(Vibizmedia-Kolom) Jakarta merupakan kota dengan ekosistem ritel yang sangat berkembang. Dengan lebih dari 120 pusat perbelanjaan yang tersebar di seluruh wilayahnya, Jakarta menjadi destinasi utama bagi aktivitas perdagangan, hiburan, dan gaya hidup. Pusat perbelanjaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat belanja, tetapi juga sebagai pusat hiburan dan ruang sosial bagi masyarakat urban. Namun, di tengah perubahan pola konsumsi masyarakat serta kondisi ekonomi yang sedang tidak menentu, bagaimana prospek mal di Jakarta ke depan? Apakah tren digitalisasi dan pergeseran gaya hidup akan mempercepat penurunan fungsi mal konvensional, atau justru membuka peluang bagi mal yang mampu beradaptasi?
Persebaran Mal dan Populasi
Distribusi mal di Jakarta tidak merata. Jakarta Selatan dan Pusat memiliki jumlah mal yang lebih banyak dibanding wilayah lain. Hal ini mencerminkan daya beli masyarakatnya yang lebih tinggi dan keberadaan kawasan bisnis yang aktif. Sebaliknya, Jakarta Timur dan Barat memiliki jumlah mal yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduknya, yang menunjukkan potensi pasar yang belum tergarap secara maksimal.
Sebagai ilustrasi, berikut adalah perbandingan jumlah mal dengan populasi di masing-masing wilayah:
Wilayah | Jumlah Mal | Jumlah Penduduk (jiwa) | Penduduk per Mal |
---|---|---|---|
Jakarta Selatan | 38 | 2.250.000 | 59.210 |
Jakarta Pusat | 22 | 1.120.000 | 50.909 |
Jakarta Timur | 22 | 2.950.000 | 134.090 |
Jakarta Utara | 22 | 1.820.000 | 82.727 |
Jakarta Barat | 16 | 2.450.000 | 153.125 |
Total Jakarta | 120 | 10.590.000 | 88.250 |
Wilayah dengan jumlah penduduk besar seperti Jakarta Timur dan Barat masih memiliki lebih sedikit pusat perbelanjaan dibandingkan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini menunjukkan adanya peluang ekspansi bagi pengembang yang ingin membangun konsep mal baru yang lebih sesuai dengan preferensi dan daya beli masyarakat setempat.
Kondisi Ekonomi yang Tidak Stabil
Laporan LPEM Economic Expert Survey – Semester I 2025 menunjukkan bahwa mayoritas ahli ekonomi menilai kondisi perekonomian Indonesia sedang memburuk. Sekitar 55% ahli menyatakan bahwa kondisi ekonomi lebih buruk dibandingkan tiga bulan sebelumnya, sementara hanya satu ahli yang melihat adanya perbaikan. Mayoritas ahli juga memprediksi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dalam waktu dekat, menunjukkan adanya perlambatan aktivitas ekonomi yang berisiko menekan daya beli masyarakat.
Survei ini juga menunjukkan bahwa inflasi saat ini relatif stabil, namun diperkirakan akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan. Jika inflasi naik, harga barang dan jasa, termasuk di sektor ritel, dapat meningkat, sehingga berpotensi mengurangi daya beli masyarakat. Selain itu, kondisi pasar tenaga kerja juga menunjukkan pelemahan dengan semakin terbatasnya kesempatan kerja, yang dapat berdampak langsung pada pengeluaran rumah tangga dan konsumsi di pusat perbelanjaan. Dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tidak bertambah, masyarakat cenderung lebih berhati-hati dalam melakukan pembelanjaan, yang bisa berdampak pada penurunan jumlah kunjungan ke mal.
Lingkungan bisnis yang memburuk menjadi faktor lain yang patut diperhitungkan. Sebanyak 57% ahli menilai bahwa kondisi bisnis saat ini lebih buruk dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ketidakpastian dalam investasi dan lesunya aktivitas usaha dapat berdampak pada operasional mal, terutama bagi mal yang sudah mengalami penurunan pengunjung sejak pandemi. Jika kondisi ini berlanjut, maka akan semakin banyak tenant yang kesulitan bertahan dan memilih keluar dari mal, menciptakan efek domino yang bisa semakin memperburuk ekosistem ritel.
