hal ini dengan optimistis. Serikat pekerja di AS dan Eropa mulai memperingatkan dampak sosial dari adopsi AI yang terlalu cepat. Jika perusahaan terus memangkas tenaga kerja terampil, pasar tenaga kerja akan mengalami kelebihan pasokan pekerja berpendidikan yang tidak terserap, sementara upah stagnan dan kesenjangan ekonomi melebar.

Harvard Business Review menulis bahwa di balik janji produktivitas, AI membawa paradoks baru: ketika mesin membuat manusia lebih efisien, perusahaan cenderung menuntut lebih banyak dari karyawan yang tersisa. Mereka harus mengawasi sistem, memverifikasi hasil, dan tetap bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat mesin. Artinya, tekanan kerja meningkat meskipun jumlah tenaga kerja berkurang.

Bahkan dalam perusahaan yang belum melakukan PHK, karyawan mulai merasakan “ketakutan produktivitas”—rasa waswas bahwa mereka harus bersaing dengan algoritma yang tak pernah lelah. Fenomena ini menciptakan lingkungan kerja yang penuh kecemasan, di mana inovasi justru bisa terhambat karena ketidakpastian masa depan.

Transformasi Tanpa Peta Etika

Sementara pemerintah dan akademisi masih berdebat tentang regulasi AI, dunia bisnis sudah melangkah jauh di depan. Banyak perusahaan menggunakan model bahasa besar (LLM) tanpa benar-benar memahami implikasi etis dan sosialnya. Apakah sistem itu memproses data pribadi secara aman? Apakah keputusan yang dihasilkan adil dan tidak bias?

Laporan MIT Technology Review menunjukkan bahwa sebagian besar organisasi yang mengadopsi AI generatif melakukannya tanpa kerangka tata kelola yang jelas. Mereka tergoda oleh janji efisiensi, tetapi mengabaikan tanggung jawab etisnya. Akibatnya, ketika AI mulai mempengaruhi keputusan perekrutan, penilaian kinerja, atau pemutusan kerja, risiko diskriminasi dan ketidakadilan semakin besar.

Pemerintah AS, Uni Eropa, dan Jepang kini tengah menyusun kebijakan baru untuk mengatur penggunaan AI di sektor tenaga kerja. Namun regulasi sering kali tertinggal dibandingkan inovasi. Ketika aturan muncul, banyak pekerjaan mungkin sudah lenyap.

Sinergi atau Kompetisi?

Meskipun narasi utama saat ini cenderung suram, sejumlah analis berpendapat bahwa AI tidak harus menjadi musuh manusia. Dalam skenario ideal, AI bisa menjadi kolaborator yang memperluas kapasitas manusia, bukan menggantikannya. Profesor Erik Brynjolfsson dari Stanford menulis bahwa sejarah teknologi selalu menunjukkan pola yang sama: setiap revolusi industri menghapus jenis pekerjaan lama, tetapi juga melahirkan profesi baru yang tak terbayangkan sebelumnya.

Namun bedanya kali ini, kecepatannya luar biasa. Revolusi industri pertama berlangsung selama beberapa dekade, sedangkan AI berevolusi dalam hitungan bulan. Jika masyarakat tidak siap beradaptasi—melalui pendidikan ulang, kebijakan sosial, dan inovasi model kerja—transisi ini bisa meninggalkan luka sosial yang dalam.

Gelombang PHK di Amazon mungkin hanyalah awal dari tren global yang lebih luas. Saat CEO-CEO perusahaan besar berbicara tentang “transformasi teknologi” dan “organisasi yang ramping,” mereka sebenarnya sedang mengisyaratkan paradigma baru ekonomi: dunia di mana nilai tidak lagi ditentukan oleh jumlah pekerja, melainkan oleh kecepatan adaptasi terhadap kecerdasan buatan.

AI benar-benar datang untuk mengambil pekerjaan—tidak dengan kekerasan, tetapi dengan rasionalitas bisnis yang dingin. Ia menggoda dengan efisiensi, menjanjikan inovasi, dan memaksa manusia untuk meninjau ulang makna produktivitas. Seperti yang ditulis The New York Times dalam editorialnya, “AI tidak akan mengambil pekerjaanmu—manajermu yang akan melakukannya, dengan bantuan AI.”

Namun di balik kekhawatiran itu, masih ada ruang untuk harapan. Selama manusia mampu mengarahkan teknologi dengan visi etis dan empati sosial, AI bisa menjadi alat untuk menciptakan pekerjaan baru yang lebih manusiawi. Tantangannya bukan sekadar bertahan dari perubahan, melainkan menata ulang masa depan kerja agar kecerdasan buatan tidak sekadar menggantikan kita, tetapi memperluas potensi kemanusiaan itu sendiri.