Mengapa Ekonomi Inggris Menuju Resesi?

0
1649
Oxford Street, London, Inggris
Oxford Street, London, on Thursday (8/11/2022). Photo taken by: Bernhard Sumbayak/ Vibizmedia

(Vibizmedia – Kolom) Bank of England pada Kamis, 4 Agustus 2022 melakukan tindakan menaikkan suku bunga 50 basis point, kenaikan tertinggi sejak 1995. Suku bunga naik menjadi 1.75% untuk memperketat likuiditas dalam upaya mengendalikan inflasi yang diperkirakan bisa mencapai 13,3%, jauh di atas target 2%. Ekonomi Inggris (UK) cenderung merosot menuju resesi, dan kondisi ini bahkan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa. 

harga bensin
Ilustrasi perbandingan harga besin di Inggris dan Indonesia, London, 10 August 2022. Harga Unleaded (bensin) 171.9 p/Litre = Rp 30.600/liter, Diesel (solar) 183.9 p/Litre = Rp 32.409/liter, dibanding harga DKI Jakarta, Pertalite (bensin) Rp 7.650/liter, Biodiesel (solar) Rp 5.150/liter, 10/8/2022) (Foto: Kristanto/ Vibizmedia)

Hantaman Ekonomi

Secara berturut-turut terjadi hantaman pada ekonomi UK karena berbagai sebab:

  1. Brexit
  2. Pandemi Covid-19
  3. Rusaknya rantai pasokan global (supply chain)
  4. Melonjaknya harga pangan dan energy global
  5. Perang Ukraina – Russia

Dampak Brexit

Ekonomi Inggris jatuh di bawah UE (Uni Eropa) sejak memutuskan untuk Brexit, GDP per capita Inggris hanya tumbuh 3.8%, sedang UE tumbuh 8.5% sejak referendum 23 Juni 2016.

UK semakin tertinggal sejak secara formal menyatakan meninggalkan UE pada Januari 2020, dimana pada saat itu mulai pandemi Covid-19.

Akibat Pandemi ini baik UK dan EU terhantam ekonominya, tetapi pemulihan UE lebih kuat, pada akhir 2021 GDP per capita UK 0,2% di bawah kondisi sebelum pandemi, sebaliknya UE justru naik 1.5%.

Kalau kita lihat dari pertumbuhan ekonomi, maka ekonomi UK yang semula di pertumbuhannya di atas UE, setelah referendum merosot di bawah pertumbuhan UE.

Dampak Pandemi Covid-19

Dampak lockdown Pandemi Covid-19 membuat ekonomi UK terpuruk 19,8% antara April hingga Juni 2020, karena social distancing, pembatasan bepergian dan penutupan toko-toko.

Pengeluaran rumah tangga turun 20% pada periode tersebut, karena turunnya pengeluaran untuk restoran, hotel, transportasi dan wisata.

Rantai Pasokan (Supply Chain)

Gangguan pada rantai pasokan di UK cukup kompleks, yaitu karena kekurangan tenaga kerja, pembatasan perdagangan Brexit, dan gangguan yang sedang terjadi secara global, disertai dengan panic buying yang juga memperkeruh keadaan.

Kekurangan tenaga kerja membuat produksi dan pengiriman barang serta jasa terhambat, hal ini merembet pada rantai pasokan berikutnya.

Sektor yang sangat terpukul adalah makanan dan minuman, perhotelan, konstruksi, terjadi antara November 2021 hingga Januari 2022, sehingga lapangan kerja yang terbuka mencapai rekor tertinggi 1.298.400.

Pada Oktober 2021, kekurangan tenaga kerja pemotong dan pekerja peternakan babi menyebabkan ratusan babi harus dimusnahkan, masalah ini berlangsung hingga 2022.

Sektor transportasi juga kekurangan sopir 90.000 hingga 100.000 orang, sehingga pengiriman barang terganggu, maka terjadilah penumpukan barang-barang di gudang.

Harga Komoditas

Peningkatan harga komoditas memberi kontribusi signifikan pada inflasi Mei 2022, harga bensin dan solar meningkat masing-masing 30,4% dan 37,2%, dibanding periode yang sama tahun lalu.

Harga Komoditas
Ilustrasi Harga Komoditas (Foto: Kristanto / Vibizmedia)

Kontribusi kenaikan bahan bakar, gas dan listrik sangat dominan sehingga inflasi harga konsumen terus terdongkrak.

 

Apa yang sedang dihadapi oleh Inggris dalam ekonominya, bisa kita lihat:

 

Inflasi

UK menghadapi lonjakan inflasi dari hampir nol pada saat pandemi, menjadi 9.1% pada Mei 2022, diperkirakan bisa mencapai 13% pada Oktober  2022, karena harga energy masih terus melejit. Selama perang Ukraina – Rusia belum berakhir maka inflasi diperkirakan masih terus naik.

