
(Vibizmedia-Kolom) Impor selalu menjadi bagian penting dalam perjalanan ekonomi Indonesia. Di negeri kepulauan besar dengan industri yang terus tumbuh, aliran barang dari luar negeri tidak hanya mencerminkan kebutuhan pasar domestik, melainkan juga arah transformasi ekonomi jangka panjang. Laporan Statistik Perdagangan Luar Negeri Bulanan Impor Juni 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik memperlihatkan wajah ekonomi Indonesia dalam skala global: di satu sisi ada penurunan, di sisi lain ada penguatan.
Dinamika Juni 2025 turun dalam jangka pendek naik dalam jangka tahunan
Nilai impor Indonesia pada Juni 2025 tercatat 19,33 miliar dolar AS. Angka ini menurun 4,82 persen dibanding Mei 2025, setara dengan 979 juta dolar. Penurunan terutama datang dari sektor migas yang merosot 15,96 persen, sementara nonmigas turun 3,15 persen.
Namun jika dibandingkan dengan Juni 2024, nilai impor justru naik 4,28 persen atau 793 juta dolar. Sektor nonmigas menjadi motor utama peningkatan, naik 12,07 persen, sementara sektor migas jatuh 32 persen. Kontras inilah yang menandai posisi Indonesia, dalam jangka pendek terkena dampak pelemahan energi global, tetapi dalam jangka menengah memperlihatkan pertumbuhan industrialisasi.
Pergeseran struktur dari energi ke industri
Penurunan impor migas memberi sinyal penting. Dalam 13 bulan terakhir, nilai impor migas tertinggi terjadi pada Oktober 2024 sebesar 3,66 miliar dolar, sementara titik terendah justru di Juni 2025 dengan 2,22 miliar dolar. Kontribusi migas dalam total impor menyusut ke 11,49 persen, sementara nonmigas mencapai 88,51 persen.
Ini bukan sekadar fluktuasi harga minyak mentah dunia, melainkan juga pergeseran struktural. Ketergantungan impor pada energi menurun, sementara kebutuhan pada mesin, kendaraan, bahan kimia, dan berbagai produk industri meningkat. Dengan kata lain, Indonesia makin menegaskan dirinya sebagai negara dengan basis manufaktur yang berkembang.
Dominasi mesin dan kendaraan
Jika dirinci menurut golongan barang HS 2 digit, mesin dan peralatan mekanis menempati posisi pertama dengan nilai 3,27 miliar dolar atau 16,9 persen dari total impor. Angka ini naik 23,24 persen dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan signifikan juga terlihat pada mesin listrik senilai 2,35 miliar dolar (naik 17,28 persen) dan kendaraan 1,03 miliar dolar (naik 46,96 persen).
Pola ini memberi sinyal bahwa proyek infrastruktur, manufaktur, dan otomotif menjadi motor penggerak permintaan impor. Pabrik-pabrik membutuhkan mesin baru, proyek konstruksi memerlukan alat berat, dan masyarakat dengan daya beli meningkat mendorong kebutuhan kendaraan.
Sebaliknya, komoditas energi seperti bahan bakar mineral justru turun 26,72 persen menjadi 2,63 miliar dolar. Besi dan baja juga melemah 19,27 persen menjadi 672 juta dolar. Penurunan ini dapat dikaitkan dengan fluktuasi harga global dan perlambatan di sektor tertentu.
Konsentrasi negara asal Tiongkok sebagai poros utama
Dari sisi negara asal, impor Indonesia masih terkonsentrasi pada segelintir mitra utama. Tiongkok menempati posisi dominan dengan nilai 6,91 miliar dolar atau 35,74 persen dari total impor Juni 2025. Artinya, lebih dari sepertiga barang impor Indonesia berasal dari satu negara.
Empat mitra utama lainnya adalah Singapura 1,4 miliar dolar (7,24 persen), Amerika Serikat 1,19 miliar dolar (6,17 persen), Jepang 1,16 miliar dolar (6,02 persen), dan Australia 873 juta dolar (4,51 persen). Jika dijumlah, kelimanya menyumbang hampir 60 persen kebutuhan impor Indonesia.
