Toko Es Krim Diaspora Indonesia di Las Vegas, Omzet Hampir Satu Miliar

0
698
Rosalina Sie, pemilik Creamberry di kota Las Vegas, Nevada. (Foto: VOA)

(Vibizmedia – Gaya Hidup) Rosaline Sie, seorang diaspora Indonesia di Las Vegas, AS, membuat variasi menu es krim yang unik dan viral untuk mengembangkan bisnis toko es krimnya di kota hiburan itu. Omzet usahanya kini mencapai hampir satu miliar rupiah per tahun.

“Kita punya menu itu banyak banget variasinya, dari yang roll ice cream, dari toast, waffle, terus kita ada es campur juga,” demikian ungkap Rosalina Sie, diaspora Indonesia pemilik toko es krim Creamberry yang pertama kali buka tahun 2016 itu.

Menu ‘Cotton Candy Burrito’melambungkan nama tokonya ketika diulas oleh surat kabar setempat.

Kekuatan Medsos dan Variasi Menu

Kreasi unik dan keragaman menu yang ia tawarkan menarik para pelanggan, termasuk Kimberly Oralao, yang menyebut Creamberry salah satu tempat nongkrong favoritnya.

“Variasi menunya gila banget, kayaknya saya belum pernah lihat menu seberagam ini. Saya lihat mereka juga sering punya menu baru, jadi saya suka pengin coba yang baru-baru, ketimbang beli menu yang sama setiap kali ke sini,” ungkap Kimberly, yang kali itu datang bersama temannya, Hanna Lamon.

“Ini pertama kalinya saya ke sini, tapi saya rasa media sosial [berhasil] memengaruhi saya untuk mencoba-coba tempat baru, karena ketika saya lihat sesuatu di TikTok, saya suka bilang ‘Aduh, kayaknya enak banget,’ terus saya kirim ke kakak dan pacar saya, dan bilang, ‘kita harus ke sini,’ ‘kita harus ke situ,’ dan jadilah saya datangi tempat-tempat itu,” timpal Hanna.

Rosalina paham betul kekuatan media sosial sekaligus pentingnya memperbarui menu untuk memajukan usaha toko es krimnya. Sejak awal ia sudah bekerja sama dengan penulis blog kuliner untuk memperkenalkan bisnisnya ke pasar yang lebih luas, sambil rutin mengubah menu es krimnya setiap bulan, menyesuaikan momen-momen tertentu.

“Tapi, ya seperti yang saya bilang juga, kita harus tetap mengutamakan cita rasa. Itu harus sama,” imbuhnya.

Bukan hanya blogger lokal, bisnisnya juga disoroti sejumlah media dan figur publik nasional di Amerika, seperti Food Network, Ellen DeGeneres hingga akun @foodgod yang punya lebih dari 10 juta pengikut lintas media sosial.

 

Lika-liku Bisnis di AS

Rosalina berasal dari keluarga pebisnis. Sebelum keluarganya pindah ke AS, orang tuanya membuka toko pakaian di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Setelah menetap di negeri Paman Sam, mereka lantas membuka restoran makanan China.

Sementara itu, ia sendiri terpikir untuk membuka toko es krim gara-gara kegemaran sang suami akan makanan pencuci mulut.

“Kenapa kita nggak buka saja satu toko yang khusus untuk dessert, yang pengunjungnya itu nggak hanya datang khusus untuk satu produk, tapi bisa berbagai produk,” kenang Rosalina.

Untuk memulai bisnisnya delapan tahun lalu, ia merogoh kocek hingga 300.000 dolar Amerika, atau sekitar Rp4,9 miliar. Kini, dengan 12 karyawan, ia membukukan keuntungan tahunan hingga 60.000 dolar Amerika, atau hampir Rp1 miliar.

Meski tampak manis, perjuangannya tidak sederhana. Di awal, ia harus bergelut dengan berbagai ketentuan ketat untuk bisa membuka tempat usaha. Perbedaan besar yang ia rasakan, antara berbisnis di Indonesia dan di Amerika, yaitu dalam aspek prosedur hukum, kelayakan tempat usaha, serta budaya pelanggan yang lebih menantang di AS.

Selain itu, ia sendiri harus turun tangan ke dapur untuk memastikan kualitas produk yang ia tawarkan.

“Kalau misalnya bisnis di Indonesia kan semua kita harap pegawai kita [yang kerjakan] ya, tapi kalau ini kita mesti turun tangan seratus persen,” ungkapnya. “… Ngontrol, belanja bahan-bahan baku yang dibutuhin, terus juga training mereka (pegawai, red.), tiap hari harus ada meeting, bagaimana kita harus melayani customer, gimana kita harus menjelaskan produk kita, terus saya juga harus cari tahu apa lagi yang harus saya bikin, menu-menu baru, biar orang nggak bosan.”

Rosalina sadar produk yang ia tawarkan bukanlah kebutuhan pokok, sehingga ia tidak bisa sembarangan menentukan harga.

“Kayak sekarang ini, kebetulan [harga] barang-barang pada naik, [ongkos] pegawai naik, tapi kan harga kita nggak bisa selalu naik banyak, gitu, apalagi soal makanan ya, karena kan makanan kita cuma bisa naiknya 25 sen, 50 sen, apalagi dessert,” tutur Rosalina.

Ia berharap strategi yang ia terapkan saat ini bisa membuat bisnisnya terus berkembang. Ia pun telah mendaftarkan bisnisnya untuk menjadi usaha waralaba (franchise), demi cita-cita yang lebih besar melihat gerai Creamberry buka di negara-negara bagian lainnya di Amerika.

Menurut hasil riset konsultan industri global IBISWorld tahun 2023, perkiraan cakupan pasar (market size) industri toko makanan pencuci mulut di Amerika mencapai 20,4 miliar dolar Amerika, atau sekitar Rp336,1 triliun. Selama lima tahun, dari 2018 hingga 2023, industri itu juga mengalami pertumbuhan rata-rata 5.0% per tahun di Amerika Serikat.

Sumber: voaindonesia.com