(Vibizmedia-Kolom) Kabar besar pagi ini di Amerika datang dari China yang mengumumkan tarif baru sebesar 84 persen atas barang-barang asal Amerika Serikat. Ini merupakan langkah balasan terhadap tarif resiprokal Presiden Trump yang baru diberlakukan tengah malam tadi, termasuk tarif 104 persen atas barang-barang asal China. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, hadir memberikan pandangannya.
Menurut Bessent, sangat disayangkan bahwa China enggan untuk duduk dan bernegosiasi. Ia menyebut bahwa China merupakan pelanggar terbesar dalam sistem perdagangan internasional, dengan ketidakseimbangan ekonomi terbesar dalam sejarah dunia modern. Ia menegaskan bahwa langkah eskalasi ini tidak menguntungkan bagi pihak China. Ia menyebut bahwa para ekonom, akademisi, dan teknokrat pintar di dalam birokrasi China pasti memahami bahwa mereka tidak memiliki keunggulan dalam situasi ini. China adalah negara dengan surplus perdagangan besar, di mana ekspor mereka ke AS lima kali lebih besar dibandingkan ekspor AS ke China. Jadi, menaikkan tarif oleh China, menurut Bessent, tidak akan banyak berpengaruh.
Disampaikan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika membutuhkan waktu dan ruang untuk memindahkan rantai pasok mereka ke dalam negeri. Meski China adalah musuh utama dalam perang dingin ini, ketergantungan ekonomi masih sangat kuat. Ada kekhawatiran akan dampak jangka pendek terhadap Amerika Serikat akibat tarif-tarif ini.
Menanggapi hal itu, Bessent mengakui bahwa dalam perang tidak ada pemenang, tetapi soal proporsionalitas. Dan bagi China, dampaknya jauh lebih buruk. Ia juga menyoroti isu fentanyl. Menurutnya, langkah awal yang baik dari China adalah mengakui bahwa bahan baku fentanyl berasal dari negara mereka dan kemudian masuk ke Amerika Utara. Setiap tahun, lebih dari 100.000 warga AS meninggal akibat fentanyl, padahal distribusi narkoba di China dapat dihukum mati. Ia mempertanyakan mengapa standar yang sama tidak diterapkan kepada para eksportir bahan kimia tersebut.
Dipertanyakan pula apakah tujuan tarif ini masih terkait fentanyl, ataukah menjadi alat untuk mengembalikan rantai pasok ke dalam negeri, ataukah hanya untuk meningkatkan pendapatan negara. Disebutkan bahwa pelaku bisnis sebelumnya sangat antusias dengan agenda Trump yaitu deregulasi, eksplorasi energi, dan pemotongan pajak. Namun dengan melonjaknya tarif, arah kebijakan tampak berubah.
Bessent menjawab bahwa semua alasan tersebut benar. Presiden Trump terpilih dengan mandat jelas. Ia telah menutup perbatasan, menjalankan deportasi besar-besaran terhadap kriminal dan pendatang yang melebihi izin tinggal, dan kini menangani agenda perdagangan. Ini tidak dilakukan secara terpisah. Ada proses paralel yang berjalan, tarif, pajak, dan dukungan dari para pemimpin partai. Bessent menyebut kerja sama dengan Ketua DPR Mike Johnson, Senator Thune, Senator Crapo, dan lainnya berjalan sangat baik.
Ia juga menegaskan bahwa negara-negara sahabat seperti Jepang, Korea Selatan, India, dan Vietnam telah merespons positif dan bersedia duduk di meja perundingan. Bahkan, China kini dikelilingi oleh negara-negara yang siap bekerja sama dengan Amerika Serikat. Ia menambahkan bahwa seorang pejabat Spanyol mengatakan bahwa mungkin Eropa seharusnya lebih memilih China ketimbang Amerika. Menanggapi itu, Bessent memperingatkan bahwa langkah tersebut akan merugikan Eropa. Karena saat tembok tarif diberlakukan, model bisnis China yang bertumpu pada ekspor barang murah dan disubsidi akan mengalir deras ke Eropa. Artinya, Eropa akan kewalahan.
Amerika, menurut Bessent, sedang mencoba menyeimbangkan ekonominya ke arah manufaktur, dan China harus menyeimbangkan ekonominya ke arah konsumsi. Jika kedua pihak dapat mencapai titik ini, maka kerja sama masih mungkin dilakukan—tentu dengan syarat bahwa China harus mengakui dan mengatasi masalah fentanyl serta menghentikan praktik ekonomi merkantilis.
Ketika ditanya soal dampak tarif 104 persen terhadap ekonomi China, Bessent mengatakan bahwa ekonomi mereka sebenarnya sudah berada dalam kondisi resesi atau bahkan depresi akibat krisis properti yang telah berlangsung bertahun-tahun. Dengan beban tambahan tarif, kondisi mereka akan berubah dari buruk menjadi sangat buruk. Ia memperingatkan agar China tidak mencoba keluar dari krisis dengan cara melemahkan mata uang mereka. Jika itu dilakukan, maka negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam akan ikut menaikkan tarif untuk menyesuaikan nilai tukar. Devaluasi oleh China akan menjadi semacam pajak terhadap seluruh dunia, dan seluruh dunia akan merespons.