Kondisi ini menegaskan dua hal, efisiensi rantai pasok global yang terhubung kuat dengan negara-negara tersebut, sekaligus risiko ketergantungan yang tinggi. Ketika Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi atau gejolak geopolitik, dampaknya bisa langsung terasa di Indonesia.
Kontribusi antarprovinsi Jakarta sebagai jantung
Distribusi impor antar provinsi juga menunjukkan ketimpangan. DKI Jakarta mendominasi dengan 9,34 miliar dolar atau 48,34 persen dari total impor. Angka ini naik 7,6 persen dibanding tahun lalu. Pelabuhan Tanjung Priok menjadi pusat utama arus kontainer yang masuk dari seluruh dunia.
Provinsi lain dengan kontribusi besar antara lain Jawa Timur 2,24 miliar dolar (11,62 persen), Kepulauan Riau 1,87 miliar dolar (9,69 persen), Sulawesi Tengah 1,12 miliar dolar (5,79 persen), dan Jawa Tengah 1,06 miliar dolar (5,48 persen). Sementara provinsi-provinsi lain mencatat kontribusi di bawah lima persen.
Beberapa provinsi menunjukkan lonjakan signifikan, seperti Kepulauan Riau naik 35,8 persen, Sulawesi Tengah naik 34,96 persen, dan Maluku Utara naik 65,84 persen. Namun ada juga yang turun tajam, seperti Sulawesi Tenggara anjlok 71,6 persen dan Jawa Barat turun 36,23 persen. Hal ini menandakan bahwa dinamika impor erat kaitannya dengan basis industri dan infrastruktur pelabuhan di masing-masing daerah.
Golongan penggunaan bahan baku tetap mendominasi
Dari sudut penggunaan, bahan baku dan penolong tetap mendominasi dengan kontribusi 69,06 persen atau 13,35 miliar dolar. Barang modal menyumbang 21,63 persen (4,18 miliar dolar), sementara barang konsumsi 9,31 persen (1,8 miliar dolar).
Meski barang konsumsi relatif kecil, kontribusinya sedikit naik dibanding bulan sebelumnya. Hal ini mencerminkan daya beli masyarakat yang terjaga. Namun dari sisi industri, dominasi bahan baku menunjukkan ketergantungan pada pasokan luar negeri masih besar untuk menopang produksi domestik.
Implikasi kebijakan keseimbangan yang rapuh
Ada beberapa catatan penting dari data impor Juni 2025. Pertama, kemandirian energi belum tercapai. Meski impor migas menurun, penurunan lebih disebabkan oleh faktor harga global ketimbang peningkatan produksi dalam negeri. Kedua, kebutuhan industrialisasi meningkat. Lonjakan impor mesin dan kendaraan mengindikasikan percepatan pembangunan infrastruktur dan manufaktur. Pemerintah perlu memastikan transfer teknologi berjalan agar tidak sekadar menjadi konsumen.
Ketiga, ketergantungan pada Tiongkok terlalu besar. Dengan porsi impor lebih dari sepertiga, Indonesia perlu mendiversifikasi mitra dagang agar lebih tahan guncangan. Keempat, ketimpangan regional masih lebar. Konsentrasi impor di Jakarta dan beberapa provinsi besar menunjukkan distribusi logistik belum merata. Investasi pelabuhan dan kawasan industri di luar Jawa penting untuk pemerataan ekonomi. Kelima, barang konsumsi meningkat. Peningkatan impor barang konsumsi harus diimbangi dengan perlindungan industri lokal agar tidak kalah bersaing.
Antara peluang dan risiko
Impor Juni 2025 menampilkan wajah ganda Indonesia. Dari satu sisi, penurunan migas dan peningkatan nonmigas adalah kabar baik bagi transformasi industri. Dari sisi lain, dominasi Tiongkok dan konsentrasi regional menunjukkan kerentanan struktural yang perlu diantisipasi.
Indonesia berada di titik keseimbangan baru. Pertumbuhan industri membuka peluang bagi kemandirian ekonomi, tetapi tanpa strategi diversifikasi dan penguatan produksi dalam negeri, keseimbangan ini akan rapuh. Kebijakan yang menekankan hilirisasi, pengembangan industri substitusi impor, serta diversifikasi mitra dagang menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, melainkan juga pemain penting dalam rantai pasok global.