(Vibizmedia-Kolom) Hidrogen semakin mendapat perhatian sebagai energi alternatif yang menjanjikan, terutama dalam upaya dunia mencapai Net Zero. Sebagai elemen paling melimpah di alam semesta, hidrogen memiliki potensi besar sebagai sumber energi yang bersih dan efisien. Namun, apakah realitas pemanfaatannya sejalan dengan ekspektasi, atau justru tantangan yang ada terlalu besar untuk diatasi dalam waktu dekat?
Keunggulan Hidrogen dalam Transisi Energi
Hidrogen memiliki kepadatan energi yang tinggi dan hanya menghasilkan uap air saat digunakan sebagai bahan bakar, menjadikannya pilihan yang menarik untuk menggantikan bahan bakar fosil. Di sektor industri, hidrogen dapat mengurangi emisi dari proses yang sulit dihindari dengan elektrifikasi, seperti produksi baja dan semen.
Hidrogen dapat dimanfaatkan dalam berbagai bentuk. Dalam sektor transportasi, kendaraan berbasis sel bahan bakar hidrogen (FCV) menawarkan jangkauan yang lebih jauh dibanding kendaraan listrik baterai. Di sektor industri, hidrogen dapat menggantikan bahan bakar fosil dalam produksi baja, amonia, dan petrokimia. Sementara itu, dalam pembangkit listrik, hidrogen dapat digunakan sebagai penyimpanan energi jangka panjang untuk jaringan listrik berbasis energi terbarukan.
Selain itu, hidrogen dapat membantu dekarbonisasi di sektor penerbangan dan pelayaran. Pesawat dan kapal berbahan bakar hidrogen sedang dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Teknologi ini masih dalam tahap awal, tetapi dengan investasi dan penelitian lebih lanjut, penggunaan hidrogen dalam sektor-sektor ini dapat menjadi lebih umum dalam beberapa dekade mendatang.
Tantangan Besar dalam Produksi dan Distribusi
Meskipun menjanjikan, realisasi energi hidrogen masih menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah biaya produksi. Hidrogen dapat diproduksi melalui beberapa metode, yaitu hidrogen abu-abu yang dihasilkan dari gas alam tanpa penangkapan karbon, hidrogen biru yang menggunakan gas alam tetapi dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), serta hidrogen hijau yang dihasilkan melalui elektrolisis dengan energi terbarukan, yang menjadikannya paling ramah lingkungan tetapi juga paling mahal.
Selain itu, distribusi hidrogen juga menjadi tantangan karena memerlukan infrastruktur penyimpanan dan transportasi yang kompleks serta mahal. Faktor keamanan juga perlu diperhatikan mengingat sifat hidrogen yang mudah terbakar dan membutuhkan tekanan tinggi untuk penyimpanan. Pembangunan pipa distribusi hidrogen dan fasilitas penyimpanan masih terbatas, sehingga meningkatkan biaya implementasi teknologi ini.
Tantangan lainnya adalah efisiensi dalam penggunaan hidrogen. Proses elektrolisis air untuk menghasilkan hidrogen hijau membutuhkan listrik dalam jumlah besar, yang berarti bahwa hidrogen hanya akan seefisien sumber listrik yang digunakan. Jika energi yang digunakan berasal dari pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil, maka manfaat lingkungan dari hidrogen berkurang secara signifikan.
Investasi GlobalĀ
Pemerintah dan perusahaan besar di seluruh dunia mulai berinvestasi besar dalam ekosistem hidrogen. Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan telah mengembangkan strategi nasional mereka, sementara perusahaan energi seperti Aramco mulai menanamkan modal pada solusi hidrogen, termasuk proyek hidrogen biru dan teknologi penyimpanan amonia.
Aramco, misalnya, berinvestasi dalam pengembangan pusat penangkapan karbon terbesar serta menjajaki kerja sama dengan berbagai pihak untuk mempercepat adopsi hidrogen. Selain itu, perusahaan ini juga turut mendanai startup inovatif yang berfokus pada produksi hidrogen dan teknologi terkait. Inisiatif ini mencakup pengembangan teknologi hidrogen yang lebih efisien dan murah, serta eksplorasi berbagai metode produksi hidrogen yang dapat diterapkan secara komersial.
