Harga Kakao Naik: Bisakah Hilirisasi Jadi Kunci Nilai Tambah?

0
1856
Hilirisasi Kakao
Produk hilirisasi kakao. FOTO: KEMENKOP UKM

(Vibizmedia-Kolom) Harga kakao global mulai mengalami kenaikan signifikan sejak awal tahun 2024, dengan lonjakan yang dipicu oleh penurunan produksi di negara-negara penghasil utama seperti Pantai Gading dan Ghana akibat gangguan panen. Harga mencapai level tertinggi sepanjang masa, mendekati USD9.000 per metrik ton pada Maret 2024, naik hingga tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini berdampak positif bagi petani karena meningkatnya pendapatan, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan harga cokelat yang lebih mahal bagi konsumen. Meskipun produksi masih dibawah 2 negara penghasil utama tersebut, Indonesia menyumbang sekitar 6-7% dari total produksi kakao global, dengan sebagian besar produksi berasal dari Sulawesi, Sumatra dan Papua. Kakao Indonesia dikenal karena kualitasnya, tetapi sebagian besar masih diekspor dalam bentuk biji mentah, sehingga hilirisasi menjadi penting untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing di pasar internasional.

Pemerintah terus mendorong hilirisasi produk kakao sebagai sumber ekonomi baru dengan dengan cara diolah menjadi produk bernilai tinggi (high end product), terlebih Indonesia merupakan salah satu produsen utama kakao di dunia.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pada masa kabinet Indonesia Maju kepada media mengatakan kita punya potensi besar dari kakao karena sebelumnya kita hanya jual bahan baku mentahnya tapi karena hilirisasi yang dilakukan Pipiltin (produk cokelat premium Indonesia berbasis bean-to-bar) maka bisa menciptakan produk baru.

Volume Berbanding Nilai Ekspor Biji Cokelat 2018-2022

Ekspor Biji Cokelat
Sumber: BPS, November 2023

Ekspor kakao baik dari sisi volume maupun nilai mengalami fluktuasi dalam kurun lima tahun terakhir. Pada tahun 2018, volume ekspor kakao mencapai 380.827 ton dengan total nilai sekitar USD1,25 miliar. Kemudian pada tahun 2019 menurun menjadi 358.481 ton dengan total nilai sekitar USD1,20 miliar. Selanjutnya, volume ekspor kakao terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2022 mencapai 385.421 ton dengan total nilai sekitar USD1,26 miliar. Namun demikian, pada tahun 2021, peningkatan volume ekspor kakao tidak diikuti dengan nilai ekspor, dimana nilai ekspor kakao justru mengalami penurunan sebesar 3,01 persen dari tahun 2020.

Kendala

Untuk menjadikan sumber ekonomi baru, perlu dilakukan pembenahan ekosistem atau rantai pasoknya agar permasalahan dari hulu – hilir dapat dituntaskan. Pasalnya banyak produk pertanian dan perkebunan menghadapi hambatan dalam pengembangannya karena ekosistem yang belum sempurna. Sebagai contoh, produk perkebunan dan pertanian kerap mengalami fluktuasi harga saat panen raya sehingga petani merugi. Kemudian banyaknya tengkulak yang memainkan harga sesuka hati.

Dibutuhkan fasilitas pengolahan yang memadai seperti smelter, pabrik, dan jalur transportasi. Perlunya teknologi canggih dan tenaga kerja terampil, yang mungkin masih kurang di beberapa negara serta kebijakan pemerintah seperti insentif bagi investor, pelarangan ekspor bahan mentah, dan regulasi yang jelas serta stabil.

Hilirisasi telah menjadi salah satu strategi utama yang diusulkan untuk meningkatkan nilai tambah dalam berbagai sektor ekonomi, terutama di negara-negara yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia. Pendekatan ini bertujuan untuk memproses bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau barang jadi sebelum diekspor, sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian domestik.

