Pariwisata Berbasis Bencana: Tantangan dan Peluang di Indonesia

0
295
Bendungan Lausimeme
Bendungan Lausimeme di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara. FOTO: BIRO PERS SETPRES

(Vibizmedia-Kolom) Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara paling rawan bencana di dunia, memiliki potensi besar dalam mengembangkan pariwisata berbasis bencana. Letaknya yang berada di Pacific ring of fire atau “Cincin Api Pasifik” membuatnya sering mengalami gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan bencana alam lainnya. Indonesia juga menjadi negara ke-3 di dunia yang rawan bencana berdasarkan World Risk Report 2022, hanya kalah dari India dan Filipina. Meski menghadirkan tantangan besar, kondisi ini juga menawarkan peluang untuk menciptakan jenis pariwisata unik yang mengedukasi, memberikan pengalaman emosional, dan mempromosikan kesadaran akan mitigasi bencana.

Peringkat Kinerja Pariwisata Indonesia
Sumber: WEF, Mei 2024

Gambar menunjukkan grafik peningkatan peringkat kinerja pariwisata Indonesia dari tahun 2015 hingga 2024 dari peringkat 50 di tahun 2015 menjadi peringkat 22 pada tahun 2024 berdasarkan Travel and Tourism Development Index (TTDI) yang dirilis World Economic Forum (WEF) pada 21 Mei 2024. Menggambarkan kemajuan signifikan dalam daya saing pariwisata Indonesia di kancah global. Hal ini mencerminkan upaya pemerintah dan pelaku industri pariwisata dalam meningkatkan infrastruktur, promosi destinasi, dan pengalaman wisatawan.

Mengubah Bencana Menjadi Daya Tarik Wisata

Pariwisata berbasis bencana bertujuan untuk mengubah lokasi bencana menjadi tempat yang tidak hanya mengenang kejadian tersebut tetapi juga mendidik wisatawan. Beberapa lokasi pariwisata berbasis bencana di Indonesia yang telah dikembangkan dan memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata, antara lain:

– Museum Tsunami Aceh (Banda Aceh)
– Lava Tour Gunung Merapi (Yogyakarta)
– Danau Toba (Sumatera Utara)
– Kawah Ijen (Banyuwangi, Jawa Timur)
– Pulau Anak Krakatau (Lampung)
– Kelud Adventure Park (Kediri, Jawa Timur)
– Kampung Reklamasi Pasir Tambang (Sidoarjo, Jawa Timur)

Museum Tsunami Aceh, yang menjadi simbol peringatan tragedi tsunami 2004 sekaligus pusat edukasi bagi pengunjung. Demikian pula, Gunung Merapi di Yogyakarta telah menarik wisatawan dengan Lava Tour-nya, yang memberikan gambaran langsung tentang dampak erupsi sekaligus memamerkan keindahan alam sekitar.

Selain itu, mengubah daerah rawan banjir menjadi bendungan atau waduk yang multifungsi, termasuk sebagai tempat wisata, adalah ide yang strategis dan berkelanjutan. Berdasarkan data dari 2014-2024 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menyelesaikan pembangunan 53 bendungan dari 61 unit bendungan yang dibangun, di antaranya adalah Bendungan Sepaku Semoi, Bendungan Ameroro, bendungan Leuwikeris, Bendungan Way Sekampung dan Bendungan Kuningan.

Bendungan Leuwikeris di Ciamis yang diresmikan oleh Presiden Jokowi, pada Agustus lalu itu langsung jadi tempat wisata dadakan. Sejumlah warga hampir ramai-ramai mendatangi area green belt di samping bendungan. Setiap harinya, serombongan warga mendatangi bagian tepi bendungan dengan menggunakan sepeda motor, mobil hingga odong-odong wisata. Mereka penasaran dengan wujud Bendungan terbesar yang ada di wilayah Ciamis dan Tasikmalaya tersebut.

