
(Vibizmedia – Kolom) Inflasi Indonesia pada Maret 2025 mencatatkan angka tahunan (year-on-year/y-on-y) sebesar 1,03 persen, menunjukkan laju harga yang relatif terkendali. Meski angka nasional ini tergolong moderat dan memberikan sinyal stabilitas, gambaran yang lebih kompleks muncul ketika data dibedah ke level provinsi dan kabupaten/kota. Ketimpangan spasial inflasi makin mencolok, memperlihatkan adanya tantangan struktural dalam distribusi harga, efisiensi logistik, dan daya beli masyarakat antarwilayah.
Berdasarkan laporan resmi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, indeks harga konsumen (IHK) nasional berada pada angka 107,22. Angka ini mencerminkan kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum dibandingkan dengan Maret 2024. Namun di balik rata-rata nasional yang terkendali, Provinsi Papua Pegunungan mencatat inflasi y-on-y tertinggi sebesar 8,05 persen dengan IHK sebesar 115,26. Angka ini tidak hanya jauh melampaui rata-rata nasional, tetapi juga menjadi refleksi dari kesenjangan struktural yang belum terurai.
Sebaliknya, Provinsi Papua Barat Daya mencatatkan inflasi y-on-y terendah hanya sebesar 0,24 persen dengan IHK 104,07. Bahkan di Provinsi Papua Barat, terjadi deflasi tahunan sebesar 0,23 persen, dengan IHK 106,37. Sementara itu, deflasi tahunan terendah terjadi di Bengkulu sebesar 0,22 persen dengan IHK 106,07. Artinya, dalam rentang satu tahun, harga-harga di wilayah ini justru mengalami penurunan, yang bisa merefleksikan melemahnya permintaan domestik atau pergeseran pola konsumsi.
Ketimpangan juga terlihat pada level kabupaten/kota. Kabupaten Jayawijaya—yang terletak di wilayah Papua Pegunungan—mencatatkan inflasi y-on-y tertinggi sebesar 8,05 persen, sejajar dengan angka provinsinya. Di sisi lain, inflasi terendah tercatat di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dengan hanya 0,07 persen. Bahkan, Kabupaten Muko Muko di Bengkulu mengalami deflasi terdalam sebesar 0,83 persen, sementara deflasi terendah berada di Kota Bengkulu sebesar 0,01 persen.
Kesenjangan spasial ini menjadi sorotan penting dalam membaca kondisi ekonomi domestik. Secara nasional, inflasi y-on-y yang rendah menjadi bukti bahwa tekanan harga secara umum masih terkendali, bahkan lebih rendah dari target inflasi Bank Indonesia yang biasanya berkisar di angka 2–4 persen. Namun, daerah-daerah dengan inflasi tinggi atau deflasi dalam mengindikasikan perbedaan signifikan dalam dinamika pasokan, distribusi, konsumsi, hingga eksposur terhadap gangguan ekonomi.
Secara struktural, inflasi y-on-y terjadi karena kenaikan harga di hampir seluruh kelompok pengeluaran. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami inflasi sebesar 2,07 persen, yang menunjukkan dampak dari faktor musiman dan tekanan harga pangan. Ini selaras dengan pola inflasi pada awal Ramadan yang biasanya memicu kenaikan permintaan dan harga bahan pokok.
Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya mencatatkan inflasi tertinggi antar kelompok, yakni sebesar 8,71 persen. Kenaikan ini mencerminkan lonjakan biaya pada barang-barang seperti sabun, produk perawatan diri, dan jasa layanan rumah tangga. Kenaikan tajam dalam kategori ini menunjukkan tekanan yang cukup signifikan terhadap belanja harian masyarakat, terutama di kelas menengah ke bawah.
Inflasi juga tercatat pada kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 2,26 persen, serta kelompok pendidikan sebesar 1,89 persen. Kenaikan harga pada sektor-sektor ini menandakan bahwa biaya hidup meningkat, meski pada level nasional tetap dalam batas wajar. Sementara itu, kelompok transportasi mengalami inflasi sebesar 0,83 persen, mencerminkan dampak fluktuasi harga bahan bakar dan biaya logistik.