Mal yang Berisiko Sepi PengunjungÂ
Beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta mengalami penurunan jumlah pengunjung karena berbagai faktor ekonomi dan perubahan pola konsumsi. Berdasarkan laporan dari Detik Finance (2023) dan Bisnis.com (2023), Plaza Semanggi yang dulu ramai kini mengalami banyak tenant yang tutup. Namun, setelah transformasi dan rebranding menjadi Lippo Mall Nusantara (LMN) pada Februari 2025, pusat perbelanjaan ini mengalami peningkatan jumlah pengunjung. Pantauan CNBC Indonesia menunjukkan bahwa area food court di lantai LG menjadi lokasi yang paling ramai, menawarkan sekitar 200 menu makanan khas Nusantara. Pembaruan fasad dan interior yang lebih modern serta rebranding dengan konsep Nusantara turut berkontribusi dalam menarik lebih banyak pengunjung.
Ratu Plaza juga mengalami penurunan pengunjung sejak pandemi, diperburuk dengan kurangnya inovasi dalam konsepnya. Di sisi lain, Mal Blok M menghadapi persaingan ketat dengan area yang lebih modern, menyebabkan mal ini kehilangan daya tariknya. Mal Taman Anggrek, yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, juga menghadapi tantangan akibat persaingan ketat dari mal-mal baru (AyoJakarta, 2023).
Selain itu, beberapa mal di Jakarta terancam mangkrak akibat rendahnya okupansi dan lemahnya daya tarik bagi investor. Contoh kasus seperti Mal Plaza Atrium dan EX Plaza Indonesia menunjukkan bagaimana perubahan tren belanja dan kegagalan dalam rebranding dapat menyebabkan mal kehilangan fungsinya. Mal yang gagal menarik tenant baru cenderung mengalami siklus negatif di mana semakin sedikit toko yang buka, semakin sedikit pula pengunjung yang datang, hingga akhirnya mal tersebut tutup secara permanen atau dialihfungsikan. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada ekonomi lokal, tetapi juga menyebabkan degradasi lingkungan dan terbengkalainya properti yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara produktif.
Solusi mall as a lifestyle hub
Agar tetap relevan, pengelola mal harus melakukan berbagai langkah strategis. Salah satu cara yang paling efektif adalah mengubah fungsi mal menjadi ruang multifungsi, seperti coworking space, pusat kebugaran, atau area hiburan interaktif. Beberapa mal di Jakarta telah berhasil menerapkan konsep mall as a lifestyle hub, dengan menghadirkan lebih banyak restoran, pusat kebugaran, dan ruang komunitas dibanding toko ritel tradisional.
Selain itu, investasi dalam teknologi juga menjadi solusi penting. Integrasi sistem belanja online dengan pengalaman fisik di dalam mal, seperti click-and-collect atau layanan drive-thru, dapat meningkatkan keterlibatan konsumen. Penggunaan teknologi digital dalam navigasi mal dan sistem pembayaran yang seamless juga dapat membuat pengalaman berbelanja lebih nyaman dan modern.
Pemerintah dan pengembang properti juga bisa berkolaborasi untuk menyelamatkan mal yang mangkrak dengan mengubahnya menjadi pusat edukasi, pusat inovasi startup, atau bahkan area residensial vertikal. Dengan pemanfaatan yang lebih adaptif, mal-mal yang sebelumnya kehilangan daya tarik dapat kembali memiliki nilai bagi masyarakat sekitar.
Di beberapa negara, konsep adaptive reuse telah diterapkan untuk menghidupkan kembali properti yang tidak lagi digunakan sebagai pusat perbelanjaan. Misalnya, beberapa mal di Amerika Serikat telah dikonversi menjadi kampus universitas, pusat kesehatan, atau bahkan kompleks apartemen dengan fasilitas ritel di lantai bawah. Jika strategi ini diterapkan di Jakarta, mal yang sebelumnya mangkrak bisa mendapatkan fungsi baru yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Prospek mal di Jakarta masih cukup menjanjikan, tetapi tantangannya semakin besar. Jakarta Selatan dan Pusat tetap menjadi destinasi utama untuk mal kelas atas, sementara Jakarta Timur dan Barat menawarkan peluang bagi pengembang yang ingin mengisi kesenjangan pasar. Namun, jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen dan kondisi ekonomi yang kurang kondusif, mal-mal berisiko mengalami penurunan pengunjung lebih lanjut, bahkan berakhir mangkrak.
Oleh karena itu, inovasi, diversifikasi fungsi, dan pemanfaatan teknologi menjadi kunci utama agar pusat perbelanjaan tetap relevan di era digital dan persaingan yang semakin ketat. Dengan pendekatan yang tepat, mal masih bisa menjadi pusat kehidupan sosial yang menarik dan berkelanjutan bagi masyarakat urban Jakarta.