Peluang

Pengolahan kakao menjadi produk yang siap dikonsumsi masih didominasi oleh pengolahan skala pabrikan besar. Namun demikian saat ini telah banyak diupayakan penyediaan teknologi. Hilirisasi untuk mendorong pengolahan di tingkat kelompok tani sebagai lembaga terkecil petani yang dapat didaftarkan secara resmi kepada pemerintah daerah, perlu memperluas unit usahanya untuk mendapatkan nilai tambah (added-value) pada komoditas kakao melalui pembentukan unit pengolahan hasil (UPH) dan pemasaran hasil.

Teknologi hilirisasi berupa mesin-mesin pengolahan dengan skala yang lebih kecil ini juga telah banyak dipraktikkan di luar negeri pada industri cokelat artisan dan dikenal sebagai istilah craft chocolate. Craft chocolate merupakan cokelat kualitas premium yang diproduksi oleh industri kecil menengah dengan sasaran pasar ceruk (niche market) seperti SpagNVola di Maryland, USA, yang mengolah biji kakao single origin yang berasal dari Republik Dominika.

Menawarkan eduwisata, konsep wisata cokelat saat ini berkembang dan diterima dengan baik oleh konsumen lokal seperti dapat kita lihat contohnya pada Kampung Cokelat di Kabupaten Blitar, Socolatte di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh dan eduwisata CocoPark milik Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) di Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Mutu produk cokelat yang baik akan secara bersamaan diikuti oleh mutu bahan baku biji kakao kering yang akan semakin membaik pula, yang artinya petani akan secara sukarela meningkatkan kualitas proses fermentasi biji kakaonya. Dengan demikian, dukungan proses pengolahan hilir untuk menghasilkan produk cokelat juga akan meningkatkan mutu dan harga jual biji kakao kering milik kelompok tani.

Selain melalui pengolahan hilir untuk menghasilkan produk jadi berupa cokelat, pemasaran bahan baku biji kakao kering juga perlu dilakukan dengan mengenalkan profil mutu biji kakao lokal melalui keikutsertaan pada kompetisi internasional untuk mendapatkan pengakuan mutu yang dapat manfaatkan untuk kegiatan ekspor biji. Lembaga kakao internasional (ICCO) bersama dengan perusahaan-perusahaan pengolah cokelat seperti Barry Callebaut, Guittard Chocolate, Belcolare, Puratos, dan Valrhona sejak tahun 2009 rutin menyelenggarakan kompetisi dwi tahunan Cocoa of Excellence (CoEx) yang dikelola oleh Bioversity International.

Selain itu, Fine Flavor Cocoa (FCC), biji kakao yang memiliki profil aroma (flavour) yang lebih kompleks seperti aroma bunga (floral), aroma buah (fresh or browned fruit) dan beraroma rempah (herbal). Jumlah FFC saat ini hanya menempati 5% dari total produksi kakao dunia, mayoritas masih berupa bulk cocoa. Peningkatan kuantitas FFC di Indonesia selain akan meningkatkan daya jual kakao Indonesia, juga akan meningkatkan citra dan penerimaan konsumen lokal yang saat ini sangat terbuka terhadap mutu suatu produk pangan.

Hilirisasi kakao dan promosi FFC juga terus diupayakan oleh pemerintah melalui sosialisasi penggunaan sertifikasi Indikasi Geografis (IG) dengan membentuk organisasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG). Indikasi Geografis saat ini sudah sangat populer pada komoditas kopi contohnya adalah Gayo, Java Preanger, dan Bali Kintamani. Indikasi Geografis didaftarkan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh MPIG, yang juga harus didukung oleh kepala daerah setempat. Kakao yang telah memiliki sertifikat IG saat ini hanya dimiliki oleh kakao asal Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dengan nama Kakao Berau. Dukungan pemerintah daerah maupun pusat, fasilitasi pendanaan dari perbankan dan pendampingan teknologi dari lembaga litbang dan universitas merupakan tiga pilar penting yang dapat mendorong peningkatan SDM dan peningkatan nilai tambah dalam mendukung kemandirian petani kakao di Indonesia.