Namun demikian, terdapat dua kelompok pengeluaran yang justru mengalami penurunan harga. Kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga mencatat deflasi sebesar 4,68 persen, sedangkan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan turun sebesar 0,24 persen. Penurunan harga pada kelompok perumahan dan energi ini kemungkinan besar terkait dengan penyesuaian tarif atau subsidi pemerintah yang berlaku sejak awal tahun.
Deflasi pada sektor komunikasi dan jasa keuangan, meski kecil, juga menunjukkan tekanan persaingan yang kuat di industri telekomunikasi dan digital, serta dorongan efisiensi dalam jasa keuangan berbasis teknologi. Penurunan ini bisa menjadi sinyal positif bagi konsumen, tetapi juga mencerminkan stagnasi pendapatan di sektor terkait.
Jika ditelaah dari sisi month to month (m-to-m), tingkat inflasi nasional pada Maret 2025 tercatat sebesar 1,65 persen, cukup tinggi untuk ukuran bulanan. Kenaikan ini dapat dikaitkan dengan peningkatan konsumsi masyarakat menjelang Ramadan dan Idul Fitri, yang biasanya memicu lonjakan harga pangan, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya.
Sementara itu, inflasi year to date (y-to-d)—yakni akumulasi inflasi dari Januari hingga Maret 2025—berada pada angka 0,39 persen. Ini menunjukkan bahwa tekanan harga masih relatif ringan dalam tiga bulan pertama tahun ini, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari sisi komponen inti, inflasi y-on-y sebesar 2,48 persen mencerminkan stabilitas harga yang lebih terjaga pada barang dan jasa yang tidak terlalu berfluktuasi. Komponen inti adalah indikator penting karena tidak terlalu dipengaruhi oleh harga-harga musiman seperti pangan atau energi. Inflasi inti yang rendah menjadi sinyal bahwa ekspektasi inflasi jangka menengah masih terjaga dan tidak terlalu memicu kekhawatiran moneter.
Inflasi inti m-to-m tercatat sebesar 0,24 persen dan y-to-d sebesar 0,79 persen. Ini memperkuat narasi bahwa struktur inflasi Indonesia tetap dalam jalur yang relatif stabil, meski tekanan jangka pendek masih akan datang dari faktor musiman dan ketidakpastian global, termasuk harga energi dan gejolak geopolitik.
Namun di tengah kestabilan ini, pertanyaan besar tetap mengemuka, mengapa ketimpangan spasial inflasi begitu tajam? Data yang menunjukkan inflasi 8 persen di Papua Pegunungan, namun deflasi di wilayah lain, menyoroti kerentanan logistik dan efisiensi distribusi antarwilayah. Wilayah Indonesia timur, terutama Papua, menghadapi tantangan pasokan barang dan biaya distribusi yang sangat tinggi, akibat keterbatasan infrastruktur dan tingginya ketergantungan pada barang kiriman.
Di sisi lain, deflasi yang terjadi di Bengkulu atau Papua Barat dapat mengindikasikan lemahnya permintaan domestik atau menurunnya aktivitas ekonomi secara umum. Dalam beberapa kasus, deflasi bukanlah kabar baik, karena bisa mencerminkan turunnya daya beli atau kontraksi ekonomi.
Untuk merespons ketimpangan ini, diperlukan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih terfokus pada daerah. Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat perlu merancang strategi logistik dan pengendalian harga yang sesuai dengan karakteristik regional, termasuk membuka akses transportasi dan pasar untuk wilayah-wilayah terpencil.
Sementara itu, dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia kemungkinan akan tetap mempertahankan suku bunga acuan pada level saat ini, atau bahkan mempertimbangkan pelonggaran terbatas jika tekanan inflasi tetap rendah. Inflasi inti yang masih dalam batas aman memberi ruang bagi otoritas moneter untuk mempertahankan stabilitas sembari mendorong pertumbuhan.
Data inflasi Maret 2025 menunjukkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, inflasi nasional yang rendah menandakan stabilitas dan keberhasilan pengendalian harga secara makro. Di sisi lain, kesenjangan regional yang tajam mengingatkan bahwa tantangan struktural belum teratasi. Pembangunan infrastruktur, efisiensi logistik, dan penguatan daya beli di daerah tertinggal tetap menjadi kunci untuk memastikan bahwa stabilitas harga tidak hanya menjadi angka nasional, tetapi juga kenyataan lokal.