(Vibizmedia-Kolom) Sejak awal bulan ini, Presiden Jokowi minta jajarannya percepat tiga inovasi buatan lokal yang punya manfaat bagi masyarakat dan negara, diantaranya katalis yang mengubah minyak inti sawit menjadi bahan bakar, kita mengenalnya sebagai biodiesel, kedua, industri garam dan produksi drone kombatan elang hitam.
Tidak main-main, inovasi ini disebut Presiden sebagai super prioritas, satu diantaranya, yang mau dibahas adalah katalis. Bagi sebagian besar orang, ini barang awam, karena mungkin saja baru mendengarnya. Jadi sebenarnya apa sih katalis itu? Katalis berupa zat mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri, dapat dikatakan katalis berperan dalam reaksi, tetapi bukan sebagai pereaksi ataupun produk.
Biodiesel sendiri hasil proses transesterifikasi minyak nabati atau lemak hewan yang direaksikan dengan senyawa alkohol seperti metanol. Dengan bantuan katalis, minyak nabati tersebut memiliki kandungan trigliserida, jika disederhanakan menjadi methyl esters monogliserida. Senyawa methyl esters inilah dikenal sebagai biodiesel murni atau biasa disebut dengan Fatty Acid Methyl Esters (FAME).
Saat ini, industri kimia dalam negeri masih membutuhkan katalis impor untuk mempercepat reaksi kimia. Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Heru Setiawan mengatakan, hingga kini Indonesia masih mengimpor katalis untuk industri di dalam negeri dengan nilai hingga 500 juta dolar Amerika per tahun.
Bangun Pabrik Tekan Impor Katalis
Pertamina pun berupaya menekan impor bahan baku dengan mengembangkan pabrik katalis. Pada 10 Desember 2019 Pertamina menandatangani Joint Venture Framework Agreement pengembangan pabrik katalis bersama PT Pupuk Kujang dan Institut Teknologi Bandung (ITB) di Executive Lounge Kantor Pusat Pertamina.
Perlu diketahui, Indonesia masih harus mengimpor minyak mentah sekitar 360 ribu barel per hari (bph) dan produk BBM sekitar 400 ribu bph.
Dengan memiliki pabrik katalis sendiri, Indonesia bisa mandiri dalam bidang teknologi proses dan menciptakan ketahanan energi, salah satunya melalui pengembangan energi terbarukan melalui minyak kelapa sawit.
Sementara data lainnya, perkiraan kebutuhan dunia akan katalis mencapai 21 miliar dolar Amerika , namun dari penggunaan katalis itu bisa mencapai 11-15 triliun dolar Amerika.
Roadmap Katalis Merah Putih
Pada tahun 1982, Prof. Subagjo bersama Prof. Sudarno, melakukan pengembangan katalis dari sisa pabrik minyak goreng, dengan menggunakan katalis zeolit, bahan sisa tersebut dapat dikonversi menjadi BBM terutama bensin. Tetapi kembali para peneliti ITB harus menerima kegagalan, proposal untuk pembuatan katalis, ditolak industri karena dinilai tidak menguntungkan secara ekonomi.
Hingga tahun 2010, bersama research and development PT. Pertamina, katalis tersebut diuji coba kembali menggunakan reaktor skala pilot, dan kemudian dinyatakan memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan katalis komersial. Katalis ini kemudian diberi nama PITN 100-2T, katalis Pertamina-ITB, yang kemudian dinamakan katalis merah putih, pertama di Indonesia.
Setelah menjalani pengujian selama 1 tahun, pada tahun 2012, katalis merah putih dinyatakan memiliki kinerja lebih baik dan lebih stabil dibandingkan katalis impor, sehingga PT Pertamina memutuskan selalu menggunakan katalis hasil pengembangan kerjasama ITB dengan Pertamina untuk proses hydrotreating, baik untuk nafta, kerosin, maupun diesel.
Inovasi teknologi katalis buatan Institut Teknologi Bandung (ITB) diklaim mampu menghemat biaya produksi bahan bakar minyak jenis diesel sekitar Rp25 triliun per tahun. Pemerintah tak lagi harus mendatangkan katalis dari luar negeri agar bisa mensubstitusi minyak mentah dengan minyak sawit untuk membuat BBM, sebab 10% kebutuhan minyak mentah bahan baku BBM bisa disubtitusi oleh minyak sawit.
Indonesia memiliki banyak pakar dan ahli yang tersebar di universitas negeri maupun swasta seperti Prof. Subagjo. Untuk itu, perlu dukungan penuh pemerintah, juga peran BUMN dan swasta dalam memberikan investasi dana riset dan pelatihan riset SDM dalam pengembangan katalis. Sebab, pengembangan IPTEK menjadi kunci terwujudnya SDM unggul sesuai dengan visi dan misi presiden dalam pembangunan manusia. Selain bantuan finansial, dukungan pemerintah untuk mendukung proyek-proyek riset agar dapat diaplikasikan dan bermanfaat untuk masyarakat banyak dan menyehatkan neraca perdagangan Indonesia.