Bukti nyata dari nilai tambah produk cokelat buatan lokal adalah SilverQueen dan Ceres, tentu ini sudah tidak asing lagi. Namun, tahukah Anda bahwa merek-merek cokelat terlaris ini memiliki akar yang dalam di kota Garut? Pabriknya berada di Jalan Cimanuk Garut.

Indonesia, dikenal sebagai penghasil kakao terbaik, utamanya dari Pulau Jawa, sejak zaman penjajahan Belanda. Keluarga Van Houten, pemilik kongsi cokelat asal Amsterdam, dan Koge Kwan, seorang pribumi keturunan Tiongkok, adalah tokoh-tokoh penting dalam industri cokelat di era tersebut. Mereka membangun pabrik pengolahan cokelat di Garut, yang pada awalnya masih berskala industri rumahan.

Singkat ceritanya, di tahun 1940-an, keluarga tersebut mendirikan NP Ceres di Garut di bawah kepemimpinan pengusaha Belanda. Namun, peristiwa zaman Revolusi Indonesia dan masuknya Jepang ke Indonesia membuat perusahaan ini beralih tangan. Pabrik cokelat ini dijual kepada Ming Chee Chuang, seorang pengusaha cokelat yang berasal dari Burma (kini dikenal sebagai Myanmar) yang telah lama menetap di Bandung. Menggabungkan cokelat dengan kacang mede, merupakan ide briliannya yang kemudian diolah menjadi cokelat batangan. Inilah cikal bakalnya cokelat SilverQueen yang sangat populer. Cokelat ini bahkan mendapat perhatian dari Presiden Soekarno yang menganggapnya sebagai cokelat dengan rasa paling lezat. Keberhasilan SilverQueen membuat Ming Chuang memindahkan perusahaannya ke Bandung dan membentuk Petra Food pada tahun 1984. Petra Food terus berkembang dan menjadi pemain utama dalam industri cokelat, menyediakan bahan cokelat untuk perusahaan besar seperti Nestle, Cadbury, dan Mars. Perusahaan ini juga berperan dalam pasar internasional dengan membuka kantor di Singapura dan menjalin hubungan perdagangan dengan negara-negara ASEAN. Beberapa negara tujuan ekspor utama produk cokelat dari Ceres adalah Thailand, Brunei, India, Korea Selatan, Vietnam, dan Filipina.

Negara Tujuan Ekspor Kakao Indonesia

Negara Tujuan Ekspor Kakao
Sumber: BPS, November 2023

India menjadi tujuan ekspor terbesar dengan pangsa 17,7%. Hal ini menunjukkan tingginya permintaan kakao Indonesia di pasar Asia Selatan. Selain Asia (India, China, dan Malaysia), Amerika Serikat dan Australia juga menjadi pasar penting, menunjukkan permintaan global yang merata. Jika biji kakao Indonesia lebih banyak diolah menjadi produk cokelat atau bubuk kakao, potensi ekspor ke negara-negara ini bisa meningkat dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

Kesimpulan

Sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia, namun sebagian besar kakao yang diekspor masih dalam bentuk biji mentah, dimana negara-negara tujuan ekspor utama (India, Amerika Serikat, Malaysia, China, dan Australia) sebagian besar masih menggunakan kakao mentah untuk diproses di negara mereka. Dengan mendirikan pabrik pengolahan kakao di dalam negeri, Indonesia dapat mengurangi ekspor biji mentah dan meningkatkan ekspor produk olahan dari merek lokal seperti Pipiltin Cocoa dan Krakakoa telah membuktikan bahwa produk kakao olahan Indonesia diminati pasar internasional.

Hilirisasi kakao adalah kunci untuk meningkatkan nilai tambah dalam rantai produksi kakao Indonesia. Dengan berfokus pada pengembangan produk olahan, Indonesia dapat meningkatkan pendapatan ekspor, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung keberlanjutan ekonomi lokal menjadi langkah strategis untuk mewujudkan potensi ini. Semoga…