Fenomena Eksodus Pemuda Nepal Mencari Peluang Bekerja di Luar Negeri, Pelajaran bagi Indonesia

0
444
Para pemuda Nepal (Foto: Mela Lumbangaol)

(Vibizmedia –  Kolom)   Nepal adalah negara muda. Menurut data dari UNFPA (United Nations Population Fund) Nepal, sekitar 20% dari total populasi Nepal berada dalam rentang usia 16 hingga 25 tahun. Selain itu, sekitar 40% dari populasi berada dalam rentang usia 16 hingga 40 tahun. Tren demografi menunjukkan munculnya ‘populasi pemuda yang besar’. 

Banyak negara berkembang di Amerika Latin dan Asia mengalami populasi pemuda pada tahun 1980-an dan 1990-an dan sementara ekonomi mereka mandek maka menghasilkan puluhan ribu pemuda yang menganggur. Situasi Nepal saat ini mencerminkan tren serupa.  Pemuda Nepal menghadapi tingkat pengangguran yang mengejutkan sebesar 19 persen, sangat kontras dengan tingkat 2,7 persen untuk seluruh populasi. 

Tidaklah heran bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Nepal telah mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah pemuda yang meninggalkan tanah air mereka untuk mencari peluang di luar negeri.  Menurut data dari Departemen Ketenagakerjaan Luar Negeri Nepal, jumlah warga Nepal yang meninggalkan negara untuk tujuan bekerja meningkat dari 429.000 pada 2015 menjadi 597.000 pada 2020, menunjukkan tren yang berkembang di kalangan pemuda yang merantau ke luar negeri. Pada tahun 2022, diperkirakan 500.000 warga Nepal meninggalkan negara tersebut untuk bekerja atau belajar di luar negeri, meningkat signifikan dari 200.000 orang pada 2010.

Tujuan populer bagi pemuda Nepal yang mencari peluang di luar negeri meliputi negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropa, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, Korea Selatan, dan Jepang. Negara-negara ini menawarkan berbagai peluang pekerjaan, pendidikan berkualitas, dan prospek hidup dengan standar yang lebih tinggi.

Motivasi Pergi ke Luar Negeri

Pemuda Nepal merantau terutama untuk tiga alasan: pendidikan, pekerjaan, dan tujuan lainnya. Banyak mahasiswa yang bercita-cita untuk mengejar pendidikan tinggi di institusi internasional terkemuka, dengan tujuan memperluas pengetahuan dan mendapatkan wawasan global.

Dalam hal pekerjaan, kurangnya peluang kerja yang sesuai, prospek karir yang terbatas, dan upah yang relatif rendah di Nepal sering kali mendorong pemuda untuk mencari pekerjaan dengan gaji lebih baik di luar negeri. Tujuan lainnya dapat mencakup kesempatan untuk pengembangan keterampilan, berwirausaha, program pertukaran budaya, dan mencari kualitas hidup yang lebih baik untuk diri mereka dan keluarga mereka.

Faktor sosial memainkan peran penting dalam keputusan pemuda Nepal untuk pergi ke luar negeri. Terdapat persepsi sosial bahwa memperoleh pendidikan internasional atau bekerja di luar negeri dapat meningkatkan status sosial dan prestise seseorang. Selain itu, pengaruh jaringan teman, harapan keluarga, dan tekanan masyarakat untuk sukses turut berkontribusi pada daya tarik merantau bagi pemuda Nepal.

Ketidakstabilan politik, pergantian pemerintahan yang sering, dan kurangnya tata kelola yang efektif di Nepal membuat banyak orang merasa kecewa. Tidak adanya lingkungan yang kondusif untuk berbisnis, korupsi, hambatan birokrasi, dan persepsi kurangnya kemauan politik untuk mengatasi masalah-masalah ini telah mendorong keinginan pemuda Nepal untuk mencari stabilitas dan peluang di tempat lain.

