Masa Depan Truk Hidrogen di Tengah Tantangan Industri

Perkembangan truk berbahan bakar hidrogen di Indonesia masih berada pada tahap awal dan menghadapi berbagai tantangan. Meskipun demikian, terdapat beberapa inisiatif dan rencana yang menunjukkan potensi pengembangan teknologi ini di masa mendatang.

0
707
Truk energi Hidrogen
Sumber : Flickr

(Vibizmedia-Kolom) Kebangkrutan terbaru Nikola Corporation telah mengguncang industri truk berbahan bakar hidrogen, menimbulkan kekhawatiran tentang kelayakan teknologi sel bahan bakar hidrogen untuk transportasi jarak jauh. Nikola, yang pernah menjadi favorit investor energi hijau dan simbol inovasi dalam truk tanpa emisi, kini menghadapi tantangan finansial dan operasional, membuat banyak pihak mempertanyakan apakah hidrogen benar-benar dapat bersaing dengan alternatif listrik berbasis baterai.

Rencana ambisius Nikola awalnya menarik banyak perhatian dan investasi. Perusahaan ini memposisikan dirinya sebagai pelopor dalam teknologi sel bahan bakar hidrogen, menjanjikan truk dengan jangkauan lebih jauh dan waktu pengisian bahan bakar lebih cepat dibandingkan dengan model listrik berbasis baterai. Namun, kombinasi dari salah urus keuangan, hambatan teknis, dan pengawasan regulasi menyebabkan kemunduran perusahaan ini. Tingginya biaya produksi hidrogen, ditambah dengan infrastruktur pengisian bahan bakar yang terbatas, menciptakan hambatan besar yang sulit diatasi oleh Nikola dan pengembang truk berbahan bakar hidrogen lainnya.

Hyzon Motors, perusahaan lain yang berharap sukses di sektor truk hidrogen, juga menghadapi tantangan. Meskipun perusahaan ini masih beroperasi, mereka kesulitan mendapatkan pangsa pasar dan mengamankan adopsi luas untuk kendaraan mereka. Seperti Nikola, Hyzon menghadapi kesulitan dalam membangun infrastruktur hidrogen dalam skala besar, sehingga sulit bagi perusahaan transportasi untuk beralih dari truk berbahan bakar diesel ke hidrogen.

Kesulitan yang dihadapi sektor truk hidrogen berbanding terbalik dengan kesuksesan yang semakin meningkat dari kendaraan listrik berbasis baterai (BEV). Perusahaan seperti Tesla dan Volvo telah membuat kemajuan signifikan dalam mengembangkan truk semi-listrik yang, meskipun masih menghadapi tantangan seperti infrastruktur pengisian daya dan berat baterai, mendapatkan lebih banyak dukungan industri. BEV mendapatkan keuntungan dari jaringan listrik yang sudah ada dan dapat diadaptasi untuk pengisian daya kendaraan, sementara hidrogen membutuhkan jaringan pengisian bahan bakar yang benar-benar baru.

Meskipun mengalami hambatan, para pendukung hidrogen tetap berpendapat bahwa teknologi ini masih memiliki masa depan, terutama untuk aplikasi di mana tenaga listrik berbasis baterai kurang praktis. Transportasi jarak jauh, angkutan barang berat, dan industri yang memerlukan pengisian bahan bakar cepat serta kepadatan energi tinggi masih bisa mendapatkan manfaat dari sel bahan bakar hidrogen. Namun, agar hidrogen menjadi alternatif yang layak, investasi besar dalam produksi, penyimpanan, dan distribusi infrastruktur sangat diperlukan.

