Meutya Hafid di Dubai: Masa Depan AI Harus Menjadi Milik Semua Bangsa, Bukan Hanya Segelintir Negara

0
183

(Vibizmedia – Dubai) Dalam forum teknologi global “Machines Can See 2025” yang berlangsung di Dubai, Menteri Komunikasi dan Digital RI, Meutya Hafid, menyampaikan pesan bahwa masa depan kecerdasan buatan (AI) seharusnya bukan menjadi hak eksklusif beberapa negara, melainkan warisan bersama umat manusia. Dalam sesi panel berjudul “Wanted: AI to Retain and Attract Talents to the Country,” Meutya menekankan pentingnya membangun ekosistem AI yang etis, inklusif, dan mencerminkan keberagaman dunia.

Meutya menjelaskan bahwa Indonesia berada dalam posisi yang sangat strategis, baik dari segi demografi, digital, dan geopolitik, dengan lebih dari 212 juta pengguna internet aktif dan menjadi negara berpenduduk keempat terbesar di dunia. Ia menegaskan komitmen Indonesia untuk menjadi pemain aktif dalam membentuk masa depan teknologi global.

Dalam kesempatan tersebut, Meutya juga menggarisbawahi kesamaan pendekatan yang dibangun Indonesia dengan negara-negara BRICS untuk menciptakan ekosistem AI yang bertanggung jawab, termasuk kesetaraan akses, penguatan perspektif global selatan, dan pemanfaatan AI untuk memecahkan masalah nyata masyarakat.

Selain itu, Meutya menyampaikan bahwa pendidikan, ketahanan pangan, dan layanan publik menjadi prioritas utama dalam kebijakan pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah telah mengembangkan aplikasi AI untuk ketahanan pangan, sistem perlindungan sosial yang akan diluncurkan pada Agustus 2025, serta layanan pemeriksaan kesehatan gratis sebagai bagian dari upaya memperbaiki layanan publik. Pemerintah juga menyiapkan pelatihan untuk sembilan juta talenta digital pada 2030.

Tantangan besar terkait infrastruktur digital juga menjadi sorotan, terutama dalam menghubungkan 17.000 pulau Indonesia secara merata. Meutya menyebutkan langkah-langkah yang sedang dilakukan untuk memperluas jaringan serat optik dan kabel bawah laut, serta pengembangan pusat data nasional untuk mendukung integrasi AI yang optimal.

Isu diaspora digital juga dibahas, dengan Meutya menyebutkan bahwa sekitar delapan juta warga negara Indonesia tinggal di luar negeri, termasuk sejumlah orang yang bekerja di Silicon Valley. Meski demikian, Indonesia masih melihat mereka sebagai bagian dari kekuatan nasional dan lebih memilih menyebutnya sebagai “brain link” ketimbang “brain drain.”

Sebagai bagian dari semangat inklusivitas, Indonesia juga membangun pusat keunggulan AI di beberapa kota, termasuk Bandung, Surabaya, dan Papua, untuk menunjukkan bahwa AI adalah milik seluruh masyarakat Indonesia.

Forum ini menjadi ajang bagi Indonesia untuk menegaskan bahwa masa depan AI harus dibangun bersama, dengan dasar keadilan, akses, dan keberagaman.