Tantangan ekonomi Nepal, seperti tingkat pengangguran yang tinggi, terbatasnya peluang kerja, upah yang rendah, dan kesenjangan pendapatan, mendorong banyak pemuda untuk mencari prospek ekonomi yang lebih baik di luar negeri. Remitansi yang dikirim oleh pekerja migran Nepal telah menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi keluarga mereka dan berkontribusi pada perekonomian nasional. Pada tahun 2022, remitansi mencapai sekitar 24 persen dari PDB Nepal, menunjukkan pentingnya pekerjaan luar negeri bagi stabilitas ekonomi negara.

Kemajuan teknologi telah membuka berbagai peluang, memungkinkan individu untuk bekerja secara jarak jauh atau mengejar karir di bidang-bidang baru seperti teknologi informasi, pengembangan perangkat lunak, dan pemasaran digital. Kurangnya infrastruktur teknologi yang memadai, terbatasnya peluang kerja di sektor teknologi, dan keinginan untuk menjadi bagian dari tenaga kerja digital global mendorong pemuda Nepal untuk mencari peluang di luar negeri.

Dampak  Positif dan Negatif pada Negara dan Masyarakat

Keberangkatan sejumlah besar pemuda Nepal ke luar negeri memiliki dampak yang signifikan pada berbagai sektor di negara ini baik secara positif dan negatif.

Dampak Positif

Pekerja migran Nepal mengirim miliaran dolar dalam bentuk remitansi setiap tahun kepada keluarga mereka di Nepal. Remitansi ini berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi banyak keluarga, berkontribusi pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan standar hidup. Namun, ketergantungan yang berlebihan pada remitansi dapat menciptakan kerentanan ekonomi, karena negara menjadi bergantung pada sumber pendapatan eksternal.

Selain itu para pekerja migran Nepal membawa kembali keterampilan dan pengetahuan baru ke Nepal, yang dapat membantu memperbaiki ekonomi dan mengembangkan negara.

Ditambah lagi bahwa pekerja migran Nepal yang kembali dapat berbagi pengalaman mereka dengan orang lain, yang dapat membantu mempromosikan toleransi dan pemahaman terhadap budaya yang berbeda.

Dampak Negatif

Migrasi pemuda sering kali menyebabkan brain drain, yang mengakibatkan Nepal kehilangan tenaga profesional dan calon pemimpin masa depan. Ketidakhadiran individu yang berpendidikan dan berbakat dapat menghambat perkembangan sosial dan inovasi dalam negara.

Migrasi pemuda Nepal ke luar negeri juga dapat menyebabkan penurunan tenaga kerja, karena Nepal memiliki lebih sedikit orang yang tersedia untuk bekerja di negara ini. Kehilangan pekerja terampil dan profesional menciptakan kekurangan sumber daya manusia di sektor-sektor penting, termasuk kesehatan, teknik, dan pendidikan. Defisit ini dapat menghambat kemajuan Nepal dan mengurangi kemampuannya dalam menangani tantangan sosial secara efektif.

Migrasi pemuda Nepal ke luar negeri juga dapat menyebabkan meningkatnya masalah sosial, seperti perpisahan keluarga, kejahatan, dan penyalahgunaan narkoba.

Selain itu, pemuda yang bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja, pendidikan, dan perawatan kesehatan memperburuk kurangnya keterlibatan pemuda dalam tindakan pembangunan berkelanjutan. Eksodus massal pemuda membuat Nepal kehilangan tenaga kerja dan profesional yang terampil, yang berkontribusi pada pelarian modal manusia.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Minat kaum muda dan profesional di Indonesia untuk bekerja di luar negeri masih tinggi, terutama dalam sektor-sektor teknologi. Survei JobStreet dan Boston Consulting Group pada 2024 menunjukkan bahwa 67% responden Indonesia berminat bekerja di luar negeri, sejalan dengan tren Asia Tenggara meskipun sempat lebih tinggi (82%) sebelum pandemi COVID-19.