Pemerintah dan pelaku industri terus mencari cara untuk membuat hidrogen lebih kompetitif. Departemen Energi AS telah meluncurkan inisiatif untuk meningkatkan efisiensi produksi hidrogen dan menurunkan biaya, sementara negara-negara Eropa telah berkomitmen untuk membangun koridor hidrogen untuk transportasi komersial. Produsen otomotif dan perusahaan energi, termasuk Toyota, Daimler, dan Shell, juga berinvestasi dalam teknologi hidrogen, dengan harapan bahwa kemajuan dalam elektrolisis dan produksi hidrogen terbarukan akan menjadikan bahan bakar ini lebih layak dalam jangka panjang.

Salah satu tantangan utama dalam adopsi hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan adalah efisiensi energi. Sel bahan bakar hidrogen memiliki beberapa keunggulan, seperti jangkauan lebih jauh dan waktu pengisian bahan bakar yang lebih cepat dibandingkan dengan baterai listrik. Namun, proses produksi hidrogen dari elektrolisis air masih sangat boros energi. Menurut penelitian, hanya sekitar 30-40% dari energi listrik yang digunakan dalam elektrolisis berhasil dikonversi menjadi hidrogen yang dapat digunakan. Ini berarti bahwa sebagian besar energi yang dihasilkan hilang dalam prosesnya. Sebagai perbandingan, baterai listrik memiliki efisiensi energi yang jauh lebih tinggi, dengan tingkat konversi mencapai 80-90%.

Selain itu, biaya hidrogen masih menjadi faktor penghambat utama. Produksi hidrogen hijau, yang dibuat dari elektrolisis menggunakan energi terbarukan, masih sangat mahal dibandingkan dengan bahan bakar fosil atau listrik berbasis baterai. Produksi hidrogen biru, yang dibuat dari gas alam dengan teknologi penangkapan karbon, juga menghadapi tantangan biaya dan ketergantungan pada infrastruktur gas yang ada. Tanpa insentif besar dari pemerintah atau terobosan teknologi baru, hidrogen kemungkinan akan tetap menjadi pilihan yang lebih mahal dibandingkan alternatif lain.

Namun, industri tetap berupaya mengatasi tantangan ini dengan berbagai inovasi dan strategi. Salah satu pendekatan yang sedang dikembangkan adalah penggunaan hidrogen cair sebagai bahan bakar, yang dapat meningkatkan kepadatan energi dan mengurangi masalah penyimpanan hidrogen dalam bentuk gas bertekanan tinggi. Selain itu, beberapa negara telah meluncurkan proyek percontohan untuk mengembangkan jaringan distribusi hidrogen yang lebih efisien dan terintegrasi dengan sektor energi lainnya.

Di sisi lain, peraturan pemerintah dan kebijakan lingkungan juga akan memainkan peran besar dalam menentukan masa depan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan. Beberapa negara, termasuk Jepang, Jerman, dan Korea Selatan, telah mengadopsi strategi hidrogen nasional dan memberikan subsidi besar untuk pengembangan teknologi ini. Di Amerika Serikat, pemerintahan Biden telah menyatakan dukungan terhadap energi bersih, tetapi masih belum jelas apakah hidrogen akan mendapat prioritas yang sama dengan kendaraan listrik berbasis baterai dalam kebijakan energi nasional.

Selain regulasi, permintaan pasar juga akan menjadi faktor penentu. Banyak perusahaan logistik dan transportasi mulai beralih ke kendaraan listrik berbasis baterai karena infrastruktur yang lebih matang dan biaya operasional yang lebih rendah. Jika biaya hidrogen tidak dapat dikurangi secara signifikan dalam waktu dekat, industri transportasi mungkin akan lebih memilih solusi berbasis baterai untuk mengurangi emisi karbon dan memenuhi target keberlanjutan.