Dan rumah tangga menghadapi penurunan pendapatan riil selama dua tahun yang sangat menyakitkan, dengan upah yang diperkirakan tidak sanggup mengikuti kenaikan harga.

Suku Bunga

Bank of England pada hari Kamis, 4 Agustus 2022, menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin, kenaikan terbesar sejak 1995. Kenaikan suku bunga ini dilakukan dengan proyeksi ekonomi cenderung terus merosot sehingga bakal terjadi resesi terpanjang sejak krisis keuangan global.

Kenaikan keenam secara berturut-turut membuat biaya pinjaman naik menjadi 1,75% dan ini adalah kenaikan setengah poin pertama sejak Bank of England dibuat independen dari pemerintah Inggris pada tahun 1997.

 

Neraca Perdagangan

Inggris umumnya mengimpor lebih banyak daripada mengekspor yang berarti mengalami defisit perdagangan. Defisit sebesar £156 miliar pada perdagangan barang diimbangi oleh surplus sebesar £127 miliar pada perdagangan jasa untuk tahun 2021. Defisit perdagangan keseluruhan adalah £29 miliar pada tahun 2021.

Inggris mengalami defisit perdagangan dengan UE (Uni Eropa) sebesar £32 miliar pada tahun 2021 dan surplus perdagangan sebesar £3 miliar dengan negara-negara non-UE.

Defisit perdagangan dengan semua negara melebar menjadi £31,4 miliar dalam tiga bulan hingga Mei 2022 dibandingkan dengan defisit £25,6 miliar dalam tiga bulan sebelumnya. Ekspor meningkat sebesar 6,8% dalam bentuk tunai selama periode ini sementara impor meningkat sebesar 9,0%.

Pertumbuhan Ekonomi

GDP Inggris diperkirakan turun 2,1% dari puncak ke titik terendahnya, mirip dengan kondisi resesi awal 90-an.

Bank of England memperkirakan bahwa pertumbuhan PDB triwulanan Inggris adalah 0,9% pada 2022 Q1.

Pertumbuhan melambat tajam yang mencerminkan dampak negatif yang signifikan dari kenaikan harga komoditas global dan barang-barang.

PDB diproyeksikan turun pada 2022 Q4, sebagian besar didorong oleh penurunan pendapatan riil rumah tangga, termasuk yang berasal dari proyeksi kenaikan sekitar 40% karena harga gas dan listrik ritel.

 

Apakah masalah ini hanya menerpa Inggris? Bagaimana dengan Indonesia?

Dari permasalahan ekonomi yang dihadapi Inggris, maka hanya problem yang berkaitan dengan Brexit adalah sangat unik buat Inggris, tetapi permasalahan lainnya adalah permasalahan global yang dihadapi oleh segala bangsa, termasuk Indonesia.

Akibat pandemi Covid-19, maka kita lihat bahwa negara yang melakukan lockdown seperti Inggris, harus menanggung kerugian yang cukup besar dari sisi ekonomi, sehingga pemulihannya juga perlu waktu yang panjang.

Sedang kerusakan rantai pasokan yang dialami internal Inggris terutama karena masalah kelangkaan tenaga kerja akibat pandemi. Hal ini perlu kita jadikan pelajaran bahwa melimpahnya tenaga kerja di Indonesia haruslah menjadi ketahanan ekonomi, dimana sektor-sektor strategis jangan sampai terjadi kelangkaan ketika terjadi goncangan ekonomi.

Lonjakan harga pangan global juga sangat menerpa Inggris, terutama negara yang pola makanan kalorinya gandum. Namun negara Indonesia yang kalorinya lebih pada beras haruslah selalu diperluas swasembada pangan dari pasokan lokal, karena trend dunia sudah menunjukkan kelangkaan ini bakal berlangsung tidak dalam waktu yang pendek.

Sedangkan lonjakan harga energi yang menghantam segala bangsa, juga telah memaksa pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan subsidi hingga Rp 507 triliun. Sehingga pasokan energi seperti biofuel dan batubara yang bisa dihasilkan dari dalam negeri, tetap harus menjadi alternatif untuk ketahanan ekonomi.

Keunggulan Indonesia pada kekuatan konsumsi domestik perlu dipertahankan dengan mengembangkan sektor informal. Karena sektor informal akan memberikan penghasilan pada masyarakat menengah ke bawah sehingga terus memiliki daya beli, selain itu pasokannya juga fleksibel.

Sebagai ekonomi terbuka, sangat perlu dijaga neraca perdagangan jangan terlalu defisit terutama pada impor kebutuhan pokok seperti pangan dan energi. Negara dengan ketergantungan impor pada dua kebutuhan pokok ini yang paling terguncang dengan kondisi global yang berlangsung sekarang ini.

Lihat: Mundurnya Boris Johnson dari Krisis Kepemimpinan di Inggris

Lihat: Kontraksi Bisnis Ritel Inggris Dilaporkan Menurun, Diredam oleh Penjualan Makanan