Berkaitan dengan para skilled labor,  ketertarikan terbesar berasal dari profesional di bidang teknologi informasi, data science, kecerdasan buatan, dan teknik, yang melihat negara maju seperti Jepang, Australia, Singapura, dan Jerman sebagai tempat yang menawarkan peluang karier dan kualitas hidup lebih baik. Selain itu, minat terhadap pekerjaan jarak jauh dan hybrid juga meningkat, dari 55% pada 2020 menjadi 71% pada 2023.

Fenomena ini mencerminkan keinginan pekerja muda Indonesia untuk mengembangkan keterampilan dan pengalaman internasional. Meskipun banyak yang kembali ke Indonesia setelah bekerja beberapa tahun di luar negeri, tren ini menjadi tantangan dalam mempertahankan talenta dan mendukung pengembangan ekonomi nasional, khususnya di sektor teknologi dan inovasi. 

Tetapi jika bicara mengenai para unskilled labor, maka berdasarkan laporan BP2MI pada Maret 2024, Hong Kong menjadi tujuan utama pekerja migran Indonesia (PMI), dengan jumlah mencapai 10.810 orang atau 37,73% dari total PMI bulan tersebut.

Survei GoodStats pada Februari 2024 terhadap 1.012 responden menunjukkan bahwa Taiwan dan Jepang adalah negara pilihan utama orang Indonesia untuk bekerja di luar negeri, diikuti oleh Arab Saudi, Hong Kong, Korea Selatan, Malaysia, Australia, Singapura, Amerika Serikat, Jerman, dan negara lainnya.

Alasan utama responden memilih negara-negara tersebut adalah standar gaji yang tinggi (40%), diikuti oleh keamanan negara (31%)—yang membuat negara-negara aman seperti Jepang, Taiwan, dan Australia menjadi pilihan utama. Alasan lainnya termasuk lapangan kerja yang luas (27%), jenjang karir yang bagus (21%), dan suasana negara yang menyenangkan (17%). Hanya 15% responden yang mempertimbangkan bahasa sebagai faktor, dan alasan lain dipilih oleh 9% responden saja.

Untuk menahan talenta agar tetap di dalam negeri, perlu upaya peningkatan kualitas pekerjaan, lingkungan kerja, serta penawaran insentif dan peluang pengembangan yang kompetitif dengan pasar global. Strategi perekrutan yang lebih efektif juga direkomendasikan agar perusahaan Indonesia siap menghadapi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja berkualitas di masa mendatang.

Generasi Z di Indonesia, yang lahir antara 1997 dan 2012, juga mengalami tantangan dalam mendapatkan pekerjaan meskipun negara memiliki tenaga kerja produktif yang besar, dengan 147,71 juta angkatan kerja pada 2023. Tantangan ini meliputi ketidakcocokan keterampilan, ketidakcukupan lapangan kerja, dan dampak dari ketidakstabilan ekonomi serta korupsi. Hal ini dapat menyebabkan Gen Z mencari kesempatan untuk bekerja ke luar negeri karena lebih menjanjikan masa depan yang lebih baik. 

Pekerjaan yang diminati Gen Z meliputi e-Commerce, UI/UX Design, Digital Marketing, hingga gamer profesional. Tetapi potensi kerja sama internasional yang dibuat pemerintah Indonesia melalui 18 Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) telah diterapkan juga membuka peluang lapangan kerja dari perusahaan asing dan memperluas pasar bagi bisnis lokal.

Dalam hal ini pemerintah perlu lebih fleksibel dalam ketenagakerjaan, meningkatkan pendidikan vokasi, serta memfasilitasi kreativitas Gen Z. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu menyerap tenaga kerja Gen Z dan mengurangi keinginan mereka untuk mencari peluang kerja di luar negeri yang mungkin lebih menguntungkan dan mendukung kreativitas mereka. Dengan demikian eksodus anak muda  bekerja ke luar negeri seperti apa yang terjadi di Nepal tidak akan dialami Indonesia.