Beberapa negara juga telah menjalin kerja sama untuk membangun rantai pasokan hidrogen internasional. Negara-negara seperti Jepang dan Jerman telah menjalin kemitraan dengan negara-negara produsen hidrogen untuk memastikan pasokan yang stabil dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia telah mengembangkan Strategi Hidrogen Nasional untuk mendukung transisi energi menuju Net Zero Emission pada tahun 2060. Strategi ini berfokus pada tiga pilar utama, yaitu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk menjamin keamanan energi, mengembangkan pasar hidrogen domestik, dan mengekspor hidrogen serta turunannya ke pasar global.
Saat ini, konsumsi hidrogen di Indonesia mencapai sekitar 1,75 juta ton per tahun, terutama sebagai bahan baku industri pupuk, amonia, dan kilang minyak. Pengembangan hidrogen di Indonesia masih berada pada tahap penelitian dan proyek percontohan, dengan proyeksi pertumbuhan industri setelah tahun 2030. Penggunaan hidrogen diharapkan meluas ke sektor transportasi, pembangkit listrik, penyimpanan energi, dan dekarbonisasi sektor-sektor yang sulit diturunkan emisinya, seperti pengiriman, penerbangan, produksi baja, manufaktur, dan transportasi jarak jauh.
Baca juga : Masa Depan Truk Hidrogen di Tengah Tantangan Industri
Meskipun Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah untuk produksi hidrogen, dengan total potensi sekitar 3.689 GW, saat ini baru sekitar 0,3% yang telah dimanfaatkan. Perlu kebijakan lebih progresif untuk meningkatkan pemanfaatan ini dan mengembangkan infrastruktur yang mendukung ekosistem hidrogen.
Potensi Hidrogen dari Kekayaan Laut dan Hutan Indonesia
Sebagai negara kepulauan terbesar dengan luas lautan sekitar 5,8 juta km², Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan hidrogen berbasis energi laut. Energi gelombang laut, terutama di perairan selatan Indonesia seperti Yogyakarta, Cilacap, Jember, dan Bali, dapat dikonversi menjadi listrik yang digunakan untuk elektrolisis air guna menghasilkan hidrogen hijau. Selain itu, biomassa laut seperti rumput laut juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan yang berkontribusi pada produksi hidrogen.
Di sektor kehutanan, Indonesia memiliki hutan produksi yang luas, dengan sekitar 1,3 juta hektare yang dialokasikan untuk hutan tanaman energi. Biomassa dari limbah kayu dapat diolah melalui proses gasifikasi untuk menghasilkan gas sintesis yang mengandung hidrogen. Dengan teknologi yang tepat, pemanfaatan sumber daya ini dapat menjadi solusi berkelanjutan dalam produksi hidrogen hijau di Indonesia.
Baca juga : Indonesia Terus Melakukan Ekspansi Pada Sektor Mobil Listrik
Selain itu, di berbagai kabupaten dan kota, potensi hidrogen juga dapat dikembangkan sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Di Sumatera, provinsi seperti Riau dan Sumatera Utara memiliki biomassa yang melimpah untuk produksi hidrogen. Di Kalimantan, tenaga surya dapat dimanfaatkan untuk elektrolisis air. Sementara di Sulawesi, potensi angin dan panas bumi menjadi sumber energi yang menarik untuk produksi hidrogen hijau.
Pemerintah daerah perlu mengambil peran aktif dalam pengembangan hidrogen dengan mendorong investasi, membangun infrastruktur pendukung, serta melakukan riset dan pengembangan teknologi yang relevan dengan kondisi lokal masing-masing daerah.
Masa Depan Hidrogen
Hidrogen memiliki potensi besar dalam transisi energi, tetapi realisasi penggunaannya masih menghadapi berbagai tantangan teknis dan ekonomi. Di Indonesia, hidrogen bukan hanya solusi global tetapi juga peluang besar bagi pembangunan energi berkelanjutan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan kota. Setiap wilayah memiliki karakteristik sumber daya yang berbeda dan dapat memainkan peran penting dalam ekosistem hidrogen nasional.
Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama dalam menciptakan kebijakan yang kondusif, menarik investasi, serta mengembangkan teknologi yang lebih efisien dan ekonomis. Dengan strategi yang tepat, hidrogen dapat menjadi energi utama masa depan dan Indonesia dapat berperan sebagai salah satu pemimpin dalam industri hidrogen global.