Sementara itu, industri transportasi truk terus mengamati dengan seksama apakah hidrogen dapat bangkit dari keterpurukannya. Meskipun kejatuhan Nikola menjadi pukulan bagi sektor ini, hal tersebut tidak serta-merta menandai akhir dari truk berbahan bakar hidrogen. Perusahaan yang dapat mengatasi tantangan infrastruktur, menurunkan biaya produksi, dan menunjukkan keunggulan yang jelas dibandingkan pesaing listrik berbasis baterai masih memiliki peluang untuk mengukir ceruk di pasar transportasi tanpa emisi. Selain itu, perkembangan teknologi baru dalam produksi hidrogen, seperti pemanfaatan biomassa dan pengembangan reaktor nuklir kecil untuk produksi hidrogen murah, dapat menjadi solusi jangka panjang bagi industri ini.

Masa depan hidrogen dalam industri transportasi masih belum pasti. Beberapa analis percaya bahwa hidrogen akan memainkan peran penting dalam sektor transportasi berat dan industri yang membutuhkan energi dalam jumlah besar, sementara yang lain berpendapat bahwa kendaraan listrik berbasis baterai akan tetap menjadi solusi utama. Yang jelas, tantangan yang dihadapi industri hidrogen saat ini menunjukkan bahwa transisi menuju energi bersih tidak akan mudah dan membutuhkan inovasi serta kebijakan yang tepat untuk mencapai potensi maksimalnya.

Perkembangan di Indonesia

Perkembangan truk berbahan bakar hidrogen di Indonesia masih berada pada tahap awal dan menghadapi berbagai tantangan. Meskipun demikian, terdapat beberapa inisiatif dan rencana yang menunjukkan potensi pengembangan teknologi ini di masa mendatang.

Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi hidrogen, khususnya hidrogen hijau, sebagai salah satu komponen penting dalam transisi menuju energi bersih. Hidrogen diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk pembangkit listrik, transportasi, dan industri, dengan pemanfaatan komersial perdana direncanakan pada 2031.

PT Pertamina (Persero) juga telah memulai langkah konkret dengan mengembangkan proyek percontohan hidrogen hijau di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Ulubelu. Proyek ini ditargetkan memproduksi sekitar 100 kilogram hidrogen per hari mulai tahun 2023. Namun, hingga saat ini, informasi terbaru mengenai realisasi produksi tersebut belum tersedia.

Di sektor otomotif, beberapa produsen kendaraan menunjukkan minat terhadap teknologi hidrogen. Toyota, misalnya, sedang mengkaji kemungkinan memasarkan mobil hidrogen Mirai di Indonesia pada tahun 2030. Selain itu, Toyota juga mempertimbangkan konversi truk hidrogen yang lebih cocok untuk sektor industri. Namun, realisasi ini sangat bergantung pada pengembangan infrastruktur pendukung dan penurunan biaya produksi hidrogen di Indonesia.

Salah satu hambatan utama dalam pengembangan truk hidrogen di Indonesia adalah keterbatasan infrastruktur pengisian bahan bakar hidrogen. Pembangunan stasiun pengisian hidrogen memerlukan investasi besar dan perencanaan matang. Selain itu, biaya produksi hidrogen, terutama hidrogen hijau yang dihasilkan melalui energi terbarukan, saat ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Hal ini membuat adopsi kendaraan hidrogen, termasuk truk, menjadi kurang ekonomis tanpa adanya insentif atau subsidi dari pemerintah.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menekankan pentingnya kajian mendalam dan penetapan peta jalan yang jelas oleh pemerintah untuk pengembangan teknologi hidrogen di Tanah Air. Dengan adanya peta jalan yang terstruktur, industri otomotif dapat menyesuaikan diri dan mempersiapkan infrastruktur serta sumber daya yang diperlukan untuk mendukung ekosistem kendaraan hidrogen.

Meskipun terdapat minat dan inisiatif awal dalam pengembangan truk berbahan bakar hidrogen di Indonesia, realisasinya masih memerlukan waktu dan upaya yang signifikan. Kolaborasi antara pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan infrastruktur, ekonomi, dan regulasi. Dengan perencanaan yang matang dan investasi yang tepat, truk hidrogen berpotensi menjadi bagian dari solusi transportasi ramah lingkungan di Indonesia di masa depan.