(Vibizmedia-Kolom) Pemerintah Indonesia baru saja meluncurkan Danantara, sebuah entitas yang akan menjadi rumah bagi berbagai BUMN dalam satu wadah investasi. Ibarat mengumpulkan telur-telur emas dalam satu keranjang, Danantara diharapkan mampu mengoptimalkan pengelolaan aset negara agar lebih efisien dan menguntungkan. Namun, keberadaan Danantara justru menimbulkan reaksi yang beragam, baik dari masyarakat maupun investor. Bagi pemerintah, ini adalah mimpi indah transformasi ekonomi. Namun, bagi rakyat dan investor, skeptisisme dan kekhawatiran menjadi dominan, menjadikannya sebagai mimpi buruk yang penuh ketidakpastian.
Masyarakat bersikap skeptis karena telah berkali-kali dikecewakan oleh kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik. Selain itu, proses awal pembentukan Danantara dinilai terburu-buru dan kurang transparan, yang semakin memperkuat rasa ketidakpercayaan. Jika pemerintah ingin mendapatkan dukungan luas, skeptisisme ini harus dipandang sebagai momentum untuk melakukan perbaikan. Keterbukaan dalam komunikasi publik dan transparansi dalam setiap langkah implementasi menjadi faktor penting dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap Danantara.
Dari sisi investor, respons terhadap Danantara juga cenderung negatif. Salah satu indikator utama adalah kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang dalam satu tahun terakhir turun 14,29%, terburuk dibandingkan indeks utama di Asia. Saham-saham BUMN bahkan mengalami penurunan lebih tajam dibandingkan IHSG, seperti Wijaya Karya (-55,46%), Semen Indonesia (-43,03%), dan Bank BTN (-40,14%). Salah satu penyebab utama adalah kekhawatiran bahwa Danantara akan lebih berorientasi pada pengembangan (development-oriented) daripada keuntungan (profit-oriented), yang bertolak belakang dengan ekspektasi investor asing yang mencari keuntungan maksimal. Investor global umumnya mencari kejelasan dalam struktur bisnis, tingkat pengembalian investasi yang jelas, serta kepastian hukum dalam berinvestasi. Tanpa adanya perbaikan dalam aspek ini, sulit bagi Danantara untuk menarik minat investor besar yang dapat memberikan stabilitas keuangan bagi holding ini.
Dalam konsepnya, Danantara disebut-sebut ingin meniru model Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia). Namun, realitas menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Struktur bisnis Danantara mencakup baik fungsi sovereign wealth fund (SWF) maupun holding BUMN, menjadikannya lebih luas dan lebih sulit dikelola dibandingkan pendahulunya dari negara lain. Iklim bisnis di Indonesia juga tidak sefleksibel di Singapura atau Malaysia, sehingga menyalin model yang sudah ada tanpa penyesuaian hanya akan menimbulkan masalah baru. Regulasi yang berbelit dan kurangnya harmonisasi kebijakan antara berbagai lembaga pemerintah dapat memperlambat eksekusi strategi bisnis Danantara. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah, regulator, dan pelaku usaha untuk menciptakan ekosistem yang lebih kondusif bagi operasional holding ini.
Salah satu perubahan utama yang harus dilakukan adalah pergeseran dari mentalitas birokrasi ke mentalitas korporasi. Keputusan bisnis harus diambil berdasarkan prinsip efisiensi dan profitabilitas, bukan sekadar mengikuti prosedur administratif yang bertele-tele. Prinsip ini telah diterapkan dengan sukses di Temasek dan Khazanah, di mana kerugian perusahaan tidak lagi dianggap sebagai kerugian negara, melainkan sebagai risiko bisnis yang harus dikelola dengan baik. Namun, untuk mencapai hal ini, Danantara perlu memiliki mekanisme manajemen risiko yang kuat serta kebijakan keuangan yang fleksibel agar dapat beradaptasi dengan perubahan pasar.
Namun, dalam implementasinya, ada beberapa risiko besar yang harus diwaspadai. Berbagai isu utama yang menjadi sumber ketidakpercayaan terhadap Danantara meliputi:
Apakah Danantara bertujuan untuk mencari keuntungan atau menjalankan proyek pembangunan? Jika tujuan tidak jelas, maka sulit bagi publik dan investor untuk memahami arah dan strategi yang akan diambil.
Tata kelola perusahaan (GCG) yang lemah – Manajemen yang tidak transparan dan sulit dipertanggungjawabkan dapat menjadi hambatan utama dalam pengelolaan holding ini.
Kebijakan teknokratis yang tidak solid – Regulasi yang dibuat tanpa kajian akademis yang kuat dapat menyebabkan ketidakpastian dalam implementasi strategi jangka panjang.
Kesenjangan antara visi besar dan realitas fiskal – Target ambisius yang tidak didukung oleh kapasitas keuangan dan implementasi yang realistis dapat menimbulkan masalah keberlanjutan di masa depan.
Untuk mengatasi berbagai kekhawatiran ini, diperlukan sejumlah solusi utama yang dapat memperbaiki fondasi Danantara:
Memisahkan agenda investasi – Danantara harus memiliki klaster yang jelas antara profit motive dan development motive agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengelolaan aset. Pemisahan yang jelas antara investasi komersial dan proyek pembangunan akan membantu menentukan strategi yang lebih tepat guna.
Meningkatkan tata kelola perusahaan – Danantara harus menerapkan standar GCG terbaik dengan sistem audit internal dan eksternal yang ketat. Pengawasan yang kuat akan membantu mencegah penyalahgunaan wewenang dan meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dana publik.
Meningkatkan profesionalisme manajemen – Perekrutan pimpinan harus dilakukan melalui headhunter internasional dengan Key Performance Indicator (KPI) yang jelas dan tegas. Setiap pemimpin harus memiliki rekam jejak yang kuat dalam industri masing-masing agar dapat memberikan kontribusi maksimal.
Memperkuat kajian akademis sebelum membuat kebijakan – Setiap regulasi harus didasarkan pada riset yang mendalam dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dengan pendekatan berbasis data, kebijakan yang dibuat akan lebih akurat dan sesuai dengan kebutuhan industri.
Untuk menghindari narasi bombastis yang tidak realistis, komunikasi publik harus berbasis data dan fakta, bukan sekadar janji besar yang sulit diwujudkan. Kepercayaan masyarakat hanya dapat dibangun dengan transparansi dan keterbukaan dalam penyampaian informasi.
Jika solusi ini diterapkan dengan baik, Danantara memiliki peluang besar untuk sukses. Transformasi dari distrust menjadi trust adalah kunci utama agar inisiatif ini tidak hanya menjadi proyek ambisius tanpa hasil nyata. Dengan strategi yang tepat, Danantara dapat menjadi kekuatan baru yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Namun, jika tidak dikelola dengan hati-hati, inisiatif ini berisiko menjadi beban baru yang justru memperburuk kondisi ekonomi dan kepercayaan publik terhadap BUMN. Keberhasilan Danantara tidak hanya bergantung pada strategi bisnis yang diterapkan, tetapi juga pada bagaimana eksekusi dan pengawasan terhadap setiap kebijakan dapat dilakukan dengan transparan dan profesional. Jika semua faktor ini dapat dijalankan dengan baik, maka Danantara berpotensi menjadi model baru dalam pengelolaan aset negara yang lebih efisien, modern, dan berdaya saing tinggi.