Lalu muncul pertanyaan sejauh mana Amerika bersedia melangkah dalam “perang dingin” ini. Disebutkan bahwa saham-saham perusahaan China masih diperdagangkan di bursa saham Amerika dan mengundang investasi dari investor AS yang secara tidak langsung membantu membiayai militer China. Apakah Amerika siap mencabut saham-saham China dari bursa?
Bessent menjawab bahwa semua opsi ada di atas meja. Pemerintah sedang mengembangkan kontrol ekspor atas barang-barang bernilai tinggi yang berkaitan dengan keamanan nasional, serta sedang membahas kontrol terhadap arus modal—termasuk daftar hitam investasi untuk dana pensiun, yayasan, dan investor lain agar tidak ikut mendanai mesin militer China. Namun, ia menambahkan bahwa keputusan akhir ada di tangan Presiden Trump. Ia percaya bahwa Trump dan Presiden Xi memiliki hubungan pribadi yang baik, dan ia yakin bahwa penyelesaian bisa dicapai di level tertinggi.
Pembahasan kemudian beralih ke isu pajak. Disebutkan bahwa Presiden Trump sedang mencoba membangun konsensus untuk memperpanjang pemotongan pajak. Ia bertemu dengan para anggota Partai Republik yang belum mendukung RUU tersebut, dan beberapa suara “tidak” telah berubah menjadi “ya.” Ketua Kaukus Kebebasan DPR, Andy Harris, bahkan terbuka terhadap pembuatan golongan pajak 40 persen untuk penghasilan di atas $1 juta. Apakah ini berarti pemerintah akan menaikkan pajak bagi orang kaya demi mengesahkan pemotongan pajak untuk kelas menengah seperti pembebasan pajak atas uang tip?
Bessent menjawab bahwa negosiasi berjalan cepat, namun ia tidak ingin membahas detail isi RUU secara publik. Ia memuji kerja keras para legislator seperti Speaker Johnson dan Senator Crapo, serta menyebut bahwa DPR sudah bekerja atas RUU ini selama hampir satu tahun. Presiden Trump juga mulai ikut serta langsung dan memberikan arah kebijakan yang ia inginkan. Bessent menyebut bahwa Trump sangat persuasif, terutama saat berbicara langsung dengan anggota Partai Republik.
Ketika ditanya apa yang menjadi target kemenangan dalam beberapa minggu ke depan, Bessent menjawab bahwa keberhasilan berarti adanya kesatuan gerak untuk mengesahkan RUU sesegera mungkin. Ia juga mengingatkan bahwa dalam mekanisme rekonsiliasi, pemerintah akan mengatasi masalah plafon utang negara. Ia menegaskan bahwa Amerika tidak akan kehabisan uang, tetapi jika tidak ada kesepakatan pada bulan Juni, maka akan mendekati “warning track”—istilah dalam bisbol saat pemain nyaris menabrak dinding.
Kemudian ditanyakan soal rencana cadangan. Dalam waktu seminggu, nilai pasar merosot $6 triliun, para CEO mulai enggan memberi proyeksi tahun 2025, dan aktivitas korporat seperti IPO dan M&A mulai terhenti. Seorang CEO bahkan mengatakan bahwa ia mulai memotong belanja modal dan perjalanan bisnis agar tidak harus memotong tenaga kerja. Apa yang bisa dilakukan pemerintah dalam situasi seperti ini?
Baca juga : KINERJA WALGREENS MENGUAT BERKAT LONJAKAN PENJUALAN FARMASI AS
Bessent menjawab bahwa dalam beberapa bulan ke depan, para CEO tidak perlu lagi berbicara dengan nada pesimis. Amerika telah membuka proses negosiasi dagang secara khusus dengan tiap negara. Ia menyebut pertemuan dengan delegasi Vietnam, Jepang, Korea Selatan, India, dan Inggris akan membawa kepastian lebih besar bagi pelaku pasar. Namun yang paling memberikan kepastian, katanya, adalah pengesahan RUU pajak.
Ia juga mengatakan bahwa pasar saat ini sedang mengalami “deleveraging issue“—yakni kondisi di mana pelaku pasar besar di sektor obligasi mengalami kerugian dan dipaksa mengurangi eksposur risiko. Ini, menurut Bessent, bukan hal sistemik, tetapi bagian dari siklus pasar. Ia percaya pasar akan tenang kembali setelah proses ini mereda.
Terakhir, ia menyebut bahwa deregulasi keuangan yang sedang didorong akan menjadi kekuatan besar dalam waktu dekat. Salah satu perubahan penting adalah pelonggaran rasio leverage tambahan (supplementary leverage ratio), yang akan memungkinkan bank membeli lebih banyak surat utang negara tanpa beban modal besar. Ini berarti pembeli baru untuk obligasi pemerintah akan muncul.
Terkait isu kemungkinan China menjual obligasi AS untuk menekan pasar, Bessent menyatakan bahwa langkah itu justru merugikan China sendiri. Menjual dolar berarti memperkuat mata uang mereka, padahal saat ini mereka sedang mencoba melemahkan mata uang. Jadi, jika mereka menjual obligasi, mereka akan melawan kepentingan mereka sendiri.
Dengan semua pernyataan ini, Bessent menyatakan bahwa Amerika siap menghadapi tekanan dari China dengan strategi menyeluruh—mulai dari tarif, pajak, deregulasi, hingga kontrol ekspor dan investasi. Namun jalan penyelesaian tetap terbuka, asalkan China bersedia mengakui masalah dan menghentikan praktik ekonomi yang merugikan global.