(Vibizmedia – News & Insight) Di tengah gelombang kebutuhan energi bersih dan stabil yang terus meningkat, tenaga nuklir kembali menjadi primadona. Namun kali ini, kebangkitan itu datang bersama mitra baru: kecerdasan buatan. Ketika negara-negara maju berlomba mengurangi emisi karbon dan memperkuat keamanan energi, para ilmuwan di Amerika Serikat menemukan bahwa teknologi AI bisa menjadi kunci untuk mendesain, mengoperasikan, dan bahkan menjaga keselamatan reaktor nuklir generasi baru.
Menurut laporan The Wall Street Journal, Argonne National Laboratory yang dikelola Departemen Energi AS telah mengembangkan alat berbasis AI untuk membantu para insinyur merancang dan mengelola reaktor nuklir dengan efisiensi yang lebih tinggi. Alat ini, yang disebut dengan Virtual Reactor Model, memungkinkan simulasi digital reaktor yang sangat kompleks dengan akurasi tinggi dan dalam waktu yang jauh lebih singkat dibanding metode tradisional. Dengan kemampuan prediktif dari AI, risiko kegagalan dapat diidentifikasi lebih awal, dan proses desain dapat dioptimalkan tanpa harus membangun prototipe fisik yang mahal dan memakan waktu.
Kembalinya tenaga nuklir ini bukan semata-mata karena urgensi perubahan iklim. Di saat AI sendiri tengah memicu ledakan konsumsi energi — mulai dari pusat data besar hingga pelatihan model bahasa seperti GPT — muncul kebutuhan untuk memasok listrik yang stabil dan tidak terputus. Listrik dari pembangkit tenaga angin dan matahari bersifat intermiten, sementara batu bara dan gas mendapat tekanan dari sisi lingkungan. Dalam lanskap energi yang berubah cepat ini, nuklir menawarkan kombinasi unik: tidak menghasilkan emisi karbon dan mampu menyuplai daya 24 jam penuh.
CEO TerraPower, Chris Levesque, dalam wawancara dengan Bloomberg, mengatakan bahwa generasi baru reaktor nuklir yang didukung oleh AI dapat merevolusi cara pembangkit listrik bekerja. Perusahaan seperti TerraPower—yang didukung oleh Bill Gates—mengembangkan reaktor kecil modular (SMR) yang tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih fleksibel dalam mendukung grid listrik modern. AI membantu memantau kondisi reaktor secara real-time dan memberikan analisis prediktif tentang potensi masalah teknis, termasuk korosi, tekanan, atau bahkan gangguan sistem pendingin.
Salah satu tantangan utama dari energi nuklir selalu terletak pada persepsi publik terhadap keselamatan. Kecelakaan besar seperti Chernobyl dan Fukushima membekas dalam ingatan kolektif masyarakat global. Namun kini, dengan bantuan AI, sistem keselamatan reaktor dapat dikalibrasi dan dimodifikasi secara dinamis berdasarkan data sensor langsung, bukan hanya berdasarkan skenario tetap. Reuters melaporkan bahwa sistem ini sudah diujicobakan dalam pengujian simulasi untuk mendeteksi potensi overheating atau kesalahan perangkat lebih cepat dari operator manusia.
Di sisi lain, AI juga mempercepat proses perizinan. Argonne menyebut bahwa dengan menggunakan simulasi berbasis AI, mereka dapat menyediakan data teknis yang lebih komprehensif kepada regulator seperti Nuclear Regulatory Commission (NRC). Ini memungkinkan proses pengesahan reaktor baru berlangsung dalam hitungan bulan, bukan tahun seperti sebelumnya.
Namun, kebangkitan nuklir berbasis AI bukan tanpa tantangan. Salah satu yang paling nyata adalah kebutuhan tenaga kerja ahli yang mengerti baik teknologi reaktor maupun sistem pembelajaran mesin. Perguruan tinggi kini didorong untuk membangun kurikulum yang menggabungkan ilmu nuklir dan AI. Menurut laporan CNBC, sejumlah universitas seperti MIT dan University of Michigan sudah membuka jalur spesialisasi baru untuk memenuhi permintaan industri yang terus meningkat.
Ada pula kekhawatiran bahwa AI yang digunakan dalam pengelolaan reaktor dapat menjadi target serangan siber. Dalam sebuah laporan analitik oleh Financial Times, disebutkan bahwa kerentanan perangkat lunak dan sistem AI dalam fasilitas nuklir harus diaudit secara berkala untuk mencegah sabotase atau pelanggaran keamanan digital. Beberapa negara bahkan mulai mengembangkan sistem AI dengan enkripsi khusus yang hanya dapat diakses secara lokal oleh operator resmi.
Meski demikian, prospek ekonominya sangat menjanjikan. Menurut estimasi lembaga riset McKinsey, pasar global untuk teknologi AI dalam sektor energi diperkirakan mencapai $20 miliar pada 2030, dan bagian terbesar akan berasal dari aplikasi di pembangkit listrik nuklir. Negara-negara seperti Prancis, Korea Selatan, dan Kanada pun telah menyatakan komitmen mereka untuk memasukkan AI dalam desain pembangkit baru.
Bahkan di negara berkembang, teknologi ini mulai merambah. Uni Emirat Arab, yang telah mengoperasikan reaktor nuklir Barakah, menyatakan dalam wawancara dengan Bloomberg bahwa mereka sedang menjajaki penggunaan AI untuk mengoptimalkan pengelolaan energi nuklir mereka. India dan Brasil juga disebut-sebut tertarik mengadopsi pendekatan serupa.
Yang paling penting, kebangkitan nuklir yang dipandu AI membuka kembali perdebatan tentang apa yang disebut “transisi energi pintar”. Jika sebelumnya diskusi hanya berputar pada pilihan antara energi fosil dan terbarukan, kini tenaga nuklir kembali menjadi bagian dari solusi jangka panjang. Dan AI, yang dulunya dianggap sebagai teknologi “boros energi”, kini justru membantu memastikan bahwa listrik untuk mendukung era AI itu sendiri bisa dipasok dengan cara yang aman, bersih, dan efisien.
Seiring dunia melangkah menuju masa depan yang lebih terotomatisasi dan terkomputerisasi, tampaknya energi nuklir dan AI bukan hanya beriringan, tetapi saling memperkuat. Sebuah simbiosis modern yang belum pernah dibayangkan sebelumnya—di mana algoritma tidak hanya menulis kode, tapi juga menjaga stabilitas inti reaktor.