Tantangan yang Harus Diatasi

Mengembangkan pariwisata berbasis bencana bukan tanpa hambatan. Aspek paling krusial dalam pengembangan pariwisata berbasis bencana adalah sensitivitas sosial, berkaitan dengan cara bencana dan dampaknya diperlakukan sebagai elemen wisata tanpa melukai perasaan korban atau komunitas yang terkena dampak. Disini harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan penghormatan terhadap memori kolektif.

Kondisi infrastruktur yang rentan juga menjadi salah satu tantangan utama dalam pengembangan pariwisata berbasis bencana di Indonesia adalah kondisi infrastruktur yang rentan. Lokasi bekas bencana seperti tsunami Aceh 2004 menyapu habis banyak wilayah pesisir, sehingga membangun kembali infrastruktur karena kerusakan signifikan pada jalan, bangunan, transportasi dan fasilitas umum lainnya memerlukan waktu dan biaya besar serta ini tidak hanya menyulitkan akses wisatawan tetapi juga dapat membahayakan keselamatan mereka.

Seperti halnya gunung berapi, bekas gempa, atau wilayah pesisir rentan tsunami, risiko bagi pengunjung harus diminimalkan melalui perencanaan yang matang, pengelolaan yang baik, dan sistem peringatan dini yang efektif. Dengan pengelolaan keselamatan yang baik, pariwisata berbasis bencana tidak hanya dapat memberikan pengalaman yang menarik dan edukatif, tetapi juga melindungi wisatawan dari risiko yang tidak diinginkan.

Peluang Besar di Masa Depan

Meski tantangan ada, peluang yang ditawarkan sangat menjanjikan. Lokasi bencana dapat menjadi ruang pembelajaran bagi wisatawan lokal dan internasional tentang mitigasi, adaptasi, dan ketangguhan menghadapi bencana, misalnya, erupsi kecil pada Gunung Merapi di Yogyakarta dapat terjadi kapan saja, bahkan saat wisatawan berada di lokasi. Bangunan atau jalan yang rusak akibat bencana sebelumnya mungkin belum sepenuhnya diperbaiki, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan. Selain itu juga keuntungan ekonomi yang didapat dari pendapatan lokal.

Pariwisata berbasis bencana menciptakan peluang bagi masyarakat lokal, seperti penyediaan akomodasi, makanan, transportasi, dan pemanduan wisata. Sebagai contoh Museum Tsunami Aceh menarik ribuan wisatawan setiap tahun, yang berkontribusi pada pendapatan masyarakat dan pemerintah daerah. Lava Tour Merapi diperkirakan menghasilkan pendapatan lebih dari Rp10 miliar per tahun, terutama dari jasa tur jeep, pemandu, dan UMKM lokal.

Keuntungan dari pariwisata berbasis bencana dapat signifikan jika dikelola dengan baik. Selain manfaat finansial, destinasi ini juga meningkatkan kesadaran, solidaritas, dan pendidikan masyarakat global tentang mitigasi bencana. Namun, kesuksesannya bergantung pada bagaimana destinasi ini diolah secara sensitif, aman, dan berkelanjutan.

Memanfaatkan teknologi virtual reality (VR), memberikan pengalaman simulasi bencana agar wisatawan yang ingin memahami bencana tanpa risiko langsung. Beberapa perusahaan teknologi dan startup di Indonesia juga mulai berkolaborasi dengan lembaga pemerintah dan organisasi non-pemerintah (NGO) untuk mengembangkan aplikasi VR yang mensimulasikan berbagai bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, dan kebakaran hutan. Salah satu perusahaan yang telah mengembangkannya adalah VR Indonesia dan beberapa startup lokal yang mengembangkan platform pelatihan bencana berbasis VR. Selain itu, juga dengan memanfaatkan platform digital sebagai sarana mempromosikan destinasi wisata berbasis bencana secara lebih luas melalui aplikasi dan media sosial.

Bisakah teknologi seperti VR membawa wisatawan mengalami simulasi bencana tanpa risiko? Akankah platform digital memudahkan promosi destinasi ini ke pasar global, terutama dengan narasi edukasi yang kuat? Kita lihat perkembangannya dalam beberapa tahun kedepan.